Empat tahun yang lalu, Akira sedang duduk seorang diri menikmati sejuknya udara di tengah hari yang terik. Gadis berambut sebahu itu sedang berteduh di sebuah gazebo yang ada di taman belakang gedung utama kampus. Saat itu dia baru menginjak semester dua pada jurusan ilmu komunikasi.“Hai, boleh aku duduk di sini?” tanya seorang gadis yang tiba-tiba menghampiri Akira. Gadis itu meminta izin duduk di sampingnya.“Silahkan saja,” jawab Akira ramah.“Perkenalkan namaku Clarissa. Namamu siapa?” tanya gadis itu dengan antusias.“Aku Akira.”“Oh, nama yang indah. Kamu kuliah di sini juga? Ambil jurusan apa?” tanya Clarissa lebih lanjut.“Jurusan Ilmu Komunikasi. Aku baru semester dua saat ini.”“Wah...kalau begitu kita sama. Aku juga semester dua Ilmu Komunikasi. Tapi kenapa aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya ya?” ujar Clarissa.“Mungkin kita berbeda kelas. Lagi pula kita masih mahasiswa baru sehingga belum mengenal banyak orang walaupun satu jurusan,” jelas Akira.“Benar juga apa
Setibanya di rumah sakit, Akira langsung ditangani oleh dokter. Sementara Dannish hanya menunggu dengan gelisah di luar ruangan. Tak lama setelah itu, dokter keluar dan mengabari bahwa Akira harus segera dioperasi. Dannish langsung panik karenanya.“Ibu Akira harus segera melahirkan dengan jalan operasi,” kata dokter memberitahu.“Tapi usia kandungannya belum sampai sembilan bulan, Dok. Apa tidak akan berbahaya jika Akira melahirkan sekarang?” tanya Dannish yang juga tidak tahu banyak tentang prosedur persalinan.“Kami terpaksa harus mengambil tindakan dan bayi itu harus dilahirkan secara prematur.”“Tapi apakah bayi itu bisa lahir dengan selamat?”“Berdasarkan usia kandungan sang ibu, kami bisa memprediksi bahwa bayi itu sudah memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Meski nantinya juga tetap harus dimasukkan dalam inkubator untuk beberapa waktu,” jelas dokter.“Baiklah kalau begitu, Dok. Lakukan saja yang terbaik untuk ibu dan bayinya,” ujar Dannish memasrahkan.“Baik, Pak. Apa anda
Akira tak menyangka di usia semuda itu dia sudah harus menyandang status sebagai seorang ibu. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam deretan rencana hidup yang pernah Akira tulis dalam buku catatan. Namun apalah daya, arus takdir menyeretnya sampai ke titik itu. Akira hanya bisa memandang pilu pada bayinya yang masih diletakkan di dalam inkubator. Dia sudah diperbolehkan oleh dokter untuk melihatnya. Bayi itu kecil mungil dan sebenarnya belum tiba saatnya untuk lahir. Akira duduk di kursi roda sementara Maria setia menemani di belakangnya. "Lihatlah! Putrimu sangat cantik. Selamat ya, Nak. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu," ujar Maria dengan suka cita. Dia tidak tahu jika hati Akira justru merasa sebaliknya."Ibu macam apa aku ini, Tante? Aku merasa bersalah karena bayi itu harus terlahir dari rahimku. Rahim seorang ibu yang bahkan tidak bisa menjaganya ketika masih dalam kandungan sehingga dia harus terlahir lebih awal. Aku sungguh merasa tidak pantas," keluh Akira mulai be
Sepulang dari pertemuan tak sengaja dengan Akira di Café, Clarissa dan Levin langsung disambut dengan murka besar dari Albert. Mereka tidak tahu bahwa ada orang-orang suruhan Albert yang ternyata melihat pertemuan mereka.Albert yang mendapatkan informasi itu langsung memanggil Clarissa dan Levin. Pasangan itu seakan diadili di hadapan Albert.“Jadi sekarang kalian berdua sudah berani menjadi pengkhianat di belakangku?” ujar Albert dengan sinis. Sementara Levin dan Clarissa hanya tertunduk pasrah.“Apa maksudmu berkata seperti itu, Al?” tanya Levin memberanikan diri.“Jangan berpura-pura bodoh di hadapanku, Levin. Aku tahu bahwa kamu dan kekasihmu ini sudah bertemu Akira secara diam-diam,” tuduh Albert. Pasangan itu hanya saling pandang dan tidak menyangka Albert akan mengetahuinya.“Aku sudah tahu semuanya. Anak buahku melihat kalian bertemu dengan Akira di Café Star,” lanjut Albert. Levin dan Clarissa pun berpikir mereka sudah tidak bisa mengelak lagi.“Dasar kalian berdua pengkhian
“Geledah seluruh kamar yang ada di rumah sakit ini!” titah Albert pada beberapa anak buahnya.“Tunggu. Ada apa ini? Kalian siapa?” cegah salah seorang petugas rumah sakit.“Namaku Albert. Aku datang ke sini untuk mencari anak dan istriku. Jangan halangi usahaku,” ucap Albert dengan emosi.“Anda tidak bisa berbuat seenaknya di rumah sakit ini, Pak. Kalian tidak bisa membuat kekacauan atau kami akan melaporkan kepada atasan kami,” ancam sang petugas.“Minggir saja kau!” ucap Albert sembari mendorong petugas itu dengan kasar.“Tolong jangan bersikap keterlaluan, Pak. Semua bisa dilakukan sesuai prosedur. Kalau memang anda ingin mencari keberadaan seorang pasien, anda bisa langsung bertanya saja pada bagian resepsionis. Anda tidak bisa berbuat sekehendak hati,” ungkap petugas itu tetap tidak menyerah dalam menjalankan tugasnya.Sang petugas mengancam akan melaporkan Albert pada pemilik rumah sakit jika tetap menunjukkan sikap tidak ramah. Albert hanya bisa mengacak rambut karena frustasi.
Setelah menunggu dengan tegang beberapa lama, Dannish pun keluar untuk memastikan kondisi rumah sakit. Mereka sengaja mengutus Dannish karena hanya dia satu-satunya orang di antara mereka berempat yang tidak dikenali oleh Albert. Dannish pun kembali dengan sebuah kabar bahwa Albert memang sempat datang ke rumah sakit itu.“Aku mendapat informasi bahwa tadi memang sempat datang seorang laki-laki yang hendak menerobos masuk keamanan rumah sakit,” tutur Dannish setelah kembali ke kamar Akira. Dia menyampaikan laporan sesuai pernyataan para petugas.“Aku yakin laki-laki itu pasti adalah Albert,” ujar Akira.“Itu memang benar, Akira. Dia datang untuk mencari keberadaanmu.”“Lalu di mana dia sekarang?” tanya Akira masih tak sepenuhnya tenang.“Pihak resepsionis mengatakan bahwa Albert sudah pergi setelah sempat menemui Dokter Indi. Tapi kamu tidak perlu khawatir, Akira. Dokter Indi sudah bersepakat dengan kita bahwa dia akan merahasiakan tentang kelahiran anakmu. Mungkin sekarang Albert sud
Pada awalnya, pihak rumah sakit sudah memperbolehkan Akira pulang ke rumah. Tapi tidak dengan bayinya yang masih harus mendapatkan perawatan khusus. Akira pulang ke rumah Dannish untuk sementara waktu.Maria sangat telaten merawat Akira yang baru saja melahirkan. Meski begitu pikiran Akira tak sepenuhnya tenang. Dia masih khawatir meninggalkan putrinya sendirian di rumah sakit apalagi memikirkan Albert bisa kembali datang kapan saja. Akira merasa bayinya tidak aman di sana.Namun di tengah kecemasan yang melanda batin Akira, sosok Dannish kembali hadir sebagai pahlawan. Dia membawa setetes embun yang meneduhkan. Sebagaimana janjinya untuk menganggap Elza layaknya anak sendiri, Dannish pun meyakinkan Akira bahwa dia akan selalu menjaga Elza.“Kamu tidak perlu khawatir, Akira. Ini tidak akan lama. Dokter mengatakan perkembangan kondisi Elza sangat baik. Sebentar lagi dia pasti sudah boleh dibawa pulang. Tapi sementara dia masih berada di rumah sakit, biar aku saja yang akan menjaga dan
Akira mengikuti langkah Dannish menuju mobil sembari mendekap Elza dalam gendongannya. Mereka bahagia akhirnya bisa membawa Elza pulang ke rumah. Dannish membukakan pintu mobil karena tak ingin Akira dan putrinya kesulitan.Sikap itu sempat membuat Akira heran. Pasalnya, Dannish mulai menunjukkan perhatian yang tak biasa. Jelas sekali dia ikut senang dengan kehadiran Elza.Tapi Akira tidak mau berprasangka buruk. Dia mengerti antusias Dannish dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya. Dia pasti sangat merindukan momen dengan buah hati yang sempat dia harapkan. Tapi sayang semua itu tidak bisa terlaksana menjadi kenyataan.Dannish melajukan mobil meninggalkan pelataran rumah sakit. Sambil menyetir, sesekali dia memperhatikan Elza yang terlelap tenang dalam dekapan Akira. Entah bagaimana tiba-tiba pikiran Dannish justru teringat pada sikap kasar Albert yang ingin merebut Elza.Dannish kasihan melihat Akira terus merasa keberadaannya dan bayinya terancam. Dannish merasa heran tentang kein