Litara Diany melihat sebuah lampu gantung besar hampir jatuh saat baru saja selesai menghadiri acara reuni di pusat perbelenjaan. Di bawah lampu gantung tersebut terdapat anak kecil yang sedang berdiri dengan wajah murung.
‘Eh?’
Wanita berbaju hitam itu berlari cepat tanpa memikirkan hal lain.
/Hupp…/
/Pranggg…/
Dengan sigap perempuan itu menyelamatkan seorang anak laki-laki dari peristiwa yang hampir membahayakan nyawa. Semua heboh karena kejadian beberapa detik tersebut. Bocah kecil yang terkejut itu pun menangis.
“Huwaa… .”
Ia mencoba menenangkan bocah yang tampak kaget itu dengan membelai kepalanya. “Sshh shhh, tidak apa-apa, semua baik-baik aja.”
Teman-teman perempuan itu bermaksud mendekat, tapi terhalang oleh beberapa pengunjung mall yang sedang berkerumun. Pada saat yang sama seorang pria mendekat. “Alen kamu tidak apa-apa?”
Perempuan itu menoleh ke arah pria dewasa berkemeja hitam yang baru saja berbicara dengan ekspresi khawatir. Raut wajahnya tampak pucat karena terkejut dengan kejadian yang hampir membahayakan bocah itu.
Pandangan keduanya bertemu. "Terimakasih sudah menolong anak saya."
Ucapan pria itu pelan sekali sampai Lita sendiri merasa hampir tidak mendengar kalimat yang diucapkan olehnya.
Orang-orang mulai semakin berkerumun begitu juga pegawai toko dan para petugas keamanan yang tampak ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi. Suasana menjadi sangat ramai dalam beberapa menit.
Seorang pria dengan jas abu-abu mendekat setelah memastikan cerita dari orang yang berkerumun. “Permisi, saya yang bertanggung jawab atas keamanan pusat perbelanjaan ini, saya ingin meminta keterangan terkait kejadian yang baru saja terjadi.”
“Baik.”
Saat akan bangkit, tangan bocah kecil itu memeluk Lita erat. “Mama, jangan pergi.”
Lita memandang bingung ke bocah yang sedang mengenggam erat bajunya. ‘Mama?’
“Putranya bisa dibawa, kami akan memeriksa apakah kalian perlu pengobatan atau tidak,” ucap pria yang mengaku sebagai penanggungjawab keamanan.
“Anu, saya– ”
“Mama… hikss,“ ucap bocah laki-laki itu dengan suara parau.
Perempuan berambut panjang itu mengalihkan pandangannya ke arah pria yang tadi mengaku sebagai ayahnya, tapi pria itu justru tampak sibuk membenarkan masker yang baru saja ia pakai.
“Sepertinya saya tidak bisa meninggalkan bocah ini disini,”
“Maafkan saya, terimakasih sudah membantu.”
Pria berjas abu yang menyebut dirinya sebagai penanggungjawab keamanan itu menatap Lita dan bocah tersebut dengan ekspresi bingung. “Ehmm, mari ikut saya… .”
Lita mengikuti pertugas itu dengan tenang, ia mengeluarkan ponselnya sebentar untuk memberitahu teman-temannya agar kembali lebih dulu.
“Kamu tidak apa-apa? Ada yang sakit?” tanya Lita kepada bocah yang masih menangis itu.
Bocah kecil itu menggeleng tapi matanya masih basah dengan air mata.
“Silakan duduk… ,” ucap pria berjas abu-abu.
Lita duduk dengan ekspresi tenang. Tanya jawab panjang lebar itu dilakukannya dengan lancar dalam waktu yang tidak begitu lama.
“Apa putra anda tidak apa-apa?”
“Saya bukan–“
“Ya, dia baik-baik saja, kalau begitu kami permisi dulu,” ucap pria yang belum diketahui namanya itu menyela ucapan Lita.
Perempuan bermata coklat itu terlihat kesal karena pembicaraannya dipotong, tapi ia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan protes.
Dua orang dan satu bocah itu keluar dari ruang management mall sambil menenteng bingkisan yang disebut sebagai kompensasi atas kecelakaan yang hampir terjadi.
Lita bermaksud menurunkan bocah kecil itu, tapi tangan bocah itu masih menggenggam erat bajunya.
“Hikss… .”
“Maaf, apa anda bisa menjaganya sebentar? Sepertinya dia terlalu kaget,” ucap pria dengan masker hitam itu.
“Kenapa bukan anda yang menjaga dan menenangkannya? Anda kan ayahnya?” ucap Lita dengan ekspresi kesal.
“Mama jangan marah… , “ ucap bocah itu lirih.
Lita dan pria itu berpandangan dengan ekspresi bingung. “Saya akan menjaganya sampai ia tenang.”
“Terimakasih sudah mau mengerti, saya Ardan, maaf baru memperkenalkan diri.”
Lita diam, ia merasa kesal dengan situasi tersebut tapi tidak tega dengan bocah yang masih ada dalam dekapannya itu.
“Nama mu?” tanya Ardan setelah lama tidak mendapat jawaban. Ia memandangi antara putranya dan Lita dalam waktu yang cukup lama.
“Saya Lita.”
“Saya akan membalas dengan layak untuk kebaikan mu, Lita” ucap pria itu pelan.
“Tidak perlu,” jawab Lita dengan eskpresi datar.
Lita duduk di salah satu kursi setelah memastikan sekelilingnya aman dari lampu gantung maupun benda lainnya yang mungkin berbahaya.
“Kita duduk dulu ya? kaki saya sakit…,” ucap Lita kepada bocah itu dengan lembut. Ia sendiri tidak tahu kenapa bisa selembut itu kepada bocah yang baru dikenalnya beberapa saat.
Tatapan mata Ardan melirik sekilas ke pergelangan kaki Lita. “Kamu tunggu disini sebentar.”
“Anda tidak beralasan lalu kabur meninggalkan bocah ini kan?”
“Tidak kok, saya hanya akan membeli pembersih luka dan akan segera kembali, kaki mu terluka.”
Pria itu langsung melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Lita melihat sekilas ke arah pergelangan kakinya. ‘Pantas aja rasanya sakit.’
Perempuan berambut panjang itu memejamkan matanya sebentar, ia merasa malu karena tiba-tiba mengatakan kalimat yang menurutnya konyol.
Beberapa saat kemudian ia membuka matanya lalu mendapati bocah itu sedang melihat ke arahnya dengan mata basah.
“Maafkan saya, mama,” ucap bocah itu lirih.
“Hmm? kenapa minta maaf?” ucap Lita sambil tersenyum dan mengelus lembut kepala bocah itu, meski ia merasa aneh dipanggil dengan sebutan mama.
“Saya merepotkan mama… .”
Lita mencubit gemas pipi bocah itu. “Nama mu Alen kan?”
Bocah itu mengangguk sambil mengusap air matanya. Lita juga membantu bocah itu mengusap air matanya.
Ia merasa penasaran, tapi lidahnya terasa kaku untuk menanyakan alasan bocah itu memanggilnya mama. Ia tidak ingin anak kecil itu teringat hal yang menyedihkan.
‘Apa bocah ini sangat rindu mamanya hingga memanggil perempuan yang tidak dikenal seperti ku sebagai mama?’
Tidak lama kemudian pria bernama Ardan itu kembali dengan kantong plastik hitam berisi kapas, cairan pembersih luka dan antiseptik. Saat itu ia sudah tidak memakai maskernya.
Orang yang melihat wajah pria itu pasti langsung jatuh hati kepadanya. Pria bergaya rambut comma hair itu memiliki tatapan mata tegas tapi terlihat dingin. Ada tahi lalat di atas mata sebelah kiri. Kumis tipis membuatnya terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya. Meski begitu, ia tetap terlihat mempesona.
“Saya akan mengobati pergelangan kaki mu,” ucap Ardan pelan dengan sorot matanya yang dingin.
Ardan melepas flatshoes yang dipakai Lita perlahan. Ia dengan hati-hati mulai membersihkan luka tersebut, lalu dengan cepat membalutnya dengan plester luka.
“Terimakasih,” ucap Lita pelan. Untuk sejenak ia merasa terkesima dengan tindakan pria itu tapi ia segera menyadarkan dirinya.
‘Aku tidak boleh terlibat masalah dengan orang yang tidak ku kenal,’ gumam Lita dalam hati.
“Mama sakit?” tanya bocah itu dengan eskpresi sedih.
“Tidak kok, hanya sedikit pegal... ,” ucap Lita sekenanya,
Bocah itu kembali memeluk Lita dengan erat seolah takut sang ayah memisahkannya dari perempuan yang menolongnya itu.
“Jadi ini istri baru mu?” ucap seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ardan.
*****
“Jadi ini istri baru mu?” ucap seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ardan. ‘Hah?’ Lita melihat ke arah perempuan tersebut dengan ekspresi bingung. Ia baru saja akan membuka suara tapi Ardan lebih dulu berbicara. “Ada urusan apa kamu kemari?” tanya Ardan dengan ekspresi dinginnya. “Aku sedang ada kegiatan di sekitar sini lalu kebetulan mendengar ada kejadian yang heboh.” Perempuan dengan pakaian serba branded itu melirik ke arah Lita dengan ekspresi merendahkan lalu pandangannya beralih ke bocah kecil yang memeluk Lita. “Kamu ternyata merawat bocah itu dengan baik,” ucap wanita itu masih dengan tatapan datarnya. Lita masih tidak mengerti dengan situasi apa yang sedang dihadapinya, tapi ia merasa tidak asing dengan wanita yang sekarang masih menatapnya dengan pandangan merendahkan. “Itu bukan urusan mu.” “Ya, aku datang hanya untuk memastikan kalau kamu memegang janji mu. Aku lega karena mengetahui kamu benar-benar sudah menikah.” 'Menikah? Ini situasi macam ap
“Ardan!”Saat pria itu membalikan badannya, Lita bisa melihat seorang wanita tua sedang menuju ke arah mereka.Wanita tua yang masih terlihat cantik itu mengenakan kebaya berwarna putih, rambutnya disanggul rapi, tangan kanannya memegang kipas sedangkan tangan kirinya menenteng tas tangan berukuran kecil.“Kamu mau menyembunyikan anak mu dimana lagi sekarang?!”Seorang pria paruh baya menyusul di belakang wanita tua tersebut dengan ekspresi tidak nyaman lalu berucap lirih sambil menatap Ardan, “maafkan saya, tuan.”“Saya tidak menyembunyikannya, saya hanya menemani Alen jalan-jalan karena dia bosan,” jawab Ardan dengan ekspresi yang kembali menjadi datar.“Jalan-jalan hingga sejauh ini? Kamu ini tidak becus mendidik anak, mama kan sudah bilang biar mama yang mengurus Arlen.”“Tidak perlu ma… .”Lita mematung di tempatnya sambil menatap ke arah Alen. Ia khawatir bocah kecil itu tiba-tiba terbangun.Menyadari ada sosok lain di belakang Ardan, wanita tua yang dipanggil mama oleh pria itu
Ekspresi Lita langsung berubah seketika saat mendengar penawaran untuk menjadi istri pria yang baru dikenalnya itu.“Saya tidak mau,” jawab Lita tegas.“Kenapa? Saya bisa menjamin kehidupan mu dan kamu tidak perlu bekerja keras.”“Saya tidak mau terlibat masalah dengan orang yang baru saya kenal. Sebaiknya anda tawarkan kerjasama itu ke perempuan lain, pasti banyak yang mau dijamin kehidupannya,” ucap Lita menekankan akhir kalimatnya.Ardan tersenyum mendengar ucapan perempuan itu, tapi tatapan matanya tetap terlihat dingin. “Apa kamu tidak mau hidup terjamin tanpa perlu bekerja keras?”Lita menatap tajam ke arah Ardan. “Tuan yang kaya dan terhormat, bekerja keras adalah pilihan hidup saya, jadi berhentilah menawarkan sesuatu yang seperti itu, bukannya anda mampu menyewa siapa pun yang berkenan menjadi istri anda?” jawab Lita kesal.‘Menawarkan?’Mendengar ucapan tersebut membuat Ardan tersenyum lagi dengan tatapan dingin. Ia mendekatkan tubuhnya ke Lita lalu berbisik di telinga perem
Lita sampai di rumahnya menjelang sore hari. Ia merasa lelah karena tiba-tiba terlibat masalah dengan orang yang baru dikenalnya.Perempuan itu meraih ponsel miliknya lalu memeriksa semua pesan masuk. Beberapa temannya menanyakan tentang kejadian siang tadi.“Sebaiknya aku tidak cerita tentang penawaran itu ke mereka,” gumam Lita pelan.Tatapan matanya tampak sayu karena ia merasa lelah. ‘Apa bocah itu akan mencari ku begitu dia bangun?’ Dahi Lita mengernyit, ia tidak tahu kenapa masih saja memikirkan bocah yang baru dikenalnya.Lamunannya buyar begitu ia mendengar ponselnya bergetar. Ada ajakan untuk berkumpul dari teman-teman terdekatnya.Setelah membalas pesan, Lita segera mandi lalu bersiap. Ia tiba-tiba lupa dengan rasa lelahnya karena merasa bersemangat untuk bertemu teman-temannya. Ia ingin memaksimalkan waktu liburannya untuk bersenang-senang sebelum kembali ke kota tempat ia bekerja besok.“Kamu baru aja pulang, mau kemana lagi sekarang?” tanya nenek Kinanti heran saat meliha
“Perkenalkan, saya Gio, mohon bantuannya dan semoga saya bisa berteman baik dengan kalian semua.” Perkenalan tersebut berlangsung cepat karena Angga tiba-tiba mendapat telepon. Semua menyambut ramah Gio, tapi Lita merasa sedikit terganggu ketika mendengar tempat asal Gio yang disebut dari Semarang. ‘Apa aku jadi mudah mencurigai orang karena lagi-lagi aku teringat kejadian itu?’ gumam Lita dalam hati. “Tara, kamu jelaskan ke Gio ya tugasnya apa aja, sekalian bawa dia keliling kantor supaya tahu semua lokasi kantin dan lainnya,” ucap Angga terburu-buru. “Memangnya bos mau kemana?” tanya Lita yang penasaran dengan sikap Angga yang tampak panik. “Ada rapat mendadak, udah ya semuanya aku nitip kantor.” Setelah mengucapkan itu, Angga langsung pergi begitu saja. “Ehmm, jadi darimana saya harus memulai, Lita?” tanya Gio dengan senyum ramah. Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Sejauh yang ia ingat, teman-temannya memanggilnya Tar
“Siapa?”Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.“Aku pulang duluan ya.”Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.“Rey!”Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.“Lita,” panggil Rey sambi
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar