Mereka berdua menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan berkeliling Paris, menikmati sebanyak mungkin hal yang hanya dapat di dapatkan hanya di Paris. Lizzie memotret semua hal yang dia rasa menarik, mulai dari arsitekturnya yang luar biasa, juga beberapa pemandangan alam dan manusia. Diselingi juga meminta orang lain untuk memotret dirinya dan Daxon bersama. Sejauh ini dia berhasil menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang membayanginya beberapa hari ke belakangan sepanjang hari. Tapi setiap malam tiba, Lizzie tidak tahu mengapa tapi kecemasan itu kembali datang tanpa bisa dicegah.Dia takut akan mengalami mimpi buruk lagi. Khawatir akan terbangun dengan keringat dingin di seluruh tubuh dan membuat Daxon harus bersusah payah menenangkannya hingga dia bisa tidur lelap lagi.Paranoia dari hubungan terakhirnya yang hancur total karena rasa ketidakamanannya sendiri adalah sesuatu yang barangkali telah mengakar dalam diri. Lizzie tahu bahwa gara-gara itu dia juga nyaris akan merebut ke
Lizzie menatap Daxon dengan kedua mata yang terbelalak lebar, jantungnya berdebar dengan begitu kencang. Bagaimana kau bisa begitu sangat pemaaf?”“Karena aku tahu kau tidak sempurna, dan aku juga sama saja. Levin tidak sempurna, dan meskipun kau mungkin tidak setuju dengan statement yang aku katakan tapi Marie juga tidaklah sesempurna itu. Kita ini manusia biasa dan terkadang membuat kesalahan serta pilihan yang buruk. Aku bisa saja membencimu tapi buatku itu tidak menghasilkan apa-apa. Kau bisa terus percaya bahwa kau adalah orang yang gagal, tapi seperti yang kau lihat itu tidak sepenuhnya benar. Kau bisa mencapai apa yang kau targetkan, jadi kuatlah, karena aku tahu kau bisa.”Lizzie mulai gemetar, dia ingin menangis, menjerit, dan memeluk Daxon sekaligus. Dia sungguh terharu dengan penerimaan yang pria itu berikan kepadanya dan cara dia memperlakukannya. Dan Daxon sendiri pasti melihat semua itu karena kini pria itu menangkup pipi Lizzie dan mencium keningnya, menahannya untuk te
Sedikit pulih dari kedatangannya sendiri, Lizzie setengah menerjang Daxon. Meski tubuhnya masih terasa lemas lantaran mencapai puncaknya dia fokus untuk membalas apa yang pria itu perbuat kepadanya. Melingkarkan lengannya yang gemetar pada bagian vital sang pria untuk memompa, menggunakan cairan cinta miliknya sebagai pelumas.Daxon meraih seprai tatkala Lizzie bekerja di bawah sana. Merasakan merinding yang luar biasa ketika ibu jari gadis itu menggosok bagian kepala, menyentuh tindikannya, urat nadinya yang mengesankan, dan kebagian yang lainnya. Gadis itu melakukannya secara terbalik ketika dia naik kembali.“Mmm … that’s fucking nice.” Daxon mengerang, alisnya berkerut dalam ketika dia merasakan detik mendekati orgasme.Lizzie menyeringai dan membungkuk sedikit. Menghabisi om-om senangnya dengan memberikan ciuman kecil secara perlahan ke sisi miliknya, dengan sangat hati-hati menggoreskan giginya ke permukaan kulit pria itu. Sejujurnya pergerakan tersebut sudah cukup mengirimkan D
Lizzie mengeluarkan buku sketsanya seraya memandang ke arah Daxon agak lama. “Om?”“Hm?”“Boleh aku menggambarmu?”Daxon mendongak dari korannya, menatap wajah Lizzie yang saat itu tampak menaruh harapan besar. “Apa?”“Aku tahu ini aneh, maksudku anggap saja bahwa ini adalah artblock seorang seniman. Aku ingin membuat pengakuan bahwa aku selalu membuat skesta kasar tentangmu. Tapi sekarang aku merasa ingin menggambarmu secara utuh,” jelas Lizzie dengan sedikit malu-malu dari pada yang dia kira. “Aku ingin menggambarmu.”Ekspresi yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu terlihat dari wajah Daxon, dia bisa melihat ada rona tipis merah muda di pipi si gadis dan itu sangat menggemaskan. Hasilnya Daxon meletakan cangkirnya dan memberikan perhatian penuh kepada Lizzie. “Apa kau serius?”“Sangat,” kata Lizzie sambil memegangi buku sketsanya, meski begitu Daxon masih bisa melihat bahwa gadis itu menggigit bibir bawahnya gugup. “Menurutku kau akan menjadi model yang hebat untuk karyaku.”Daxon kemud
Mereka berdua berjalan menuju ke pusat perbelanjaan terdekat, untuk merealisasikan ajakan Daxon tepat setelah Lizzie selesai melukisnya. Pada akhirnya mereka memilih duduk dan menyantap makan siang di sebuah kafe dan menu yang dipilih adalah garlic bread, wine, dan keju (Lizzie ingin keju sebagai camilan karena dia sangat menyukainya) dan kemudian Daxon menyarankan untuk membeli bahan-bahan keperluan pembuatan sup lobster. Dan ketika mereka berbelanja, saat itulah Lizzie menyadari bahwa ini adalah kali pertama mereka keluar berdua tanpa dirinya merasa harus cemas dan diketahui oleh orang lain. Dia merasa pengalaman pertama ini membuat gemuruh besar di hatinya.Sebenarnya segalanya berjalan dengan sangat sederhana, tidak ada yang istimewa dari berbelanja bahan makanan. Itu hanyalah sebuah kegiatan yang agak membosankan dan dilakukan oleh pasangan yang rata-rata sudah menikah. Tapi anehnya, Lizzie justru merasa bahwa disanalah pesona terbaiknya berada. Dia bisa melakukan sesuatu yang ka
“Iya begitulah, biasanya ada yang menggunakan jasaku untuk memotret moment pernikahan misal pre-wedding, moment ulang tahun yang mewah, tapi yang paling aku suka tentu saja memotret pemandangan alam,” sahut Isabella sambil tersenyum lebar. “Gambaran dari alam selalu membuatku terkesima, karena penciptaannya sendiri langsung oleh Tuhan. Tapi penghasilan terbesar tentu saja dari memotret moment pernikahan.”Lizzie memandangi foto-foto yang dibingkai rapi di dinding. Kebanyakan memang hasil dari pemandangan alam, pemandangan kota, dan yang lainnya pemandangan di pedesaan . Ada beberapa pula foto pasangan yang dipajang. Barangkali sebagai sample untuk menggunakan jasanya. Tentu saja semuanya berasal dari Prancis, karena beberapa diantaranya ada hamparan kebun anggur yang ada di Italia, atau lautan yang berada di sekitar Turki, ada juga hamparan pulau Lombok dari Indonesia. Dia mengambil salah satu yang paling indah menatapnya lekat-lekat.“Orang tuamu, tidak keberatan kah kau memilih mela
Mina tahu bahwa keputusan ini mungkin akan membawanya dalam sebuah penyesalan. Dia berkata pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukannya, tetapi setelah semuanya dia justru sudah mulai merasakan sedikit demi sedikit penyesalan muncul ke permukaan. Itu sebabnya Mina menyuruh Smith untuk menjemput di apartment (yang dia tinggali dengan Lizzie dan Armant) dibandingkan di rumah orangtuanya. Karena dia tidak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari ibunya terkait hal ini.Dan tentu saja koleksi pakaian yang dia miliki lebih bergaya yang di apartment, karena di beberapa kesempatan Mina sering membeli pakaian secara konsumtif dari uang yang dia dapatkan dari hasil magang. Dia tidak mengira bahkan pada akhirnya akan muncul kesempatan dimana dia bisa memakainya secara perdana dalam sebuah acara. Dia juga bersyukur Lizzie dan Armant tidak ada disana menyaksikan dirinya berdadan seperti ini, karena dia tidak bisa membayangkan reaksi kedua orang itu dan seberapa canggungnya Mina bila dia kedapat
Mina terbangun karena sakit kepala dan jantungnya berdebar tak karuan. Bau samar manis seperti bau pancake, wangi berbeda dari ranjangnya juga bantal yang asing di bawah kepalanya menambah kepanikan di dalam diri Mina. Seekor Labrador besar berwarna coklat duduk di sampingnya dengan patuh seolah dia berada disana karena ditugaskan untuk mengawasi. Hidungnya menempel di tepi kasur dengan mata terpaku kepada Mina.Dan kemudian bermunculanlah rasa bersalah, panik, jijik, dan ngeri luar biasa.Dia kemudian beringsut dan membawa tubuhnya dalam posisi duduk sambil melemparkan selimut. Mengecek tubuhnya barangkali ada sesuatu yang berbeda. Tetapi anggapannya salah, dia masih berpakaian lengkap kecuali sepatunya. Dress yang dia kenakan masih dress yang sama dengan kemarin, bahkan stockingnya masih utuh di kaki.Mina kembali menjatuhkan dirinya di ranjang, menatap balik anjing yang sejak tadi menatapnya. Telinga anjing itu terangkat seolah dia menyadari telah menjadi pusat atensi dari Mina. Se