Lita sampai di rumahnya menjelang sore hari. Ia merasa lelah karena tiba-tiba terlibat masalah dengan orang yang baru dikenalnya.
Perempuan itu meraih ponsel miliknya lalu memeriksa semua pesan masuk. Beberapa temannya menanyakan tentang kejadian siang tadi.
“Sebaiknya aku tidak cerita tentang penawaran itu ke mereka,” gumam Lita pelan.
Tatapan matanya tampak sayu karena ia merasa lelah. ‘Apa bocah itu akan mencari ku begitu dia bangun?’ Dahi Lita mengernyit, ia tidak tahu kenapa masih saja memikirkan bocah yang baru dikenalnya.
Lamunannya buyar begitu ia mendengar ponselnya bergetar. Ada ajakan untuk berkumpul dari teman-teman terdekatnya.
Setelah membalas pesan, Lita segera mandi lalu bersiap. Ia tiba-tiba lupa dengan rasa lelahnya karena merasa bersemangat untuk bertemu teman-temannya. Ia ingin memaksimalkan waktu liburannya untuk bersenang-senang sebelum kembali ke kota tempat ia bekerja besok.
“Kamu baru aja pulang, mau kemana lagi sekarang?” tanya nenek Kinanti heran saat melihat cucunya sudah rapi dan wangi.
“Mau ketemu temen lagi, nek. Besok kan Lita sudah harus kembali ke Jakarta.”
“Memangnya kamu tidak capek bepergian terus?”
“Biarkan dia, bu. Lita kan jarang bertemu teman-temannya,” sahut kakek Karsam yang kemudian menyeruput kopinya.
Nenek Kinanti hanya menghela nafas panjang karena suaminya selalu membela sang cucu.
“Lita pamit dulu ya.”
Lita melangkah meninggalkan rumah tua itu dengan senyum merekah. Ia memesan ojek online menuju tempat teman-temannya yang sudah berkumpul.
Suasana kafe yang sering ia kunjungi dulu membuatnya merasa nostalgia dengan masa perkuliahan yang dipenuhi cerita dan kenangan.
“Lita!”
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum begitu melihat teman-temannya sudah berkumpul.
“Hai Lita,” sapa pria berambut coklat sambil tersenyum.
“Hai juga, eh emang kamu boleh disini? Nanti pacar mu ngamuk lagi,” balas Lita sambil tersenyum. Ia duduk di salah satu kursi kosong di samping Mira.
“Lagi marahan mereka,” sahut Rini sambil tertawa.
“Eh Lita, kamu tahu tidak mantan mu yang dulu, akan menikah tahun depan?” tanya Saras membuka suara.
Semua teman dekat Lita yang ada di sekeliling meja itu menatap ke arahnya. Mereka mencoba melihat reaksinya. “Benarkah? Kalau begitu bagus. Mira juga bukannya akan menikah tahun depan?”
Perempuan bernama Mira itu tersenyum. “Ya, tapi itu masih terhitung lama karena aku akan menikah di penghujung tahun.”
Obrolan itu berlanjut, semuanya berbicara tentang topik pernikahan yang biasa dibahas oleh laki-laki dan perempuan seusia mereka.
“Kamu kapan nyusul sama Rey?” tanya Iren penasaran.
“Rencananya tahun depan kami akan bertunangan,” jawab Lita sambil tersenyum. Ada semu merah di pipinya saat ia mengingat kekasihnya.
“Oh iya, ta. Tadi siang bocah yang manggil kamu mama itu siapa?” tanya Iren mengalihkan pembicaraan.
Pandangan Lita beralih ke Iren. Ia tidak mengerti kenapa temannya itu bertanya lagi padahal ia sudah menjelaskannya melalui pesan singkat.
“Aku juga tidak kenal… ,” jawab Lita sambil menghela nafas. Ia teringat lagi tatapan pria yang seolah mampu membuatnya membeku itu.
Teman-teman yang tidak melihat kejadian itu mengernyitkan keningnya. “Bocah?”
Lita mulai menceritakan kejadian tersebut. Ia hanya mengatakan sebagian dari apa yang dialaminya dan sama sekali tidak mengatakan tentang penawaran dari ayah bocah itu.
“Eh tapi kenapa dia manggil kamu mama, ta?” tanya Iren sambil mengernyitkan keningnya.
“Aku juga tidak tahu, sebenarnya aku ingin bertanya, tapi takut menyinggung… ,”
Semua teman Lita mengangguk mengerti meski sebagian di antara mereka merasa ada keanehan pada penjelasan perempuan itu.
Iren bahkan mulai menaruh rasa curiga karena ia mengetahui bahwa dulu Lita sempat menghilang selama satu tahun.
Perempuan berkacamata itu bergumam dalam hati, ‘tidak mungkin kan ada bocah yang tiba-tiba memanggil orang lain dengan sebutan mama? Apa jangan-jangan penyebab Lita yang dulu tidak ada kabarnya selama satu tahun itu karena–‘
“Oh iya, tadi di dekat tempat reuni ada aktris yang sekarang naik daun loh, aku sempat minta foto,” ucap Rini sambil memamerkan potret dirinya bersama seorang aktris cantik.
Melihat Rini menunjukkan potret bersama seorang aktris membuat Iren langsung mengeluarkan ponselnya dan memamerkan hal yang sama.
Lita tampak kaget saat melihat layar ponsel Rini. Ia yakin betul bahwa wanita yang menemui Ardan adalah aktris cantik itu.
Saat teman-temannya sedang membicarakan aktris tersebut, Lita hanya terdiam di tempatnya. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak nyaman di hatinya.
***
Waktu berlalu cepat, Lita telah kembali ke Jakarta setelah menghabiskan waktu cuti di kota kelahirannya. Ia sudah kembali ke rutinitas awal yang membosankan sejak beberapa hari lalu. Pergi pagi, pulang sore lalu mengulangi hal tersebut setiap hari.
“Bagaimana Tara liburannya?” tanya seorang laki-laki berkacamata yang disebut paling tampan di ruangan itu.
Perempuan itu memiliki nama lengkap Litara Diany. Teman kerja di lingkungan Jakarta memang terbiasa memanggil ia dengan nama Tara, karena itu adalah nama yang ia sebutkan mulai awal masuk perusahaan tersebut.
Sejak mengalami hal buruk beberapa tahun lalu, Lita menjadi lebih waspada terhadap banyak hal. Ia bahkan memperkenalkan diri dengan nama panggilan berbeda dari tempat asalnya agar merasa lebih aman.
“Tentu saja senang karena bisa bertemu teman-teman lama,” jawab Lita sambil memeriksa pekerjaan yang harus ia lakukan hari itu. Ia enggan membahas kejadian menyebalkan yang sempat menimpanya.
“Pengen liburan juga,” sahut Lina sambil memainkan bolpoin di tangannya.
“Jatah cuti mu tahun ini habis kan?”
“Ya mau bagimana lagi? kakak ku saat itu menikah dan aku diminta pulang kampung cepat.”
“Tenang, beberapa bulan lagi sudah ganti tahun, kita bisa libur semua.” Kali ini pria berkacamata kotak itu mencoba menghibur.
Lita hanya geleng-geleng kepala karena pergantian tahun yang dimaksud editor pelaksana itu masih sekitar empat bulan lagi.
“Oh iya, kita hari ini bakal kedatangan anggota tim baru.”
“Ada anggota baru? Pantas saja ada meja baru di seberang Lita,” sahut Nia yang langsung bersemangat.
“Dia pindahan dari H Media yang ada di Semarang, karena kinerjanya bagus jadi sekarang dia ditempatkan di pusat,” ucap Angga menjelaskan.
Belum sempat berbicara lagi, seorang perempuan datang bersama dengan laki-laki tampan dengan kacamata bundar.
“Pak Angga, pak Gio sudah sampai.”
“Nah, udah datang. Thanks ya.”
Perempuan itu mengangguk lalu berlalu pergi. Angga langsung memperkenalkan Gio ke semua tim editor yang beranggotakan empat orang itu.
Pria itu memakai kemeja navy lengan panjang. Rambutnya bergelombang dengan model fluffy yang tampak serasi dengan kacamata bulatnya.
Wajahnya bersih tapi kumis tipis yang dibiarkan begitu saja membuat ia terlihat seperti pria yang sudah berumur. Badannya tegap, hal itu menunjukkan jelas bahwa pria tersebut berolahraga secara teratur.
“Ini anggota baru kita, Gio, silakan berkenalan.”
Pria bernama Gio itu memandang ke arah Lita, dia tersenyum lalu kemudian baru melihat ke seluruh anggota lainnya.
*****
“Perkenalkan, saya Gio, mohon bantuannya dan semoga saya bisa berteman baik dengan kalian semua.” Perkenalan tersebut berlangsung cepat karena Angga tiba-tiba mendapat telepon. Semua menyambut ramah Gio, tapi Lita merasa sedikit terganggu ketika mendengar tempat asal Gio yang disebut dari Semarang. ‘Apa aku jadi mudah mencurigai orang karena lagi-lagi aku teringat kejadian itu?’ gumam Lita dalam hati. “Tara, kamu jelaskan ke Gio ya tugasnya apa aja, sekalian bawa dia keliling kantor supaya tahu semua lokasi kantin dan lainnya,” ucap Angga terburu-buru. “Memangnya bos mau kemana?” tanya Lita yang penasaran dengan sikap Angga yang tampak panik. “Ada rapat mendadak, udah ya semuanya aku nitip kantor.” Setelah mengucapkan itu, Angga langsung pergi begitu saja. “Ehmm, jadi darimana saya harus memulai, Lita?” tanya Gio dengan senyum ramah. Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Sejauh yang ia ingat, teman-temannya memanggilnya Tar
“Siapa?”Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.“Aku pulang duluan ya.”Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.“Rey!”Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.“Lita,” panggil Rey sambi
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Lita tetap bekerja seperti biasa meski suasana hatinya tidak seceria sebelumnya. Ia tetap bisa bersikap profesional dan tersenyum ramah kepada orang lain. Kedatangannya ke tempat kerja Rey pada hari itu tidak dikatakan kepada kekasihnya karena Lita tahu, hal itu tidak akan memperbaiki keadaan dan justru bisa memperburuk. Ia tetap bersikap biasa dan berusaha menanyakan kabar Rey lebih dulu. Walaupun terkadang pikiran buruknya muncul, Lita tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah kembalinya Rey dari luar kota, pria itu menemui Lita sekali dan mengatakan hal yang sama. Ia masih belum bisa sering menemui Lita dengan alasan pekerjaan yang masih menumpuk. Hari berlalu tapi hubungan yang sudah terlanjur renggang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Janji yang diucapkan Rey hampir semuanya dibatalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Namun Lita tetap menunggu dan mencoba mengerti kesibukan kekasihnya yang
“Kamu bercanda?” Rey menatap ke arah lain, tapi tatapan matanya tampak sayu. “Tidak… .” “Sebenarnya ada apa Rey? Bukannya kamu janji mau membicarakan semua dengan ku? Apa yang salah? Beritahu aku supaya bisa ku perbaiki…,” ucap Lita memohon. Impian tentang pertunangannya yang akan dilakukan pada tahun berikutnya padam begitu saja. “Aku tidak bisa lagi… .” “Tapi kenapa Rey? Aku nggak bisa menerima ini.” Pria di hadapan Lita terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia menatap Lita selama beberapa waktu. “Kita sudah tidak sejalan… .” Ingatan Lita kembali membawanya pada saat pertama kali ia melihat ekspresi Rey yang seperti itu. Ia ingat saat pria itu menanyakan tentang sesuatu yang tidak dipahami olehnya. “Beritahu aku bagian mana dariku yang tidak sejalan lagi dengan mu? Kita kan sudah berjanji untuk terbuka dalam komunikasi.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku tidak bisa lagi bersama
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar