“Ardan!”
Saat pria itu membalikan badannya, Lita bisa melihat seorang wanita tua sedang menuju ke arah mereka.
Wanita tua yang masih terlihat cantik itu mengenakan kebaya berwarna putih, rambutnya disanggul rapi, tangan kanannya memegang kipas sedangkan tangan kirinya menenteng tas tangan berukuran kecil.
“Kamu mau menyembunyikan anak mu dimana lagi sekarang?!”
Seorang pria paruh baya menyusul di belakang wanita tua tersebut dengan ekspresi tidak nyaman lalu berucap lirih sambil menatap Ardan, “maafkan saya, tuan.”
“Saya tidak menyembunyikannya, saya hanya menemani Alen jalan-jalan karena dia bosan,” jawab Ardan dengan ekspresi yang kembali menjadi datar.
“Jalan-jalan hingga sejauh ini? Kamu ini tidak becus mendidik anak, mama kan sudah bilang biar mama yang mengurus Arlen.”
“Tidak perlu ma… .”
Lita mematung di tempatnya sambil menatap ke arah Alen. Ia khawatir bocah kecil itu tiba-tiba terbangun.
Menyadari ada sosok lain di belakang Ardan, wanita tua yang dipanggil mama oleh pria itu menoleh ke arah Lita dengan ekspresi menyelidik.
“Jadi benar rumor yang beredar itu? Kamu menikah diam-diam?”
“Hngg… .” bocah kecil yang tertidur pulas itu tampak terganggu dengan suara-suara yang didengarnya.
Perempuan berambut panjang tersebut ingin segera meluruskan kesalahpahaman itu. Namun melihat Alen yang hampir terbangun, Lita justru menegur wanita tua itu.
“Maafkan saya menyela, jika pembicaraan kalian masih panjang tolong selesaikan di tempat lain, Alen saat ini sedang tidur karena kelelahan, tolong jangan membuatnya bangun,” ucap Lita dengan ekspresi dingin.
“Kamu berani menyela saya?”
Lita menatap wanita tua itu dengan ekspresi kesal kemudian langsung berjalan pergi meninggalkan dua orang yang tampak kaget itu. Ia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran keluarga yang tidak dikenalnya.
‘Ardan pasti akan meluruskan kesalahpahaman itu dan akan menjelaskannya kepada ibunya kan?’ gumam Lita dalam hati.
Lita masuk ke mobil mewah berwarna hitam itu dengan perasaan campur aduk setelah diarahkan oleh pria tua yang merupakan supir pribadi Ardan. Ia sebenarnya merasa tidak tenang setelah berhadapan dengan wanita tua yang dipanggil mama oleh Ardan
‘Kamu benar-benar bodoh Lita, padahal nenek sudah mengingatkan ku untuk tidak ikut campur urusan orang lain’ keluhnya dalam hati.
Perempuan bermata coklat itu berharap tindakan impulsifnya tidak berakibat buruk. Ia yakin bahwa Ardan akan meluruskan kesalahpahaman yang ada karena ia sudah menolong putranya.
Lita tidak tahu keputusannya yang mau mengantar bocah itu lebih dulu akan membuat kehidupannya berantakan di masa yang akan datang.
Setelah berada di dalam mobil hitam itu, Lita mulai merasa tidak tenang dan ingin segera pergi saja. Namun saat melihat ke arah bocah kecil yang masih digendongnya, ada perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak bisa mengabaikan anak kecil itu.
Lita menghela nafas panjang. Ia tidak menyangka bisa terlibat masalah ketika ia sedang berlibur di kota kelahirannya tersebut. Pandangan matanya beralih ke jam tangan miliknya. Ia menghela nafas panjang lagi karena seharusnya ia masih bersama teman-temannya.
‘Padahal besok aku harus kembali ke Jakarta… ,’ keluhnya dalam hati.
Ia kembali menatap Alen yang tertidur lelap sambil memegang erat bajunya. ‘Yah nggak apa-apa kan? Lagi pula aku masih bisa bertemu dengan teman-teman ku di lain waktu, sedangkan aku nggak bisa bertemu bocah ini lagi lagi.’
Perempuan bermata coklat itu menghela nafas lagi karena merasa aneh dengan dirinya yang senang memandangi bocah kecil yang baru dikenalnya.
/Klek…/
Ardan duduk di samping Lita yang masih menggendong putranya. Ekspresi pria itu tampak kembali seperti semula, tanpa senyum dengan tatapan matanya yang dingin.
“Pembicaraan anda sudah selesai? Anda sudah menjelaskan tentang saya juga kan?”
“Ya,” jawab Ardan singkat. Ia tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada Lita.
“Terimakasih, berkat kamu Alen akan tetap bersama saya,” ucap Ardan lagi, kali ini ia tampak senang meski tidak tersenyum.
“Saya kan tidak bilang kalau saya setuju membantu anda.”
“Kita antar Alen dulu,” ucap Ardan mengabaikan perkataan lawan bicaranya.
“Tadi itu ibu anda?”
“Ya.”
“Kenapa anda dan ibu anda memanggil bocah ini dengan nama berbeda?”
“Namanya Arlen tapi karena ia belum bisa menyebut namanya sendiri dengan benar, saya mengikutinya memanggil Alen.”
Lita mengernyitkan keningnya. “Lalu perempuan yang tadi di mall itu siapa?”
“Saya akan menjelaskannya kalau kamu menerima kerjasama dengan saya.”
“Kerjasama?”
“Jadilah ibu untuk Alen.”
Suasana dalam kendaraan itu menjadi hening. Lita menatap Ardan dengan ekspresi terkejut. ‘Dia gila ya?’
Ardan bisa membaca jelas ekspresi bingung Lita yang menurutnya justru tampak menggemaskan.
“Saya akan turun disini,” ucap Lita tiba-tiba setelah terdiam selama beberapa waktu.
“Tidak bisa, kita harus mengantar Alen dulu, atau kamu mau membangunkannya sekarang?”
Lita diam, sekarang ia semakin merasa tidak nyaman dengan pria yang baru dikenalnya itu. Ia merasakan firasat buruk namun saat melihat wajah bocah kecil yang tertidur itu, ia merasa tidak bisa meninggalkan bocah tersebut tiba-tiba.
Setelah saling diam selama beberapa waktu, mobil hitam mewah itu memasuki komplek perumahan yang asri kemudian berhenti di sebuah rumah minimalis benuansa coklat.
Halaman rumah tersebut cukup luas dengan taman kecil di depannya. Ada berbagai macam tanaman hias dan pohon yang rindang di sisi sebelah kiri.
Ardan turun lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Lita. Perempuan itu tidak tersenyum atau mengucapkan satu kata pun. Ia hanya mengikuti langkah kaki pria itu.
“Mama…,” gumam Alen yang masih terlelap dalam tidurnya.
Lita tersenyum sambil mengelus lembut kepala bocah kecil itu. Ia merasa gemas dengan tingkah bocah yang menurutnya lucu itu.
Tatapan mata Lita beralih ke arah lain saat ia merasa mendengar suara kamera. Namun ia tidak menemukan apa pun.
“Ada apa?” tanya Ardan yang melihat Lita berhenti tiba-tiba.
“Tidak ada apa-apa… .”
‘Apa itu perasaan ku saja?’ gumam Lita dalam hati.
Dua asisten rumah tangga menyambut kepulangan pemilik rumah tersebut. Namun Ardan segera menyuruh mereka pergi lalu mengarahkan Lita menuju kamar tidur yang cukup luas.
“Tidurkan Alen perlahan, jangan sampai dia terbangun,” ucap Ardan pelan.
Lita menurut meski merasa kesal, ia meletakkan Alen dengan hati-hati di ranjang yang luas itu.
“Mama… ,” ucap Alen lirih dengan mata yang masih terpejam. Tangan bocah itu masih menggenggam erat baju Lita.
Dengan berbagai usaha akhirnya Lita bisa melepaskan pakaiannya dari genggaman bocah kecil itu. Ardan yang melihat itu hanya tersenyum di balik tangan yang sejak tadi diletakkan di depan bibirnya.
Lita menggerakan tangannya pelan, rasa pegal baru terasa setelah Alen tidak lagi digendongnya.
“Kamu mau pulang sekarang atau istirahat dulu?” tanya Ardan mencoba bersikap ramah.
“Saya akan pulang sekarang,” jawab Lita singkat.
Ardan mengangguk lalu melangkah keluar ruangan tersebut diikuti oleh Lita yang masih kesal dengan hal yang dialaminya hari ini.
“Kamu tidak mau mempertimbangkan penawaran saya? Jadilah istri saya selama beberapa tahun untuk merawat Alen.”
Ekspresi Lita langsung berubah seketika saat mendengar apa yang diucapkan pria yang baru dikenalnya itu.
*****
Ekspresi Lita langsung berubah seketika saat mendengar penawaran untuk menjadi istri pria yang baru dikenalnya itu.“Saya tidak mau,” jawab Lita tegas.“Kenapa? Saya bisa menjamin kehidupan mu dan kamu tidak perlu bekerja keras.”“Saya tidak mau terlibat masalah dengan orang yang baru saya kenal. Sebaiknya anda tawarkan kerjasama itu ke perempuan lain, pasti banyak yang mau dijamin kehidupannya,” ucap Lita menekankan akhir kalimatnya.Ardan tersenyum mendengar ucapan perempuan itu, tapi tatapan matanya tetap terlihat dingin. “Apa kamu tidak mau hidup terjamin tanpa perlu bekerja keras?”Lita menatap tajam ke arah Ardan. “Tuan yang kaya dan terhormat, bekerja keras adalah pilihan hidup saya, jadi berhentilah menawarkan sesuatu yang seperti itu, bukannya anda mampu menyewa siapa pun yang berkenan menjadi istri anda?” jawab Lita kesal.‘Menawarkan?’Mendengar ucapan tersebut membuat Ardan tersenyum lagi dengan tatapan dingin. Ia mendekatkan tubuhnya ke Lita lalu berbisik di telinga perem
Lita sampai di rumahnya menjelang sore hari. Ia merasa lelah karena tiba-tiba terlibat masalah dengan orang yang baru dikenalnya.Perempuan itu meraih ponsel miliknya lalu memeriksa semua pesan masuk. Beberapa temannya menanyakan tentang kejadian siang tadi.“Sebaiknya aku tidak cerita tentang penawaran itu ke mereka,” gumam Lita pelan.Tatapan matanya tampak sayu karena ia merasa lelah. ‘Apa bocah itu akan mencari ku begitu dia bangun?’ Dahi Lita mengernyit, ia tidak tahu kenapa masih saja memikirkan bocah yang baru dikenalnya.Lamunannya buyar begitu ia mendengar ponselnya bergetar. Ada ajakan untuk berkumpul dari teman-teman terdekatnya.Setelah membalas pesan, Lita segera mandi lalu bersiap. Ia tiba-tiba lupa dengan rasa lelahnya karena merasa bersemangat untuk bertemu teman-temannya. Ia ingin memaksimalkan waktu liburannya untuk bersenang-senang sebelum kembali ke kota tempat ia bekerja besok.“Kamu baru aja pulang, mau kemana lagi sekarang?” tanya nenek Kinanti heran saat meliha
“Perkenalkan, saya Gio, mohon bantuannya dan semoga saya bisa berteman baik dengan kalian semua.” Perkenalan tersebut berlangsung cepat karena Angga tiba-tiba mendapat telepon. Semua menyambut ramah Gio, tapi Lita merasa sedikit terganggu ketika mendengar tempat asal Gio yang disebut dari Semarang. ‘Apa aku jadi mudah mencurigai orang karena lagi-lagi aku teringat kejadian itu?’ gumam Lita dalam hati. “Tara, kamu jelaskan ke Gio ya tugasnya apa aja, sekalian bawa dia keliling kantor supaya tahu semua lokasi kantin dan lainnya,” ucap Angga terburu-buru. “Memangnya bos mau kemana?” tanya Lita yang penasaran dengan sikap Angga yang tampak panik. “Ada rapat mendadak, udah ya semuanya aku nitip kantor.” Setelah mengucapkan itu, Angga langsung pergi begitu saja. “Ehmm, jadi darimana saya harus memulai, Lita?” tanya Gio dengan senyum ramah. Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Sejauh yang ia ingat, teman-temannya memanggilnya Tar
“Siapa?”Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.“Aku pulang duluan ya.”Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.“Rey!”Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.“Lita,” panggil Rey sambi
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar