Angin malam yang dingin menusuk kulitku yang hanya memakai kaus dan kardigan tipis. Awan hitam tampak jelas berkumpul menjadi satu di atas sana, pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan yang membuatku kini berjalan dengan cepat.
Aku mendongak kala mendapati setetes air jatuh dari langit yang mendarat mulus di dahi penuh jerawatku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan air lainnya.
Aku memejamkan mata kesal. Ah! Seharusnya aku membawa payung seperti yang disuruh ibuku tadi.
Aku berlari secepat mungkin sambil melindungi buku novel yang baru saja kubeli bersamaan dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Yah, aku tak bisa menghindar jadi seluruh tubuhku dibasahi oleh air. Tapi aku bersyukur karena kini jarakku dengan rumah hanya tinggal sepuluh meter. Setelah sampai di depan pagar, aku menekan password rumahku dan buru-buru membuka pintu rumah.
Tetapi aku terdiam di depan pintu. Tanganku yang tadi sudah bersiap untuk membuka pintu, kutarik kembali karena mendengar suara-suara samar yang berasal dari dalam sana. Aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Tapi satu hal yang aku tahu, yaitu: mereka sedang bertengkar.
Aku berjongkok di depan pintu sambil menyembunyikan wajah di lekukan tanganku yang kulipat di atas lutut, berharap sebentar lagi mereka akan selesai dengan pertengkaran mereka. Aku terus menunggu. Tapi pertengkaran mereka bahkan menjadi lebih kacau–karena aku mendengar suara benda yang pecah. Aku pun berdiri, takut jika pertengkaran itu akan semakin parah nantinya. Walau aku enggan, aku tetap masuk dengan menghembuskan nafas terlebih dahulu.
Pintu kubuka, bersamaan dengan berhentinya teriakan yang mereka keluarkan. Tetes-tetes air yang jatuh dari tubuhku menjadi pusat perhatian mereka.
“Aku pulang.”
Ibuku, salah satu orang yang mengeluarkan suara teriakan yang tadi kudengar, berjalan menghampiriku dengan raut wajah cemas. “Bagaimana bisa kau kehujanan seperti ini?”
Sementara ayahku, yang tadinya memegang tas kesayangan ibuku dan sebuah gunting, kini memegang sebuah handuk dan berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Sambil mengeringkan rambutku dia bertanya dengan nada yang sama cemasnya dengan ibu, “Kenapa tidak menyuruh ayah untuk menjemputmu di toko buku?”
Aku menutup mataku rapat-rapat. Menahan emosi yang hampir keluar, “Aku tidak apa-apa.”
Hanya itu dan selalu itu yang ku ucapkan. Berharap semuanya baik-baik saja, walau kenyataannya tidak.
Aku mengalihkan pandanganku kepada ruang tamu, aku menganga tak percaya saat melihat guci kesayangan ayahku sudah hancur berkeping-keping di lantai, lalu ada juga tas mahal ibuku yang disobek-sobek tergeletak tak berdaya di dekat pecahan guci. Aku menatap mereka bergantian.
“Kenapa bisa seperti ini?” Tanyaku tak percaya.
Dapat kulihat ayah dan ibu berwajah pucat, “Ibu akan membuatkan teh hangat untukmu, pasti kau kedinginan. Lebih baik kau mandi dulu.” Ujar ibuku, berusaha mengelak.
Ayahku mengangguk, “Benar yang dikatakan ibumu.” Lalu ayah mendorong bahuku menuju kamar mandi, tak membiarkan aku untuk mengatakan sesuatu kepada mereka. Ayah mengambil alih buku-buku yang masih berada di dekapanku, kemudian menutup pintu kamar mandi setelah aku masuk ke dalamnya.
Aku menghembuskan nafas lelah. Kejadian ini sudah sering kali terulang. Dan selalu akan berakhir dengan mereka mengelak lalu aku yang akan berpura-pura tidak tahu–walau aku sebenarnya tahu.
***
Matahari sudah terbit, membuatku mau tidak mau harus bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari yang sama menyebalkannya dengan hari kemarin, hanya karena aku pergi ke sekolah.
Setelah menyandang tas, tanganku membuka pintu kamar untuk turun ke bawah dan sarapan bersama kedua orangtuaku. Tapi cermin yang menggantung di samping pintu menghentikan langkahku. Cermin itu membuatku memperhatikan pantulan wajah ku di sana.
Hidung mancung, mata bulat, bibir indah berwarna kemerahan, wajah kecil, dan kulit yang putih bersih tidaklah membuatku merasa cantik karena banyak jerawat yang menutupinya. Aku memalingkan wajahku dari cermin, karena merasa kesal setiap melihat jerawat-jerawat yang ada di wajahku. Sudah berapa dokter kecantikan kudatangi, tetapi mereka tidak bisa menghilangkan jerawatku.
“Alana! Ayo sarapan!”
Panggilan ibu membuat lamunanku buyar. Dengan lesu aku membuka pintu dan berjalan ke arah meja makan dan duduk di depan ayah dan ibuku.
Ibu menyodorkan roti berisi daging kepadaku.
“Makan yang banyak. Lihatlah betapa kurusnya dirimu.”
Ibu mulai lagi.
Kini ayahku berdecak, “Kau seorang wanita, tapi bagaimana bisa kau tidak tahu kalau berat badan adalah topik sensitif untuk wanita?”
Dan mereka mulai lagi.
Aku menghela nafas lelah melihat mereka yang saling melempar tatapan sinis. Beberapa kali mereka kelepasan seperti ini di depan ku. Ya intinya kalau tidak ada situasi canggung, ya situasi ini.
“Tolong hentikan, ayah, ibu. Aku akan makan sesuai dengan porsiku.” Ucapku, menengahi mereka yang masih beradu tatapan sinis. Ayah yang pertama kali memutuskan kontak matanya dengan ibu.
Lalu kembali hening dengan rasa canggung yang menyelimuti kami. Ini sudah biasa memang, tapi tetap saja tidak menyenangkan.
Aku sudah selesai sarapan, dan itu tandanya aku harus menyambut hari menyebalkanku di sekolah.
Ya semoga saja tidak begitu menyebalkan.
*** Aku duduk di kursi ku sambil membaca novel yang kubawa dari rumah dan menyumpal telingaku dengan headset yang tersambung ke ponselku.Aku selalu hanyut dengan bacaan yang kubaca, sampai-sampai tidak pernah tahu seperti apa situasi kelasku–atau lainnya–setiap kali aku membaca. Setiap aku ada masalah, aku selalu mengalihkan duniaku kepada novel. Karena itu membuatku sedikit lebih tenang, karena novel adalah dunia imajinasi tanpa batasan milikku.
Disaat aku ingin membalikkan halaman novel ku, tiba-tiba seseorang menggebrak mejaku dengan kasar. Aku terperanjat, refleks, tentu saja.
Riana, seorang gadis yang tenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi di sekolah ini, menatapku dengan tatapan marah yang jelas, membuatku langsung menunduk takut. Yah, aku ini penakut.
“Aku sudah memanggilmu berkali-kali!” Ujarnya marah, atau kesal? Ntahlah aku tidak tahu, yang jelas dia berbicara dengan nada yang tidak enak didengar oleh telinga siapapun.
Aku meneguk ludahku dengan kasar. Aku benar-benar tidak ingin berurusan dengan Riana, hari ini, ataupun besok, ataupun selamanya. Aku melepas buku novel yang ku pegang, beralih menjadi menautkan jari-jariku. Bahkan aku bisa merasakan tanganku sendiri berubah suhu menjadi dingin.
Aku mendongak, menatap iris yang menatapku balik dengan tatapan marah itu. “Maaf.” Ucapku pelan, sangat pelan.
Dapat kudengar, gadis di depanku mendengus dengan keras. “Mana tugasku?” Tanyanya, atau lebih tepatnya perintahnya.
Dengan cepat aku membuka tasku dan mencari sebuah buku di dalam sana, lalu menyerahkannya kepada Riana. Gadis itu tak beranjak dari hadapanku, sebelum dia puas dengan tugasnya. Jadi dia akan memeriksa dulu tugasnya baru dia akan pergi bila sudah puas.
Sebenarnya aku takut-takut saat melihat raut wajah serius Riana. Takut kalau tugas yang aku buat tidak sesuai dengan harapannya. Takut kalau dia akan mempermalukanku seperti yang sudah-sudah karena kesalahan di tugas miliknya yang aku kerjakan. Atau yang lainnya.
Dan tanpa sadar, aku berkeringat dingin.
Senyum puas yang tercetak di wajah cantik milik Riana membuatku bernafas lega. Kalian bisa katakan aku bereaksi berlebihan, tapi, hey! Aku adalah orang yang sedang ditindas, jadi apa yang akan dirasakan oleh seseorang yang sedang ditindas?
Riana beranjak pergi, tetapi sebelum pergi dia mengatakan sesuatu yang membuatku menghela nafas lelah.
“Kerja bagus. Aku suka jika kau berguna di kelas ini. Memang inilah tujuanmu ada di kelas ini.”
Ya, aku sepertinya akan selalu dipandang sebelah mata. Menyedihkan.
Namaku Alana Liora Gantari. Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, dan ini adalah kehidupan dunia nyata menyedihkan milikku. Ini hanya awalan dari segalanya.
***
Bel istirahat berbunyi, membuat seluruh teman–ah tidak, maksudku murid–sekelasku keluar kelas. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan diluar kelas, karena aku tidak begitu peduli.
Aku bukan marah, hanya saja sedih lebih tepatnya. Mereka bermain bersama, tertawa bersama, dan melakukan hal lainnya bersama. Sementara lihatlah diriku yang sendirian, tanpa ada yang ingin berbicara denganku, tanpa ada yang ingin berteman denganku. Masa sekolah SMA ku tidak seperti mereka.
Hanya ada satu kata yang sangat cocok untukku, yaitu menyedihkan.
Disaat aku ingin melanjutkan bacaan ku, ada sebuah panggilan alam yang sangat mendesak. Membuatku mau tak mau harus meninggalkan zona nyaman. Berjalan ke toilet perempuan diiringi tatapan jijik, itu sudah biasa bagiku. Biasa tapi tetap terasa menyesakkan.
Disaat aku sudah selesai dengan urusanku di bilik kamar mandi, aku mendengar beberapa gadis sedang menggosipkan sesuatu. Awalnya aku tidak mau menghiraukan mereka dan ingin pergi begitu saja, tetapi tokoh utama dari gosip yang mereka bicarakan menahanku untuk tetap diam di dalam bilik kamar mandi ini.
Mereka sedang membicarakanku!
“Hey! Aku benar-benar tidak tahan harus satu kelas dengan si ratu jerawat itu! Melihat wajahnya setiap hari saja itu membuatku jijik!” Ucap salah satu dari mereka, tepat menusuk dihatiku. Tidak usah tanyakan padaku seperti apa rasa sakitku sekarang. Oh ya, mereka memang membuatkan ku sebuah nama panggilan, yaitu ‘Ratu Jerawat’.
Gadis lainnya tertawa terbahak-bahak, “Kau kira kau saja yang tersiksa? Aku juga, tahu! Hey, tapi kau pernah dengar soal rumor gadis itu?”
Aku semakin serius mendengarkan. Memangnya gadis sepertiku ini punya sebuah rumor?
“Memangnya gadis seperti dia itu punya rumor?”
Apa dia membaca pikiranku?
“Katanya dulu itu waktu SMP dia sangat terkenal karena wajahnya yang sangat cantik. Tapi karena dia merebut pacar sahabat baiknya, ya jadi wajahnya tumbuh banyak jerawat!”
“Itulah yang dinamakan karma! Tapi aku tidak percaya bagian wajahnya pernah cantik.” Lalu disambung dengan suara tawa mereka yang perlahan menghilang dari toilet itu.
Aku dapat merasakan bahwa dadaku sekarang sangat sesak. Mereka bahkan tidak tahu apapun tentangku, tapi kenapa mereka harus menyebarkan rumor jahat.
Ulangan harian yang sangat menguras otak itu telah berakhir.Kalian tahu pelajaran apa itu?Ya! Itu matematika!Rasanya kepalaku selalu berasap bila dihadapkan dengan rumus-rumus matematika yang memusingkan itu. Belum lagi guru yang mengajar di depan suaranya sangat lembek. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.Aku terkejut setengah mati ketika mendapati seseorang menggebrak mejaku. Jantungku berdetak kencang, aku terdiam karena shock. Pelan-pelan kuangkat wajahku dan melihat siapa si penggebrak meja.Aku sangat yakin wajahku semakin memucat mendapati wajah marah Riana sedang menatap tajam ke arah ku.Riana mendesis, “Kau tahu kan apa tugasmu dikelas ini?”Aku mengangguk takut-takut.Aku benar-benar ketakutan! Riana tidak pernah semarah ini sebelumnya, bahkan wajahnya saja sampai memerah menahan emosi. Kalau aku tidak membuat PR miliknya saja sudah dipermalukan, apala
Sesuatu yang terasa basah mengganggu tidurku. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengelapku dengan kain basah. Aku membuka mataku perlahan-lahan, awalnya memang sangat berat untuk dibuka tapi tetap aku paksa. Spontan, aku melotot tak percaya melihat apa–maksudku, siapa–yang ada dihadapanku saat ini. Rasa sakit di sekujur tubuh terasa olehku begitu aku membuka mata, tapi tak kuhiraukan karena aku malah beranjak duduk dan menyeret tubuhku ke dinding. "Se-sebentar! Terlalu dekat!" Ujarku dengan panik. Bagaimana aku tidak panik kalau aku sedang berduaan dengan lelaki yang tak kukenal? Di kamarku pula? Yah, aku kenal sih, tapi dia memangnya kenal aku? “Hey, kenapa kau waspada seperti itu kepadaku?” tanya Adnan yang heran dengan tingkahku. "Bukan begitu..." Aku bergumam pelan, entah dia mendengarku atau tidak. &nbs
Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku.Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk."Aku membencimu!"Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya.Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini."Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!"Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia
Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa."A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja."Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?""Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar."Maafkan kami, Alana. Kami minta
Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar."Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Suara piring beradu dengan sendok mengisi kekosongan di antara aku dan Lio. Ah, tidak, maksudku di antara aku, Lio, dan Adnan. Ya! Adnan duduk di tengah-tengah kami! Tapi tak apa, aku tak merasa canggung. Malah aku merasa bersyukur karena Adnan ada di antara kami, jadi aku tidak perlu begitu canggung hanya duduk berdua dengan Lio. "Aku sudah selesai," ucap Lio canggung. Dalam hati aku menikmati momen ini. Ada bagusnya dia bersikap seperti ini ketika melihatku di sekolah, pasti dia akan menghindari ku karena terlalu canggung. Adnan masih menatap Lio tajam, mungkin karena itu Lio memalingkan matanya dari Adnan. "Kau mau langsung pulang?" Adnan bertanya dengan nada yang tidak bisa dikatakan ramah. Kalau Adnan bersikap begini, dia benar-benar terlihat seperti kakak yang baik. Hm, tidak cocok. Kuliha
"Kau mengenal Adelio?"Aku mengalihkan wajahku dari tatapan dinginnya yang menusuk.Panik mulai menyerang ku. Apa yang harus kujawab mengenai pertanyaannya yang terdengar mengintimidasi itu?Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali. Tidak, Alana. Di saat seperti ini kau harus tetap tenang.Perlahan kutolehkan wajahku dengan senyuman tipis padanya, "Apa maksudmu, Rei? Aku kan tidak mengingat apapun. Bagaimana bisa aku mengenali laki-laki itu?" Dalihku."Benarkah?"Rei masih tampak mencurigai ku. Tapi aku tidak boleh terlihat gugup."Tentu saja. Bukankah seharusnya aku yang bertanya mengapa kau menyebut-nyebut namaku saat bertengkar dengannya?" Balasku berusaha tenang. Aku sudah mengatur suaraku setenang mungkin, semoga dia tidak curiga. Untung saja aku mengingat itu untuk dijadikan alasa
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai harus berbicara di sini?" Tembakku langsung saat kami sudah berada di atap, dimana tidak akan ada seorangpun yang akan mendengar percakapan kami. Bukan aku yang meminta untuk berbicara di sini, melainkan Lio. Garis wajah Lio mengeras dan membuatku yakin dia sekarang sedang menahan diri untuk tidak berteriak marah. "Kau berteman dengan anak itu?" Suara Lio terdengar dingin ketika memasuki gendang telingaku. Aku sempat gentar karena takut, tapi aku harus tetap terlihat kuat. Aku melipat tangan ku di depan dada, berpura-pura angkuh, "Memangnya ada masalah kalau aku berteman dengannya?" Lio tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan melainkan suara tawa yang terdengar begitu menghina, mengejek, serta merendahkan. "Jadi kau benar-benar b
"Perhatikan,"Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli."Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya.""Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod