“Siapa?”
Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.
“Aku pulang duluan ya.”
Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.
“Rey!”
Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.
Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.
Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.
“Lita,” panggil Rey sambil tersenyum lembut.
“Kamu udah menunggu sejak tadi?”
“Baru aja kok, ayo.”
Pasangan dengan baju berwarna senada itu berjalan bersama menuju kendaraan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Kamu mau mampir kemana dulu?”
“Hmm, ke G*lico yuk beli es krim.”
“Okay, ayo kesana."
/drrttt…/
Percakapan keduanya berhenti karena suara getar ponsel milik Rey. Pria bermata coklat gelap itu mencoba tetap fokus menyertir, tapi ponselnya terus berbunyi.
“Sayang, itu chat atau telepon coba cek, mungkin ada yang penting.”
Lita mengambil ponsel milik Rey di saku jas pria itu lalu membuka pesan yang masuk. “Ada pesan dari pak Danang, kamu katanya diminta kembali ke kantor sekarang, lalu pesan lainnya dari grup.”
“Kembali ke kantor? Ini kan udah waktunya pulang. Pak Danang tidak bilang alasannya?” tanya Rey bingung.
“Tidak sih, tapi katanya penting… Ehmm kalau begitu antar aku pulang aja, kita ke G*lico nya lain kali.”
Meski Lita tidak keberatan dan memahami situasi kekasihnya, Rey merasa kesal karena harusnya ia bisa menghabiskan waktu bersama perempuan yang dicintainya.
“Jangan cemberut begitu dong,” ucap Lita yang tersenyum hangat.
Pria yang sedang fokus menyetir itu menghela nafas panjang. “Okay, kamu jawab aja aku masih di perjalanan dan akan segera kembali.”
Lita mengetikkan kalimat seperti yang diminta Rey. Setelah berhasil mengirimkan pesan tersebut, ia meletakkan ponsel itu di dashboard mobil.
“Akhir pekan nanti mau jalan-jalan?” tanya Lita setelah terdiam selama beberapa waktu.
Rey mengernyitkan dahinya. “Boleh, mau kemana?”
“Ke Bandung atau Bogor mungkin?”
Suasana hati pria yang sedang fokus menyetir itu tampak membaik begitu mendengar saran dari Lita. “Hmm sepertinya lebih bagus ke Bandung kalau mau wisata alam.”
“Okay kita kesana nanti,”
Pasangan tersebut tidak tahu bahwa apa pun yang mereka rencanakan nantinya tidak akan pernah bisa dilakukan bersama. Semua hal yang berkaitan dengan Lita akan berubah dan berbalik arah dari yang seharusnya.
***
Beberapa hari kemudian…
.
.
Akhir pekan yang dinantikan sepasang kekasih itu akhirnya tiba. Lita telah bangun sejak pagi untuk menyiapkan bekal berupa makanan ringan yang bisa dimakan bersama dengan Rey saat jalan-jalan nanti.
Lita dan Rey berencana berwisata ke kebun teh. Berlibur dengan suasana alam memang menjadi pilihan banyak orang setelah lelah dengan semua urusan kantor.
Perempuan berambut panjang itu menatap puas ke arah dua kotak bekal yang sudah rapi. Tatapannya beralih ke jam digital di atas meja dekat dengan ranjangnya.
“Tinggal mandi, siap-siap bentar, waktunya pas sebelum Rey datang,” ucap Lita dengan senyum senang.
/Drrttt…/
Sebuah panggilan masuk dari Rey muncul di layar ponsel milik Lita.
‘Hmm? bukannya janjinya jam 9? Ini masih jam 8,’
/Klik…/
“Hai Rey, kita janjinya jam 9 kan?” tanya Lita memastikan.
“Sayang, maaf… .” Suara pria iu terdengar ragu dan dipenuhi rasa kecewa yang bisa dirasakan oleh Lita.
Dahi perempuan itu mengernyit. “Ada apa?”
“Kita sepertinya tidak bisa pergi, aku tiba-tiba dihubungi pak Danang untuk menemani beliau ke luar kota untuk peresmian lokasi pembukaan cabang… .”
Lita memandang bekal makanan yang sudah dibuatnya dengan ekspresi kecewa. “Akhir pekan begini?”
“Iya… Justru memang sengaja dilakukan pada akhir pekan karena waktu yang tepat untuk sekalian promosi.”
“Oh begitu… Tidak apa-apa kok, kalau pak Danang ngajak kamu, berarti beliau naruh kepercayaan besar dong,” ucap Lita berpura-pura ceria.
“Aku minta maaf… .”
“Tidak apa-apa kok, kita bisa pergi lain kali.”
“Maaf aku tutup dulu.”
“Iya hati-hati di jalan Rey, semangat!”
/Klik…/
Perempuan berambut panjang itu duduk terdiam di tempatnya. Ia memejamkan matanya perlahan. Intuisinya merasakan sesuatu yang aneh tapi ia sendiri tidak tahu apa itu. Mata Lita terbuka lagi lalu pandangannya beralih ke kotak bekal di meja.
“Harus ku apakan makanan ini?” gumam Lita pelan.
Pandangan matanya beralih ke arah baju yang sudah ia siapkan. ‘Apa aku jalan-jalan sendiri aja?’
Lita akhirnya memutuskan untuk tetap mandi dan bersiap. Ia tidak ingin suasana hatinya memburuk hanya karena tidak jadi pergi berlibur bersama Rey.
Setelah mempertimbangkan pergi ke Bandung terlalu jauh, ia akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman kota yang tidak jauh dari kostnya.
Lita duduk sendiri di kursi taman yang kosong. Ia memandangi beberapa keluarga yang sedang bermain bersama di taman itu.
Saat melihat ke bocah kecil yang berlarian, Lita tiba-tiba teringat dengan anak kecil bernama Alen yang ditemuinya di Semarang.
‘Apa bocah itu mencari ku?’ tanya Lita dalam hati.
“Litara?”
*****
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Lita tetap bekerja seperti biasa meski suasana hatinya tidak seceria sebelumnya. Ia tetap bisa bersikap profesional dan tersenyum ramah kepada orang lain. Kedatangannya ke tempat kerja Rey pada hari itu tidak dikatakan kepada kekasihnya karena Lita tahu, hal itu tidak akan memperbaiki keadaan dan justru bisa memperburuk. Ia tetap bersikap biasa dan berusaha menanyakan kabar Rey lebih dulu. Walaupun terkadang pikiran buruknya muncul, Lita tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah kembalinya Rey dari luar kota, pria itu menemui Lita sekali dan mengatakan hal yang sama. Ia masih belum bisa sering menemui Lita dengan alasan pekerjaan yang masih menumpuk. Hari berlalu tapi hubungan yang sudah terlanjur renggang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Janji yang diucapkan Rey hampir semuanya dibatalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Namun Lita tetap menunggu dan mencoba mengerti kesibukan kekasihnya yang
“Kamu bercanda?” Rey menatap ke arah lain, tapi tatapan matanya tampak sayu. “Tidak… .” “Sebenarnya ada apa Rey? Bukannya kamu janji mau membicarakan semua dengan ku? Apa yang salah? Beritahu aku supaya bisa ku perbaiki…,” ucap Lita memohon. Impian tentang pertunangannya yang akan dilakukan pada tahun berikutnya padam begitu saja. “Aku tidak bisa lagi… .” “Tapi kenapa Rey? Aku nggak bisa menerima ini.” Pria di hadapan Lita terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia menatap Lita selama beberapa waktu. “Kita sudah tidak sejalan… .” Ingatan Lita kembali membawanya pada saat pertama kali ia melihat ekspresi Rey yang seperti itu. Ia ingat saat pria itu menanyakan tentang sesuatu yang tidak dipahami olehnya. “Beritahu aku bagian mana dariku yang tidak sejalan lagi dengan mu? Kita kan sudah berjanji untuk terbuka dalam komunikasi.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku tidak bisa lagi bersama
Waktu berlalu dengan cepat, hari libur telah selesai beberapa hari lalu. Semua kembali ke pekerjaannya masing-masing meski sebagian dari mereka masih enggan melakukan rutinitas yang membosankan. Selama liburan, Rini dan teman-temannya berusaha menghibur Lita. Mereka juga mencoba menanyakan kepada Rey tentang alasannya memutuskan Lita, tapi pria itu tidak pernah menjawab pesan yang dikirimkan Rini maupun yang lainnya. Lita juga pernah mencoba menghubungi Rey lagi dengan mengirim pesan menanyakan kabarnya, tapi pria itu juga tidak membalas pesannya. Lambat laut Lita berusaha merelakan hubungannya yang telah berakhir. Ia tidak ingin terjebak hal lalu dan tidak bisa melakukan apa pun. Perempuan itu berusaha untuk tetap terlihat tegar dan fokus dengan pekerjaannya. Sesekali Lita masih melihat fotonya dengan Rey di ponselnya dan membaca chat lama dengan mantan kekasihnya itu. Namun ia berusaha keras agar tidak membiarkan kesedihan menggerogoti pikirannya. I
Pandangan mata Lita beralih ke bocah yang digendong pria itu. Ia terdiam di tempatnya dan tidak bergerak sedikit pun. Udara di ruangan tersebut terasa lenyap begitu saja dan membuatnya merasakan tekanan yang menyesakkan. “Mama!” Suara riang bocah itu semakin membuat detak jantung Lita menjadi tidak teratur. Ia berusaha mengendalikan dirinya tapi ia tetap terdiam membeku dengan semua kejadian yang tiba-tiba muncul di pikirannya. “Mama?” Ekspresi bocah itu tampak bingung. Pria itu menurunkan putranya kemudian ia duduk di sofa pada tengah ruangan tersebut. “Pa, kok mama diam saja?” “Hmm mungkin mama sedang terkejut dan menganggap ini mimpi...” Alen menatap Lita dengan ekspresi bingung lalu mendekat. “Mama kenapa diam saja? Mama tidak merindukan ku ya?” Lita tergagap saat bocah itu menyentuh tangannya. Ia ingin menegur bocah itu agar tidak memanggilnya mama, tapi ia takut Alen akan bersedih. “Ah maaf… Aku– ya ku pik
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar