Tidak henti-hentinya Kania menganggu Riehla. Bukan sesuatu yang alami pintu Toilet tiba-tiba terkunci. Pelakunya adalah Kania. Ia benar-benar tidak main-main dengan tindakannya yang berusaha menjauhkan Riehla dan Ellio.***Hari minggu ini Riehla nampak lebih sibuk dari biasanya. Perempuan itu sedang membantu sang Ibu membuat bolu untuk acara nanti siang di mana ada kumpul-kumpul keluarga. Yang setiap satu bulan lagi diadakan."Nanti kalau ada yang menyinggung soal pernikahan, kamu boleh kok pergi," kata Ibu-nya yang sedang menaruh kaca mete di atas bolu cokelat.Riehla yang sedang mixer adonan tersenyum tipis. Alih-alih sang Ibu memperingati Riehla untuk tetap berada di sana walau mungkin akan mendengar beberapa perkataan yang kurang enak di hati, karena adanya sopan santun, sang Ibu menyarankan hal lain. Bukankah Ibu-nya Riehla terlihat keren?"Seharusnya Ibu gak menyarankan hal seperti itu. Nanti Ibu gak disukai gara-gara Riehla." Sembari menatap adonan bolu."Tugas seorang Ibu ada
Riehla bawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua buah gelas es teh manis. Di mana milik Ellio hanya sedikit manis. Membawa keluar. Meletakkan nampan di atas meja, mendudukkan diri di samping Ellio yang duduk di kursi teras depan Rumah. Riehla menatap lurus ke depan.Ellio lihat raut wajah Riehla yang tidak biasa. Seperti telah terjadi sesuatu. "Ada apa?" tanya Ellio.Riehla menoleh, ditatapnya Ellio yang nampak mengkhawatirkannya. "Cuma frustrasi sama hidup.""Bukannya saya sudah gak jadi atasan yang menyebalkan?""Benar.""Siapa yang sudah mengganggu kamu?"Riehla menatap lurus ke depan. "Selama ini Ayah gak pernah cerita soal keluarganya. Mungkin Ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku nggak tahu. Ayah gak pernah bawa aku ketemu keluarganya. Dan hari ini mereka yang gak mengerti perasaan Ibu, malah membahas mengenai keluarga mereka. Betapa bahagianya keluarga mereka. Jalan-jalan dengan keluarga suami dan segala macam."Tentu Ellio mengerti perasaan Riehla. Bisa terlihat
Riehla langkahkan kaki dengan Ellio yang setia di sampingnya. Terdapat sebuah buket bunga mawar merah pada salah satu tangan Riehla. Langkah keduanya terhenti tepat di depan peristirahatan terakhir Ayah-nya Riehla. Sedikit berjalan, berjongkok dengan Ellio yang ikut berjongkok di sampingnya. Riehla taruh buket di depan batu nisan. "Apa kabar, Ayah? ... Riehla datang bersama seseorang yang selama ini Ayah harapkan dapat menjaga Riehla dengan baik." Lalu, menoleh ke arah Ellio yang menatap Riehla.Ellio menoleh ke arah batu nisan. "Ayah gak perlu khawatir. Saya akan menjaga Riehla dengan baik. Sebaik Ayah menjaganya selama ini."Perkataan calon suami-nya itu mampu menyentuh hati yang paling dalam. Mata Riehla berkaca-kaca. Saking bahagianya rasanya ingin menangis. Betapa semakin lengkapnya kebahagiaan itu jika sang Ayah masih ada. Riehla yang tadinya tidak ingin meneteskan air mata, air mata lolos begitu saja. Jatuh membasahi pipi. "Ellio adalah lelaki yang baik, yah. Dia selalu berusah
Meninggalkan pecahan gelas, segera ke Kamar untuk mengangkat telepon yang terus berdering. Riehla tatap layar handphone yang menampilkan panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. "Hallo," ucap Riehla saat panggilan sudah terhubung."Benar ini dengan istrinya saudara Ellio?" tanya seorang perempuan di seberang sana."Iya.""Saya ingin mengabarkan kalau saudara Ellio mengalami kecelakaan dan sekarang sedang berada di IGD, Rumah Sakit Kita Bisa."Seketika Riehla tertegun. Belum lama Ellio berpamitan pergi ke Kantor, dan sekarang keadaan seperti ini. "Gimana keadaannya?" Dengan wajah cemas."Masih dalam pemeriksaan.""Saya akan ke sana. Terima kasih sudah mengabari.""Iya, Bu."Setelah panggilan berakhir dengan handphone yang masih berada di salah satu tangan, Riehla mendudukkan diri di tepi ranjang dengan tatapan mata kosong. Riehla sangat mengkhawatirkan Ellio. Pernah merasa terpaksa melepas seseorang, Riehla tidak ingin harus merelakan Ellio. Sudah cukup membiarkan salah satu seseorang
Yura melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Ellio berada, dan tidak ada sesosok Riehla yang selama beberapa hari ini selalu terlihat. "Apa mungkin lagi beli sesuatu di luar?" tanya Yura pada dirinya sendiri sembari berjalan.Dilihatnya sebuah buket bunga yang berada di atas nakas, menghentikan langkah kaki di depan nakas. Yura tahu bunga apa itu dan memikirkan siapa yang memberikannya untuk Ellio. Mungkinkah Riehla?"Yura," panggil seseorang dengan nada suara lemah.Sontak Yura menoleh ke arah samping di mana Ellio tengah menatapnya. Yura langsung membalikan tubuh menghadap Ellio dengan lengkungan manis yang menghiasi bibirnya. Yura bahagia melihat Ellio sudah sadarkan diri."Biar aku panggil Dokter," ujar Yura. Ditekannya sebuah tombol."Wajah kamu sekarang sangat terlihat senang. Kamu itu tahu?" ujar Ellio."Aku benar-benar takut kalau Kak Ellio gak pernah membuka mata Kakak.""Kak Ellio gak akan melakukan itu. Oh ya, Riehla mana?"Sebelum Yura membuka mulutnya, datang seorang pera
Sudah 1 bulan lebih sejak menghilangnya Riehla yang membuat beberapa orang sampai hari ini tidak mengerti dengan hal tiba-tiba seperti itu. Karena Ibu-nya Riehla tidak tahu tepatnya di mana anak-nya berada, bukan Ellio namanya jika hanya diam. Ellio bahkan menyewa beberapa orang untuk menemukan Riehla. Hanya sekedar memantau perempuannya tanpa berniat menghampiri.Hari-hari Ellio berbeda. Kehilangan Riehla yang ia tahu keadaannya baik-baik saja, tetap saja membuat Ellio bersikap seperti dahulu kala. Ellio yang nampak sangat dingin dan sulit didekati. Wajahnya terlihat tidak berseri-seri lagi.Terduduk di kursi kerja dengan tablet yang ia pegang. Menatap serius layar tablet yang menampakkan foto-foto Riehla yang diambil seseorang yang ia suruh untuk mengikuti Riehla. Rasanya ingin berlari, membawa Riehla ke dalam pelukannya. Namun, Ellio merasa bahwa ia perlu memberi waktu pada Riehla. Sampai kapan? Mungkin sampai Riehla mau menjelaskan sendiri tentang kenapa tiba-tiba pergi.Tok tok t
Ellio yang tengah menikmati makanannya mendadak terdiam dengan sendok dan garpu yang masih berada di masing-masing tangan. Mengangkat kepala, menatap Lily yang berada di hadapannya sebentar, lalu menoleh ke arah lelaki paruh baya yang berada di samping Lily yang tidak lain adalah Papa dari Lily."Maaf, Om. Biar saya pertegas kalau saya sudah menikah!" Dengan nada suara dan tatapan sedingin es di Kutub Utara."Kakek kamu bilang kalau kalian akan segera bercerai."Sontak Ellio menoleh ke arah sang Kakek yang menatap ke arah lain. Ellio sungguh tidak terima dengan apa yang sedang terjadi detik ini! Tidak tahukah mereka jika Ellio sedang berusaha mengembalikan Riehla ke dalam hidupnya. Ellio melangkah pergi dari sana.Lily dan Yura menoleh ke arah Ellio yang perlahan menghilang dari pandangan. Yura nampak sangat mengkhawatirkan Sepupu-nya itu. "Sehabis makan sebaiknya kita pulang, Pa." Sembari menyendok makanan yang ada di piringnya, memasukkan ke dalam mulut."Pembicaraan ini belum seles
Bukannya sudah menikah, tetapi mereka sudah bertunangan. Sudah sejauh itu, lantas Ellio harus menyerah? Tidak. Ia tidak akan meninggalkan Riehla yang sudah sangat ia cinta. Sudah pernah kehilangan seseorang tercinta di mana tiba-tiba harus merelakan, saat ini Ellio juga harus merasakannya kembali?Hari ini Ellio tidak sedikit pun mengalihkan pandangan dari Riehla. Dari berpura-pura menjadi orang lain saat mengunjungi Cafe, sampai berjam-jam di dalam mobil hingga langit menggelap. Ya. Telah memasuki malam.Menjalankan pelan mobil, mengikuti Riehla yang berjalan jauh di depan sana. Sampai terlihat langkah kaki Riehla yang berjalan di trotoar, terhenti. Ellio pun mau tidak mau menghentikan laju mobil. Memperhatikan Riehla yang membalikan tubuh, berjalan ke arah belakang dengan tatapan mata jelas ke arah Ellio."Apa aku ketahuan?" tanya Ellio pada dirinya sendiri dengan nada suara pelan.Ellio perhatikan Riehla sampai perempuan itu berhenti di depan pintu kaca mobil. Mengetuknya dengan wa
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa