Legenda mengatakan ada sembilan penyihir yang memegang kendali atas Benua Feitan. Nama sembilan penyihir itu terbagi oleh dasar perasaan manusia.
Benua Feitan pada dasarnya dihuni ras campuran. Manusia dan setengah manusia bisa hidup saling berdampingan tanpa khawatir pertumpahan darah.
Namun, tetap saja mereka adalah makhluk yang terkadang lupa akan harga dirinya jika hawa nafsu sudah menggerogoti jiwa.
Kekayaan, Tahta, Wanita, menjadi alasan mereka untuk saling bertikai satu sama lain. Pertumpahan darah jadi tak terelakkan, membuat sembilan penyihir harus ikut turun tangan untuk menghadapi insiden berdarah.
Alih-alih menjadi lebih baik, para petinggi di antara ras campuran itu malah menyatakan ketidakpuasan mereka atas keputusan para penyihir, dan itu membuat kedaulatan mereka semakin terkikis.
Tanpa ampun, para penyihir menghukum mereka dengan hukuman kehendak ilahi. Mereka membantai habis para makhluk yang tidak mau taat itu.
Kejadian besar itu membuat para penyihir jadi enggan untuk menaruh kepercayaan pada makhluk berakal. Para penyihir membiarkan mereka itu hidup semaunya, yang hal itu malah terus berkembang menjadi kebencian terhadap para penyihir.
Merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda. Salah satu di antara penyihir yang tampak pendiam dari yang lain, yaitu penyihir dengan sebutan Sang Perindu Asmara, mengambil tindakan. Alasannya tidak bisa disebutkan, tapi telah disepakati bersama, ia melemparkan sebuah soul grain ke dunia modern.
****
"Hei, Rei. Kenapa kau selalu saja tertidur di tengah pelajaranku?" guru Tarisa mendatangi kursi dan mengguncang bahunya untuk membangunkan.
Rei merasakan sikap jahil itu dalam tidurnya. Wajahnya malah sumringah karena yang ia lihat dalam mimpi adalah seorang gadis tengah bersikap manja padanya.
"Ah, Rena-chan! tidak bisakah kau sedikit mengerti? Kita baru saja melakukannya tadi malam sampai staminaku habis, masa pagi ini harus melakukannya juga? Tidakkah ini berlebihan?"
Suaranya cukup keras untuk didengar seisi kelas. Mereka yang sudah melewati masa pubertas tentu tidak bisa memikirkan hal lain setelah mendengar kalimat itu. Termasuk Tarisa-sensei yang terkejut dengan wajah memerah. Kenyataan kalau ia tak punya pengalaman atas hal itu tentu ia tersinggung meski itu cuma dari mulut orang yang sedang mengigau.
Tanpa ampun, ia menjewer telinga Rei cukup keras sampai ia terbangun dengan wajah tak berdosa, "Apa penjelasanku terdengar membosankan sampai membuatmu tertidur?" tanya wanita yang cukup cantik itu, kemudian berbalik tanpa mendengar jawaban Rei yang mengusap-usap telinganya dengan wajah kantuk.
"Hei, Rei! Siapa itu Rena-chan? Aku tidak ingat kau pernah bercerita tentangnya padaku," bisik Kogami dari kursi belakang.
"Hah? Apa maksudmu?" tanya Rei menengokan wajahnya sedikit.
"Ayolah, kita kan teman! Teman yang baik selalu menceritakan pengalamannya untuk referensi," tambah Kogami dengan senyum meledek.
"Bicara apa sih kau ini?!"
"Hei, Rei! Apa kita bisa melanjutkan pelajaran?" Tarisa-sensei memergokinya.
"Ah, maaf sensei," jawab Rei kemudian memasang wajah geram pada Kogami, yang ditatap malah nyengir. Sementara dari sisi lain bangku, seorang gadis yang Rei adalah saingannya dalam pelajaran menatapnya penuh sinis.
"Hei, Rei!" Celia menghampiri mejanya setelah pelajaran berakhir.
"Ada apa?" jawab Rei malas.
"Apa ini? Apakah Celia yang biasa jutek dan dingin ingin mengajak Rei makan siang?" tanya Kogami menggoda.
"Maaf ya, tapi bahkan itu tidak pernah terbesit dipikiranku, aku punya urusan yang ingin kubicarakan dengannya," balasnya dingin.
"Wah wah. Baiklah, maaf ya Rei. Sepertinya aku akan makan bersama Hayato dan yang lain saja," Kogami tersenyum meledek, menepuk pundak Rei.
"Hei hei, tunggu Kogami!" Rei hendak menahan, tapi tubuh Kogami sudah melesat di koridor.
Rei menghela nafas pelan, "Baiklah, ada urusan apa sampai putri CEO harus repot-repot menghampiriku?"
"Siapa yang kau sebut putri CEO?"
"..."
Celia mengambil tempat duduk di depannya, "Hei, Rei! Kau ingat soal kejadian di dekat stasiun kemarin?"
"Tentang penculikan gadis kecil itu?" tanya Rei. Saat itu, kebetulan memang hanya ada Celia yang melihatnya, jadi ia tak bisa memikirkan hal lain ketika dia menyinggung soal itu.
Celia mengangguk.
"Lalu kenapa?" tanya Rei belum paham arah pembicaraan.
"Apa yang telah kau lakukan padanya?" tatapan Celia tiba-tiba berubah seram.
"Apa yang telah kulakukan? Maksudmu bagaimana?"
"Jangan sok polos! Mentang-mentang kau menolongnya, kau menggunakan kesempatan itu untuk memerasnya supaya ia mau melakukan hal mesum denganmu, kan? Iya kan? Iya kan?!!!" Celia sampai melotot dan mendekatkan wajahnya pada Rei. Beberapa siswa yang tersisa di kelas jadi tertarik melihat itu.
"Oi oi! Tenanglah, mereka jadi memperhatikan kita tuh!"
"Hmmmphh, sudah kuduga ternyata kau memang orang yang seperti itu!" Celia berucap kesal dan hendak pergi meninggalkannya.
"Oi tunggu!" Rei menahan tangannya. Itu cukup membuat seisi kelas berbisik-bisik.
"Aku belum paham maksudmu apa, kenapa tiba-tiba memanggilku mesum? Tentu aku tidak terima jika kau hanya setengah-setengah menjelaskan."
Sejenak terdiam, Celia yang melihat tangan Rei masih menahan tangannya segera ditarik secara kasar.
"Hmmph!!"
Gadis itu kemudian kembali duduk.
"Nama gadis itu, Rena kan?" tanya Celia, ia sedikit melunak.
"Emm, iya kalau tidak salah," Rei mengingat-ingat.
"Apa maksudmu tidak salah?! Jelas-jelas kau tadi lancar sekali menyebutnya saat Tarisa-sensei membangunkanmu! Hei, Rei! Secara teori, jika seseorang sampai mengigau dalam mimpinya, berarti ia tengah memimpikan sesuatu yang familiar, termasuk juga dirimu!" jelas Celia.
Rei masih mencerna maksud to the pointnya, "Memangnya tadi aku mengigau apa?"
"..."
"Celia?"
"Ah, sudahlah! Dasar bodoh! Menyuruh seorang gadis berbicara hal yang memalukan! Dasar Rei bodoh! Tidak tau malu!" umpatan itu diakhiri dengan tamparan keras di wajah Rei.
"PLAAAK!"
"Oi oi, parah sekali Rei itu, membuat Celia jadi marah!"
"Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya sampai menyakiti wanita seperti itu."
"Hei Arisha-chan, kurasa semua laki-laki itu sama ya."
Rei hanya bisa mengelus pipinya yang perih sambil menatap punggung Celia yang berjalan keluar ruangan.
Sementara Kogami yang melihat Celia keluar dengan aura pembunuh melihatnya sedikit takut, kemudian tertawa girang menghampiri Rei. Mengingat pasti telah terjadi sesuatu yang menarik.
"Ah, Rei kau ini. Pasti ini gara-gara wanita yang baru saja masuk ke kehidupanmu itu kan. Siapa tadi? Rena-chan? Aduuh, kamu ini harus mulai belajar tentang perasaan wanita!" jelas Kogami seolah ia adalah master bucin.
"Jangan memperumit keadaan, Kogami. Lagipula, ada apa dengan sikapmu itu? Kau berpura-pura ke kantin hanya untuk menguping ini kan?" tanya Rei yang malas menanggapi candaannya.
"Hehe, santai-santai. Nah sobat, dari apa yang baru saja terjadi, apa kau menyimpulkan sesuatu?" tanya Kogami tersenyum lebar.
"Kau ini aneh-aneh saja."
"Ayolah, apa susahnya menjawab."
"Yah, mungkin Celia membenciku," jawab Rei tanpa ekspresi.
Kemudian terasa lengang, Rei yang menyadari keheningan singkat itu menatap wajah Kogami.
"Memang benar kau ini perlu belajar soal perasaan wanita."
"Haa ..!?"
Kogami menarik pundak Rei dan merangkulnya, "Hei, Rei! siapapun yang melihat kejadian tadi. Sudah jelas kalau Celia itu cemburu karena kau menyakiti perasaannya."
"Aku tidak ingat punya hubungan seperti itu dengannya."
Kogami menghela nafas pelan "Rei Rei. Kalian ini rivalkan? bagaimana kalian saling bersaing dalam ujian. Bagaimana kalian saling beradu mulut saat rapat anggota dewan, itu sudah menjelaskan semuanya!"
Rei mempertimbangkan perkataan Kogami, "Benarkah?"
Kogami mengangguk mantap, "Nah, nanti kau coba minta maaf padanya dan cobalah ajak dia berkencan."
"Baiklah, akan kuusahakan."
"Eh? kau tidak menyangkal?"
"Kenapa? sepertinya aku memang melakukan sesuatu yang salah. Jadi aku coba mengikuti saran darimu untuk memperbaikinya."
"Itulah seorang laki-laki!" Kogami meninju bahu Rei dengan senyum puas.
"Nah, bicara soal tadi. Memangnya aku mengigau seperti apa?" tanya Rei penasaran.
Kogami lalu menjelaskan bagaimana dan apa yang terjadi kemudian setelah Rei mengigau seperti itu. Kogami selalu menambahkan bumbu setiap ia bercerita sehingga membuat Rei sangat terkejut dan tidak menyadari kalau itu cuma akal-akalannya saja.
"Be-benarkah? Aku sampai berbicara serinci itu?" tanya Rei tak menyangka kalau Kogami sampai bilang ia mengigau dengan menyebutkan kalimat-kalimat cabul tidak senonoh.
"Ah, bagaimanapun aku juga cukup terkejut tadi itu," Kogami membuat suasana jadi terlihat dramatis.
Rei menepuk dahinya, "Pantas saja Celia semarah itu. Haaah, pasti yang lain juga berpikiran sama. Padahal Rena-chan itu adalah seorang artis yang kutemukan di majalah musim panas," gumam Rei sedih.
"Tenang-tenang, kau hanya perlu meminta maaf dan mengajaknya berkencan, oke?" Kogami menyemangati.
"Yosh!!" sahut Rei mengepalkan tangannya penuh tekad.
____
"Rei-kun. Apa kau sudah menunggu lama?"
"Ah, aku baru saja tiba. Maaf memintamu datang secara mendadak."
"Tidak, tidak apa-apa. Kebetulan aku juga lagi kosong hari libur ini."
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu," Rei tersenyum. Tapi kemudian ia merasakan adanya perbedaan. Hawanya tak seperti di sekolah yang penuh kompetisi.
"Ce-Celia-chan?"
"A-Ah, ada apa, Rei-kun?"
"Ka-Kau tampak sangat berbeda dengan pakaian itu."
Oi! kenapa tiba-tiba aku berkata seperti itu?!
"Be-Benarkah? aku senang mendengarnya."
Syukurlah dia tidak marah
Rei mengangguk dengan senyum yang entah terlihat tulus atau tidak, "Tentu. Mau mulai berjalan?"
"Bo-Boleh, kita akan kemana?" tanya Celia dengan wajah tertunduk malu.
Moshi-moshi? Ada apa dengan dunia yang bisa merubah sikap Celia jadi seperti ini?
"Kau mau makan? Aku punya rekomendasi parfait dari onee-chan[1]," Rei mencoba membawa kendali.
"Ara? kau punya kakak perempuan juga rupanya?"
"Hehe iya, meskipun dia sedikit bawel."
"Ah, be-bener banget! kakak perempuanku juga kadang bawel. Ia masih muda tapi sikapnya seperti punya lima anak saja," gerutu Celia setuju.
Melihat perubahan ini, tentu Rei merasa lebih lega.
"Hehe, bagaimana? Kau mau?"
"Boleh, ayo kita kesana."
Sementara kaki mereka melangkah, pandangan mereka menyebar melihat hingar-bingar kota Osaka.
Setelah berjalan cukup jauh, langkah Rei terhenti, Celia tiba-tiba sudah tidak ada di sisinya. Sedikit panik, ia menengok ke belakang dan berusaha mencari.
"Celia!" panggilnya. Namun tidak ada jawaban.
Tapi setelah itu, ia tersenyum lega melihatnya tengah berdiri menatap ke langit, tangannya juga terangkat seperti hendak meraih sesuatu.
"Celia?" Rei mengikuti kemana Celia melihat, ternyata ada sebuah sinar kecil yang melayang-layang dan perlahan turun, Celia seperti tertarik dan hendak menggapainya.
Rei tersenyum dan berjalan pelan menghampiri. Namun, samar-samar ia melihat sebuah mobil melesat dari kejauhan dan sepertinya tampak mulai kehilangan kendali. Sadar kalau kemungkinan besar akan menabrak Celia, Rei berlari cepat ke arahnya.
"Celia!"
Tidak, tidak akan sempat! gumamnya menyadari betapa cepatnya mobil itu.
Celia menengok ke arah Rei. Memasang wajah terkejut campur tersipu yang melihat Rei berlari dengan wajah panik.
"Awas Celiaaa!!"
Celia membelalak, sadar kalau ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Klakson mobil berbunyi nyaring seiring jarak kian mendekat.
Si*l!! secepat inikah semuanya akan berakhir? Rei menggertakkan giginya.
Berharap Celia selamat? Tidak, tidak semudah itu. Sebagai rival, mereka mempunyai pikiran yang sama. Di saat Rei berpikir untuk mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Celia. Celia juga berpikir hal yang sama.
"Tidak! Minggir Rei!"
Waktu seolah berhenti ketika tubuh mereka terhempas dan tak lagi bergerak.
Alhasil, bukan mengorbankan salah satu dan menyelamatkan yang lain, tapi mengorbankan keduanya untuk keselamatan keduanya.
Cahaya melayang-layang yang dilihat Celia dan Rei bukan sembarang cahaya. Faktanya, hanya mereka berdua yang bisa melihat cahaya itu.
Soul grain, begitulah nama yang diberikan untuk keberkahan itu. Kedua tubuh Rei dan Celia yang sudah tidak bernyawa itu dihinggapi cahaya yang tadi melayang-layang. Menyatukan kedua jiwa dalam satu raga.
Rei akan terbangun di dunia yang berbeda. Sementara Celia hanya bisa memperhatikan bagaimana Rei melangkah dan mengambil keputusan. Satu-satunya cara untuk membuat mereka bertukar tempat dan mengambil kendali tubuh, adalah dengan kematian salah satunya.
[1] Kakak Perempuan
Kedua mata Rei mengerjap-ngerjap. Tidurnya terganggu oleh cahaya matahari yang memaksa masuk ke pelupuk mata. Tubuhnya terasa hangat karena tersiram cahaya itu, Rei duduk terbangun dan mendapati dirinya berada di dalam hutan. "Dimana ini?" ia bergumam Ada cukup jarak di antara pepohonan yang membuat sinar matahari hanya terfokus pada tubuhnya. Kedua matanya menatap sekeliling, otaknya berpikir tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Saat memori yang dicarinya itu masuk, Rei tersentak dan spontan berdiri, membuat tas yang dibawanya terjatuh "Celia? Apa kau di sana?" Pikirannya bingung, ia ingat sekali bagaimana kejadian sebelumnya saat ia melompat untuk menyelamatkan Celia, tapi gadis itu juga malah melakukan hal yang sama, dan berakhir dengan tanpa seorangpun yang terselamatkan. Sebelum ia tak sadarkan diri, tubuh Rei terkulai tanpa tenaga, tangannya berusaha menggapai tubuh Celia,
"Hentikan!" Rei yang merasa telinganya sudah panas, tak tahan untuk menghentikan aksi mereka. Dari balik semak ia muncul, terlihatlah empat sosok pria dengan wajah garang tengah melucuti pakaian seorang gadis. "Dia seorang Elf?" Celia dan Rei tak bisa menahan keterkejutan. "Tolong! Aku mohon tolong aku!" "Diamlah!" "Oi bocah! Apa yang kau lakukan, hah? Tidakkah kau sadar akibat dari tindakanmu itu?" salah satu pria itu memelototinya. Rei menggeram dengan tangan mengepal. Seseorang yang paling kekar di antara mereka tiba-tiba datang dan membisikkan sesuatu pada temannya ini. "Begitukah?" tanyanya setelah mendengar kalimat yang disampaikan. Pria kekar itu mengangguk dan menepuk pundaknya, ia mengambil alih untuk menghadapi Rei. "Aku punya pilihan untukmu, bocah tengik! Jika kau ingin selamat, serah
"Berbicara dengan siapa? Aah, kurasa aku hanya bergumam sendiri." Gadis elf itu tidak mengubah posisi tangannya yang membuat Celia menatapnya berapi-api. "Tidak, aku yakin kau berbicara dengan seseorang. Seorang wanita, kan? Dimana dia sekarang?" Elf itu menatapnya begitu sayu, ia tampak tak bertenaga sama sekali. Andai laki-laki yang menyelamatkannya bukanlah Rei, pikiran Celia yang melihat ekspresi wajah itu sudah terbang entah kemana. Ia tampak begitu mudah untuk diserang. Sementara Rei yang mendengar kalimatnya sedikit terkejut, berpikir bahwa kemungkinan gadis ini tau sesuatu soal situasinya, tapi ia lebih memilih untuk tak serta-merta langsung mempercayai, "Sungguh, aku sendirian nona. Kau bisa lihat di sekitarku tidak ada siapapun." "Apa dia hantu? Atau penunggu bukit ini yang kau kenal? Kau tau, bukit ini terkenal dengan roh penunggunya yang sangat cantik. Juga, laki-laki sepertimu yang sudah m
"Ngomong-ngomong. Apa kakakmu jarang pulang?" Celia bertanya setelah Rei menghabiskan sup makan malamnya. Jalan dari kaki bukit menuju rumah ini cukup dekat. Letaknya tepat di pinggir jalan utama distrik. Lantai bangunannya dibuat lebih tinggi, jadi mereka bisa melihat keramaian jalan dari teras rumah. "Begitulah, kadang ia sampai tidak pulang berbulan-bulan jika sedang ada tugas ekspedisi." Rei cukup terkejut, serentetan pertanyaan jadi muncul di kepalanya, terlebih soal bagaimana kesendirian Violet di tengah ramainya kota seperti ini. "Mendengar ceritamu, mengingatkanku pada dua orang tuaku." "Ah? Orang tuamu memang seperti apa?" "Mereka hanya pekerja keras yang lebih mencintai pekerjaan daripada keluarganya." Rei dan Violet yang mendengar itu jadi ikut merasakan. "Itu pasti cukup sulit," "Tidak, aku sudah terbi
Enhem Vinyel "Enhem, kau memang cerdas!" "Yahuu! Malam ini kita akan bermantap-mantap!" "Aku pastikan elf jalang itu tidak akan bisa tidur!" "Jangan lupa soal pria yang membawanya lari! Kita harus memberinya pelajaran!" Tiga orang yang ikut menemani Enhem untuk menyelinap sahut-menyahut seolah ini hari terbaik mereka. Mereka menamakannya sebagai rencana balas dendam. Obrolan yang dibicarakan sudah bukan tentang kemanusiaan lagi. Enhem terdiam, ia hanya perlu membuat para durjana ini mengikuti arahannya kemudian ia jadikan sebagai umpan. Enhem bukan teman mereka, mereka hanya tiga orang menyedihkan yang kebetulan ia temui saat tengah mencari kebenaran tentang roh cantik penunggu bukit beberapa hari yang lalu. Ia melihat mereka selalu mengintai gadis elf yang kebetulan sering lewat, yang ke
"Rei-kun, kau tau? Aku tidak pernah merasa secemburu ini. Aku selalu ingin ada seseorang yang bisa menyatu dengan tubuhku, tapi aku tidak pernah bisa mendapatkannya. Semakin lama, aku semakin ragu kalau dua jiwa bisa menyatu dalam satu raga, sampai akhirnya kau hadir sebagai penyelamat dan menunjukkan padaku bahwa dirimu itu istimewa. Kau tau Rei-kun? hatiku berdegup kencang setiap kali aku mencium aromamu." Violet menjilat bibirnya untuk membersihkan sisa darah. Rei lemas, tak kuasa mencegah Violet untuk merenggut kendali bibirnya saat ini, Celia sepertinya tak punya tenaga barang mencegah dengan kata-kata. Apa ciuman ini artinya dia akan mengambil jiwaku? Rei terpejam pasrah, sesaat sebelum semua itu menyatu, pintu kamar dibuka secara paksa. "Cukup sampai di situ! Sang Penyendiri!" Violet menghentikan gerakannya, ia bangkit dan berbalik menghadap pada mereka yang mengganggu. Tiga o
Ternyata, apa yang terjadi lebih mengejutkan dari pada yang dipikirkan Enhem. "Enhem Vinyel? Terdengar seperti tentara Nazi!" Rei berkomentar ceplos. "Ayolah! Selain sok hebat, ternyata kau juga sok tau banget ya!" cibir Celia ketus. "Eh? Memangnya cara bicaraku seperti terlihat sok begitu?" "Tentu saja, apa-apaan kemarin itu kau bertindak seperti pahlawan wanita! Kalau aku tau akhirnya kau akan hidup kembali, aku tidak akan menangisimu!" "Heee? Celia menangisiku? Xixi, aku cukup tersanjung." "Bodoh! Dasar Rei bodoh! Kau pikir bagaimana perasaanmu saat kehilangan satu-satunya orang yang kau miliki di dunia ini?!" "Hehe, maaf-maaf. Tapi aku sangat senang begitu tau kau sangat mengkhawatirkanku." "Hmmphh! Mau bagaimama lagi, kan? Itu berarti aku masih punya sisi kemanusiaan!" Enhem hanya tersenyum melihat perbincang
"Malam itu, Tanoa dan ayah bertengkar setelah dia mengomentari kebiasaannya yang sulit bergaul. Tanoa marah, dia pergi ke hutan di belakang mansion seorang diri. Saat itu, Aamon dan Gossen sedang ada urusan diplomat, jadi hanya aku yang tersisa untuk menghiburnya. Aku begitu bodoh, hanya menatapnya sedih dari jendela tanpa melakukan apapun. Barulah saat itu aku melihat bulan purnama tiba-tiba bercahaya biru. Aku segera berlari keluar kamar dan mengejarnya ke hutan. Dari jauh, aku melihat sosoknya. Mereka berdua tampak bercengkrama kemudian bergandengan tangan menuju hutan lebih dalam. Aku kehilangan jejak Tanoa, melirik kesana-kemari tanpa menemukan apapun. Aku berteriak memanggil, tanpa sadar air mataku jatuh. Sampai akhirnya, bulan itu redup dan bersinar seperti biasa, aku menemukan tubuh Tanoa tergeletak tak berdaya dengan wajah sepucat kertas. Saat itu, Gossen datang mencariku. Dia sudah tiba dari urusan diplomatnya
"Permisi, kami hendak mencari pemimpin karavan dagang Yuminose, bisa tolong antarkan kami padanya?" pinta Rei pada pria paruh baya yang tengah menghirup puntung rokoknya itu."Ah, apa kau juga mau ikut pergi ke kerajaan Guilstone?"Rei mengangguk."Tapi anak muda, mungkin saja perjalanan ini sedikit beresiko, lho," katanya tiba-tiba."Lho, memangnya kenapa?"Pria itu mendekatkan wajahnya untuk membisikan sesuatu, "Ada rumor yang mengatakan bahwa, setiap malam-malam tertentu di jalur desa Bulu Gagak menuju desa Lembah Bergetar, ada sekumpulan hewan iblis yang suka menyerang petualang atau karavan pada malam hari."Fara terkesiap, itu mengingatkannya pada aroma mencurigakan tadi."Apa pemimpin karavan itu juga mengetahuinya?""Tentu saja, tapi bukan berarti tidak akan ada korban meski ia sudah menyiapkan prajurit penjaga, kau hanya perlu berhati-hati jika sudah mantap ingin ikut dengan mereka," ujarnya, lalu ia mengantar mereka k
"Aku tinggal menceritakan situasinya ketika mereka menemukanku," jawab Rei asal."Anda mengatakannya seperti itu hal yang mudah saja," gerutu Fara."Haha," Rei malah tertawa."Mereka hendak melatihku, magister tingkat lanjutan sebagai pelatihnya. Hanya saja, aku merasa ada yang janggal dari keputusan raja tentangku," jelas Rei."Apa mereka membuatmu tidak nyaman?"Rei yang kepalanya dibantalkan pada tangan jadi menoleh ke arahnya, "Bukan begitu, aku hanya merasa suatu saat mereka akan menjadikanku sebagai budak politik," jelasnya, "dan aku tidak mau Celia terlibat.""Hmm, ya pokoknya kalau sampai mereka menyusul kita, aku tidak mau bertanggung jawab," kata Fara."Tenang saja, aku ahli memanfaatkan medan untuk bersembunyi."Rei bangkit, "Sudah saatnya memasang waktu jaga, kita akan gantian berjaga, kau mau duluan istirahat, Fara-chan?"Fara mengangguk, "Baiklah, aku juga sudah cukup mengantuk."Tirai penutup tenda
"Kenapa terkejut? Kau juga kesini jalan kaki, kan?""Muuh, tidakkah kalian terlalu nekat?""Hey, lihatlah siapa yang berbicara," sahut Rei berkacak pinggang.Fara menghela napas, ia menyerah, mereka sama-sama keras kepalanya. Matahari juga hampir tumbang di sisi timur, waktu mereka tinggal sedikit sebelum hari menjadi gelap."Memangnya, apa tujuanmu pergi ke sana, Rei-san, Celia-san?" tanya Fara."Entahlah ...""Heee?!""Singkatnya, kami hanya ingin menjelajahi dunia yang penuh misteri ini," jawab Rei tanpa keraguan di wajahnya."Apa itu, aneh sekali," cibir Fara."Kok aneh?""Kalian suka sekali ya melakukan hal-hal yang merepotkan," ujarnya. "Tapi ... Terima kasih ya, maaf aku kurang benar mengatakannya kemarin itu," tambahnya lagi.Benar-benar sosok Fara yang terlihat berbeda di mata Rei dan Celia, sampai bingung bagaimana menanggapi perkataannya."Kenapa menatapku seperti itu?""Eh, hahaha
Fara mengucek kedua matanya yang sembab saat terbangun. Ya, setelah ia menutupkan pintu begitu Rei keluar, ia hampir tidak bisa berhenti menangis. Tirai dibuka, cahaya yang terlalu terang mengejutkan bola matanya yang masih terasa perih.Ia membetulkan kerah piyama yang turun ke bahu. Mengorek isi tas untuk mengambil pakaian ganti. Di penginapan ini terdapat pemandian air panas, sempurna untuk pagi hari setelah malam yang melelahkan. Fara meregangkan tubuhnya, lalu mengingat ada sesuatu yang kurang."Astaga, aku tidak punya sabun," gumamnya."Mungkin aku bisa meminjamnya dari kamar sebelah," Fara lalu merapikan isi tas itu dan beranjak ke kamar sebelah.Pintu diketuk, "Permisi."Tepat setelah pintu dibuka, handuk yang bawa di tangannya jatuh, mulutnya menganga tak percaya."Ah, Ohayou Fara-chan.""Ohayou Fara-chan," ujar suara yang lebih feminim."Rei-sama, apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Fara penuh keterkejutan.R
Sebelum kejadian itu terjadi."Celia-sama, ada apa?" tanya Lumine melihat ia datang ke kamarnya tepat setelah Fara pergi."Apa, Fara-chan meninggalkan sesuatu?""Entahlah, kau bisa mengecek lemarinya."Tanpa disuruh dua kalipun Celia segera melakukan apa yang Rei minta sebelumnya."Mungkin ini agak sulit, tapi jika ada barang yang membangkitkan kenangan Fara, seharusnya kita bisa membujuknya," kata Rei sebelum itu.Celia mengorek isi lemari, mendapati sebuah kotak dan membukanya."Rei-kun, bukankah benda ini adalah ...?""Ah, sepertinya ini keberuntungan kita."Mereka juga mendapati sapu tangan Rei disitu."Anu, mau kau apakan barang-barang itu Celia-sama?" tanya Lumine"Izinkan kami menyimpannya sebagai kenang-kenangan," jawab Rei."Eh, aku sih tidak masalah, tapi mungkin yang lain merasa ingin menyimpan barang itu juga.""Aku tidak keberatan kok," kata Reina yang tiba-tiba muncul, Lucia juga
"Kau sengaja mencariku?""Maaf, seharusnya aku lebih memikirkan keadaanmu," kata Rei."Tapi, kenapa?" Air mata yang menumpuk di pelupuk mata Fara tiba-tiba saja tumpah, "Padahal aku sudah mencoba membunuhmu." Gadis itu mengusapnya dengan lengan kain panjang yang penuh noda bekas serangan Hidomi."Aku senang kau tampak baik-baik saja, Fara-chan." kata Celia."Wah, wah, tampaknya ada reuni mengharukan di sini."Rei meningkatkan kewaspadaan menatap tajam pada Hidomi."Rei-sama, pergilah, dia bukan lawanmu," ujar Fara lirih.Tentu saja Rei yang keras kepala tidak akan mendengarnya. Ia menerjang, Hidomi yang mendapati tindakan ini tak tinggal diam. Tangan mereka sama-sama memancarkan aura sihir.Bicara soal kekuatan, daun kering tentu akan kalah dilahap api, tapi yang jadi penentu saat ini adalah pengalaman, bukan seberapa kuat.Rei memukul, Hidomi menghindar, dan terjadi sebaliknya. Rei terus memusatkan tenaganya setiap ia m
"Keluarlah, kalian tidak perlu bersembunyi," ujarnya."Wah, wah sepertinya kau sudah melunak ya, apa itu artinya kau menerima tawaran kami?" sahut pria yang sepertinya pemimpin kelompok serangga ini."Pergilah, atau kalian rasakan akibatnya," ancam Fara tanpa ekspresi."Hmm, kau mengancam kami? Sungguh tidak tau diri."Mereka mendekatinya dengan tatapan penuh hasrat. Fara sejengkalpun tak menggeserkan kakinya. Ia menghela napas, padahal baru saja menyesali sesuatu. Sekarang ia harus menodai tangannya lagi.Pria itu mencoba menyentuh pundaknya, Fara menepis. Merasa geram, ia mencengkram kuat pundak Fara dengan kedua tangan."Aku sudah memperingatkanmu, lho."Cengkraman itu tak berlangsung lama, Fara melompat ke belakang dan melepasnya. Keseimbangan pria itu otomatis berkurang, Fara dengan sekuat tenaga melayangkan tendangan salto dan memusatkan serangannya pada dagu si pria. Serangan cepat itu membuatnya mundur beberapa langkah sambil
"Guilstone mungkin banyak celah, tapi yang mulia Nelhon adalah sosok bijaksana yang sangat memegang nilai kepercayaan." Sebagai bagian yang memegang kepengurusan tentang kerajaan ini, kalimat itu menjadi jawaban Aamon.~~~Hari yang dikhawatirkan pun tiba. Berkat pijatan detoksin dari tabib Stela, tiga hari setelahnya akhirnya Celia bisa beraktifitas seperti biasa.Bukannya ceria, pagi yang cerah ini malah disambutnya dengan ekspresi murung. Itu karena Fara akan duduk di kursi pengadilan pada hari yang sama.Sang raja mendengar semua kesaksian yang diungkapkan oleh Lewith Paxley, sementara penghuni kediaman Paxley, termasuk Enhem, dan juga para maid yang duduk di kursi pengantar menatapnya dengan hati terenyuh.Reina menatap ke arah Celia yang jarak bangkunya cukup jauh, terlihat sekali tatapan harapnya yang tengah mengelap tangis dengan sapu tangan supaya Celia bersuara untuk menolak pidana ini.Celia ingin sekali melakukannya, tapi yang te
"Tolong lakukan lebih lembut, Stela-san, uhh ....""Kalau aku melakukannya lebih pelan lagi, bukannya menguap, racun itu malah menyebar di tubuhmu," sahutnya membuat Celia jadi pasrah.Meski tidak bisa melihat, desah dan erangan yang dibuat Celia saat dipijat membuat Rei berkomentar, "Akhirnya kau menunjukkan sisi erotismu, Celia-chan.""Ahh, berisik Rei-kun!""Bertahanlah sebentar. Meski tidak terlalu parah, racun yang diakibatkan oleh sihir gelap ini bisa merusak imunitas tubuh, itu membuatmu sangat mudah terserang demam," jelas Stela di sela-sela pijatan itu."Aku baru tau dalam sihir itu bisa membuat racun mengendap dalam aliran mana seseorang," ujar Rei."Semua sihir memang dapat mengganggu aliran mana seseorang, tapi jenis dan tingkatannya berbeda-beda. Ada yang sangat lemah sehingga larut begitu saja, dan yang paling berbahaya adalah sampai menghancurkan aliran mana itu sendiri," jelas Dania.Rei dan Celia tertegun, ia pernah m