Ulangan harian yang sangat menguras otak itu telah berakhir.
Kalian tahu pelajaran apa itu?
Ya! Itu matematika!
Rasanya kepalaku selalu berasap bila dihadapkan dengan rumus-rumus matematika yang memusingkan itu. Belum lagi guru yang mengajar di depan suaranya sangat lembek. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Aku terkejut setengah mati ketika mendapati seseorang menggebrak mejaku. Jantungku berdetak kencang, aku terdiam karena shock. Pelan-pelan kuangkat wajahku dan melihat siapa si penggebrak meja.
Aku sangat yakin wajahku semakin memucat mendapati wajah marah Riana sedang menatap tajam ke arah ku.
Riana mendesis, “Kau tahu kan apa tugasmu dikelas ini?”
Aku mengangguk takut-takut.
Aku benar-benar ketakutan! Riana tidak pernah semarah ini sebelumnya, bahkan wajahnya saja sampai memerah menahan emosi. Kalau aku tidak membuat PR miliknya saja sudah dipermalukan, apalagi sekarang.
Gadis itu kembali menggebrak mejaku dengan lebih kencang.
“LALU KENAPA KAU TIDAK MENOLEH SAAT AKU MEMANGGILMU TADI!!!” Teriaknya tepat di depan wajahku.
Tenggorokanku tercekat. Tubuhku menggigil ketakutan, aku tidak pernah dibentak seperti ini sebelumnya. Orang tuaku yang biasanya selalu bertengkar saja tidak pernah membentakku. Aku bahkan tidak mendengar apapun saat ulangan tadi.
Tanpa kusadari air mata lolos begitu saja melewati pipiku.
Secepat air mataku turun jugalah Riana menamparku. Rasanya sakit sekali, bahkan rasanya bibirku mengeluarkan darah sangking kerasnya gadis itu menamparku.
Gadis itu menampar pipiku lagi dan kurasa kali ini darah keluar dari bibirku.
Aku melihat ke sekeliling, berusaha mencari bantuan. Tetapi yang kulihat malah mereka semua menonton, bahkan merekam kami dengan ponsel mereka, seolah ini adalah hal yang sangat seru dan yang mereka nanti-nanti selama ini. Beberapa pun ada yang mendukung Riana.
“Ah, menjijikkan! Jerawatnya pecah di tanganku!” Dan mereka semua tertawa.
Hatiku semakin hancur. Tidak ada yang mau menolongku. Tidak seorang pun.
Air mataku kembali menetes.
Bukan tamparan kali ini yang kudapat, melainkan jambakan yang sangat kuat dari tangan Riana ke rambutku. Rasanya sangat sakit, dapat kurasakan kalau rambutku banyak yang rontok.
Aku mendorong Riana, aku tidak akan tinggal diam diperlakukan seperti ini. Mendapati dorongan dariku membuat emosi Riana semakin tersulut. Dia kembali menamparku, tetapi aku kembali mendorongnya.
Emosiku benar-benar sudah dipuncak. Aku benar-benar tidak bisa menahan semua ini. Rasanya sangat menyiksa.
Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan. “AKU BUKAN ORANG YANG DAPAT KALIAN SURUH-SURUH SEENAKNYA!!” Suara ku melengking, memenuhi setiap sudut ruangan. Emosi menguasai diriku saat ini. Dan semua orang terdiam mendengarnya termasuk Riana.
Aku mengatur nafas, lalu kembali bersuara dengan volume yang lebih pelan tapi penuh dengan emosi. “Kalian kira aku mendengar disaat kalian memanggilku?! AKU BAHKAN TIDAK TAHU! Aku selalu diam disaat kalian berbicara yang tidak-tidak terhadapku! AKU JUGA MENURUTI APA YANG KALIAN MINTA! Tapi kalian bahkan selalu mengucilkan aku!
Diluar dugaan. Mereka semua malah kembali tertawa mendengar segala penderitaan yang aku keluarkan. Aku melihat ke sekeliling, mereka semua benar-benar tertawa tanpa ada satupun yang berniat membelaku. Bahkan si ketua kelas berkata “Hei teman-teman! Si buruk rupa itu sudah tidak kuat katanya!”
Suara tawa mengerikan mereka memenuhi pikiran ku. Menusuk gendang telinga serta hati.
Riana maju dengan angkuhnya, melipat tangannya seperti sedang menantang dan menatapku seolah-olah aku adalah makhluk yang paling menjijikkan di bumi. Dia berjalan lalu berhenti tepat di depanku, memajukan wajahnya dan berbisik tepat di samping telingaku dengan suara yang paling mengerikan yang pernah kudengar.
“Kau tidak kuat ya, Alana sayang? Kalau begitu, mati saja!”
Aku terdiam di tempatku berdiri. Mencerna setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya. Menelan saliva ku susah payah. Tak lama, suara tawa sumbangku mengisi kekosongan kelas. Aku keluar dari kelas itu dengan emosi yang sudah tidak dapat aku kontrol. Tapi sebelum pergi aku mengatakan sesuatu yang membuat mereka terdiam.
“Baiklah, aku akan mati!”
***
Aku berjalan di trotoar seperti orang gila. Rambut kusut, wajah lebam, seragam acak-acakan. Dan terlebih lagi aku sekarang sedang membolos untuk pertama kalinya!
Yah, aku memilih untuk membolos karena suasana hatiku sedang sangat kacau. Maksudku, benar-benar kacau. Aku sedang tidak ingin bertemu Riana, sedang tidak ingin bertemu guru-guru yang tidak peduli dengan muridnya, dan sedang tidak ingin melihat tatapan merendahkan murid-murid di sekolahku. Di jalan ini, aku tidak begitu diperhatikan karena setiap pejalan kaki sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Cukup membuatku tenang.
Lelah berjalan, aku memutuskan untuk berdiam ditempat aku berpijak sekarang. Sebetulnya aku tidak tahu mau kemana, kalau aku pulang sekarang pasti ibu akan memborbardir ku dengan berbagai macam pertanyaan. Dan aku sedang tidak ingin ditanyai.
Mataku memandang ke sekeliling. Jujur saja aku tidak tahu sekarang berada di daerah mana. Aku adalah seorang yang buta arah. Tapi entah mengapa aku sudah merasa tidak peduli apakah aku bisa pulang ke rumah atau tidak. Karena aku lelah. Lelah dengan semuanya.
Sebuah toko antik memaku pandanganku. Tempat itu tidak pernah kulihat dimana pun sebelumnya. Membuat kakiku melangkah ke toko antik tersebut.
Bunyi bel terdengar begitu aku membuka pintu. Toko antik ini benar-benar sepi, hanya ada aku dan seorang pria pemilik toko yang sudah tua. Di tempat ini ada begitu banyak buku-buku tua, kaset-kaset lama, dan berbagai hal yang aku tidak tahu namanya tapi aku pernah lihat entah dimana.
Jari-jari ku menelusuri buku-buku tua itu, dan berhenti tepat di sebuah buku yang sampulnya masih terlihat sangat baru. Aneh, semua buku disini sudah lumayan usang, tapi hanya buku ini yang masih terlihat baru.
Tanpa membaca sinopsisnya, aku membuka lembar demi lembar. Cerita ini lumayan seru, meskipun ceritanya cukup pasaran. Sepertinya ini fiksi penggemar, karena tokohnya adalah Adnan Bastian Danish, salah satu aktor muda yang saat ini sangat digandrungi masyarakat. Tidak ada yang tidak mengenalnya, dari yang tua sampai yang muda. Semuanya menyukai pria itu.
Aku ingin tertawa karena namaku ada di sana, tertulis sebagai adik dari Adnan yang sangat cantik dan pemberani. Aku ingin menangis, kenapa nasibku tidak seperti itu? Benar-benar tidak adil!
“Hey, nak. Apa kau menyukai buku itu?”
Pertanyaan kakek pemilik toko membuat aku mengalihkan fokusku dari buku, dan melihat ke jendela kaca transparan. Sudah gelap rupanya.
“Iya, kek. Ceritanya lumayan menyenangkan.” Jawabku, berusaha untuk sopan.
Kakek itu kemudian tersenyum lembut, mengingatkanku pada kakekku yang sudah meninggal, ah aku merindukannya. “Bawalah buku itu pulang, hari sudah gelap.”
Aku terdiam. Sebetulnya aku ingin sekali membawa buku ini pulang. Tetapi aku meninggalkan tas ku begitu saja di kelas, dan dompetku ada di dalam tas itu.
“Tapi saya tidak bawa uang, besok saya akan kembali lagi untuk membeli buku ini.”
Lagi-lagi kakek itu tersenyum, “Karena kau anak yang cantik, aku akan memberikannya padamu secara gratis.”
Aku terhenyak saat kakek itu bilang aku anak yang cantik. Aku ingin tertawa menanggapi kalimat itu seolah-olah itu adalah lelucon. Tetapi, dia mengatakannya dengan senyuman tulus seperti itu. Ah, sudah berapa lama orang mengatakan hal itu kepadaku? Bahkan aku tidak ingat orang tuaku pernah mengatakan itu padaku setulus kakek ini.
Aku pun ikut tersenyum, “Baiklah, terima kasih banyak kakek.”
Aku keluar dari toko itu dengan perasaan yang lebih tenang. Nah, sekarang bagaimana aku harus pulang? Aku melihat lampu lalu lintas, dan menyebrang saat lampu itu berwarna hijau untuk pejalan kaki.
Karena jalanan sepi, aku memutuskan berjalan lambat di zebra cross sambil menatap senang ke arah buku yang kini tengah ku pegang.
Seorang lelaki seumuran denganku, berlari ke arahku sambil berteriak. Aku juga merasa ada cahaya yang datang dari arah kiri. Saat itu, waktu berjalan lambat. Seseorang yang menarik tanganku itu, ikut tidak bergerak bersamaku.
Tubuhku terpelanting ke belakang. Rasanya kepalaku sangat sakit, bagai terhimpit batu. Pandanganku memburam, awalnya hanya kepalaku yang terasa sakit, tapi kini seluruh tubuhku terasa seolah mati rasa.
Dan perlahan-lahan semuanya menjadi hitam.
***
“Hey!”
Sebuah suara berat khas laki-laki mengusik tidurku. Mataku terasa berat untuk dibuka dan tubuhku rasanya mau patah seakan-akan habis ditabrak oleh sebuah truk.
Eh, tunggu! Ditabrak truk?
“Hey! Alana! Kau tidak mau bangun?”
Suara itu---tunggu tadi kubilang itu suara berat khas laki-laki? TUNGGU! INI SEBENARNYA ADA APA?!
Rasa kantukku mendadak hilang seutuhnya. Mataku melotot tak percaya mendapati wajah yang tidak asing sedang menatapku jengkel itu. Mulutku semakin terbuka lebar.
“A-adnan...Bastian...?” Panggilku ragu.
IYA! DIA ADALAH AKTOR YANG TERKENAL ITU! SI ADNAN BASTIAN DANISH ITU!
Lelaki itu melotot kecil, “Aku adalah kakakmu! Panggil aku kakak! Dasar tidak sopan.”
Ka-kakak... katanya?
Lalu dia berdecak kesal sambil lanjut mengomeliku, “Gadis macam apa yang bangun di siang hari? Kau mau menjadi apa, huh?” sindirnya, tapi tidak mampu membuat aku tersindir. Lalu keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya.
Aku mengerjapkan mataku pelan, beberapa kali aku menepuk pipiku dengan keras. Apa aku bermimpi? Tapi aku barusan bermimpi kalau aku ditabrak sebuah truk dan terasa sangat nyata sekali. Lalu ini apa? Mimpi didalam mimpi kah?
Aku memperhatikan ruangan yang aku tempati ini. Kuperhatikan meja rias, meja belajar, tas, perhiasan, dan sebagainya. Dan ini benar adalah kamarku. Lalu apa lelaki ini yang salah?
Aku menyibak kain selimut dan berlari keluar kamar untuk memastikan apa yang seharusnya dipastikan. Rasa pusing yang luar biasa saat aku berdiri, dan rasa nyeri tubuhku benar-benar terasa seperti baru saja sehabis kecelakaan, tetapi aku abaikan karena ada hal yang lebih penting menanti. Dan aku tak sengaja melihat diriku, wajahku... wajahku mulus! Tapi tidak bisa berlama-lama senang karena wajah ku ini, aku harus memastikan sesuatu!
Aku berlari menuju ruang makan. Di sana aku melihat kedua orang tua yang memunggungiku dengan Adnan yang duduk dihadapan mereka dan tak lupa ada sebuah kursi kosong disampingnya pria tampan itu.
Tapi, kedua orang tua itu tampak begitu asing bahkan saat aku lihat dari belakang.
Suara langkah kakiku yang terdengar begitu jelas membuat seluruh pusat perhatian tertuju padaku yang terlihat linglung ini.
Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum penuh keibuan kepadaku,
“Ayo kita sarapan. Kami sudah menunggumu dari tadi.”Apa ini? Kenapa jadi seperti ini? Kepalaku... kepalaku sangat pusing.
Dan sekali lagi, semuanya menjadi gelap.
Sesuatu yang terasa basah mengganggu tidurku. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengelapku dengan kain basah. Aku membuka mataku perlahan-lahan, awalnya memang sangat berat untuk dibuka tapi tetap aku paksa. Spontan, aku melotot tak percaya melihat apa–maksudku, siapa–yang ada dihadapanku saat ini. Rasa sakit di sekujur tubuh terasa olehku begitu aku membuka mata, tapi tak kuhiraukan karena aku malah beranjak duduk dan menyeret tubuhku ke dinding. "Se-sebentar! Terlalu dekat!" Ujarku dengan panik. Bagaimana aku tidak panik kalau aku sedang berduaan dengan lelaki yang tak kukenal? Di kamarku pula? Yah, aku kenal sih, tapi dia memangnya kenal aku? “Hey, kenapa kau waspada seperti itu kepadaku?” tanya Adnan yang heran dengan tingkahku. "Bukan begitu..." Aku bergumam pelan, entah dia mendengarku atau tidak. &nbs
Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku.Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk."Aku membencimu!"Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya.Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini."Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!"Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia
Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa."A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja."Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?""Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar."Maafkan kami, Alana. Kami minta
Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar."Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
Suara piring beradu dengan sendok mengisi kekosongan di antara aku dan Lio. Ah, tidak, maksudku di antara aku, Lio, dan Adnan. Ya! Adnan duduk di tengah-tengah kami! Tapi tak apa, aku tak merasa canggung. Malah aku merasa bersyukur karena Adnan ada di antara kami, jadi aku tidak perlu begitu canggung hanya duduk berdua dengan Lio. "Aku sudah selesai," ucap Lio canggung. Dalam hati aku menikmati momen ini. Ada bagusnya dia bersikap seperti ini ketika melihatku di sekolah, pasti dia akan menghindari ku karena terlalu canggung. Adnan masih menatap Lio tajam, mungkin karena itu Lio memalingkan matanya dari Adnan. "Kau mau langsung pulang?" Adnan bertanya dengan nada yang tidak bisa dikatakan ramah. Kalau Adnan bersikap begini, dia benar-benar terlihat seperti kakak yang baik. Hm, tidak cocok. Kuliha
"Kau mengenal Adelio?"Aku mengalihkan wajahku dari tatapan dinginnya yang menusuk.Panik mulai menyerang ku. Apa yang harus kujawab mengenai pertanyaannya yang terdengar mengintimidasi itu?Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali. Tidak, Alana. Di saat seperti ini kau harus tetap tenang.Perlahan kutolehkan wajahku dengan senyuman tipis padanya, "Apa maksudmu, Rei? Aku kan tidak mengingat apapun. Bagaimana bisa aku mengenali laki-laki itu?" Dalihku."Benarkah?"Rei masih tampak mencurigai ku. Tapi aku tidak boleh terlihat gugup."Tentu saja. Bukankah seharusnya aku yang bertanya mengapa kau menyebut-nyebut namaku saat bertengkar dengannya?" Balasku berusaha tenang. Aku sudah mengatur suaraku setenang mungkin, semoga dia tidak curiga. Untung saja aku mengingat itu untuk dijadikan alasa
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai harus berbicara di sini?" Tembakku langsung saat kami sudah berada di atap, dimana tidak akan ada seorangpun yang akan mendengar percakapan kami. Bukan aku yang meminta untuk berbicara di sini, melainkan Lio. Garis wajah Lio mengeras dan membuatku yakin dia sekarang sedang menahan diri untuk tidak berteriak marah. "Kau berteman dengan anak itu?" Suara Lio terdengar dingin ketika memasuki gendang telingaku. Aku sempat gentar karena takut, tapi aku harus tetap terlihat kuat. Aku melipat tangan ku di depan dada, berpura-pura angkuh, "Memangnya ada masalah kalau aku berteman dengannya?" Lio tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan melainkan suara tawa yang terdengar begitu menghina, mengejek, serta merendahkan. "Jadi kau benar-benar b
"Perhatikan,"Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli."Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya.""Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod