Sedikit pulih dari kedatangannya sendiri, Lizzie setengah menerjang Daxon. Meski tubuhnya masih terasa lemas lantaran mencapai puncaknya dia fokus untuk membalas apa yang pria itu perbuat kepadanya. Melingkarkan lengannya yang gemetar pada bagian vital sang pria untuk memompa, menggunakan cairan cinta miliknya sebagai pelumas.Daxon meraih seprai tatkala Lizzie bekerja di bawah sana. Merasakan merinding yang luar biasa ketika ibu jari gadis itu menggosok bagian kepala, menyentuh tindikannya, urat nadinya yang mengesankan, dan kebagian yang lainnya. Gadis itu melakukannya secara terbalik ketika dia naik kembali.“Mmm … that’s fucking nice.” Daxon mengerang, alisnya berkerut dalam ketika dia merasakan detik mendekati orgasme.Lizzie menyeringai dan membungkuk sedikit. Menghabisi om-om senangnya dengan memberikan ciuman kecil secara perlahan ke sisi miliknya, dengan sangat hati-hati menggoreskan giginya ke permukaan kulit pria itu. Sejujurnya pergerakan tersebut sudah cukup mengirimkan D
Lizzie mengeluarkan buku sketsanya seraya memandang ke arah Daxon agak lama. “Om?”“Hm?”“Boleh aku menggambarmu?”Daxon mendongak dari korannya, menatap wajah Lizzie yang saat itu tampak menaruh harapan besar. “Apa?”“Aku tahu ini aneh, maksudku anggap saja bahwa ini adalah artblock seorang seniman. Aku ingin membuat pengakuan bahwa aku selalu membuat skesta kasar tentangmu. Tapi sekarang aku merasa ingin menggambarmu secara utuh,” jelas Lizzie dengan sedikit malu-malu dari pada yang dia kira. “Aku ingin menggambarmu.”Ekspresi yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu terlihat dari wajah Daxon, dia bisa melihat ada rona tipis merah muda di pipi si gadis dan itu sangat menggemaskan. Hasilnya Daxon meletakan cangkirnya dan memberikan perhatian penuh kepada Lizzie. “Apa kau serius?”“Sangat,” kata Lizzie sambil memegangi buku sketsanya, meski begitu Daxon masih bisa melihat bahwa gadis itu menggigit bibir bawahnya gugup. “Menurutku kau akan menjadi model yang hebat untuk karyaku.”Daxon kemud
Mereka berdua berjalan menuju ke pusat perbelanjaan terdekat, untuk merealisasikan ajakan Daxon tepat setelah Lizzie selesai melukisnya. Pada akhirnya mereka memilih duduk dan menyantap makan siang di sebuah kafe dan menu yang dipilih adalah garlic bread, wine, dan keju (Lizzie ingin keju sebagai camilan karena dia sangat menyukainya) dan kemudian Daxon menyarankan untuk membeli bahan-bahan keperluan pembuatan sup lobster. Dan ketika mereka berbelanja, saat itulah Lizzie menyadari bahwa ini adalah kali pertama mereka keluar berdua tanpa dirinya merasa harus cemas dan diketahui oleh orang lain. Dia merasa pengalaman pertama ini membuat gemuruh besar di hatinya.Sebenarnya segalanya berjalan dengan sangat sederhana, tidak ada yang istimewa dari berbelanja bahan makanan. Itu hanyalah sebuah kegiatan yang agak membosankan dan dilakukan oleh pasangan yang rata-rata sudah menikah. Tapi anehnya, Lizzie justru merasa bahwa disanalah pesona terbaiknya berada. Dia bisa melakukan sesuatu yang ka
“Iya begitulah, biasanya ada yang menggunakan jasaku untuk memotret moment pernikahan misal pre-wedding, moment ulang tahun yang mewah, tapi yang paling aku suka tentu saja memotret pemandangan alam,” sahut Isabella sambil tersenyum lebar. “Gambaran dari alam selalu membuatku terkesima, karena penciptaannya sendiri langsung oleh Tuhan. Tapi penghasilan terbesar tentu saja dari memotret moment pernikahan.”Lizzie memandangi foto-foto yang dibingkai rapi di dinding. Kebanyakan memang hasil dari pemandangan alam, pemandangan kota, dan yang lainnya pemandangan di pedesaan . Ada beberapa pula foto pasangan yang dipajang. Barangkali sebagai sample untuk menggunakan jasanya. Tentu saja semuanya berasal dari Prancis, karena beberapa diantaranya ada hamparan kebun anggur yang ada di Italia, atau lautan yang berada di sekitar Turki, ada juga hamparan pulau Lombok dari Indonesia. Dia mengambil salah satu yang paling indah menatapnya lekat-lekat.“Orang tuamu, tidak keberatan kah kau memilih mela
Mina tahu bahwa keputusan ini mungkin akan membawanya dalam sebuah penyesalan. Dia berkata pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukannya, tetapi setelah semuanya dia justru sudah mulai merasakan sedikit demi sedikit penyesalan muncul ke permukaan. Itu sebabnya Mina menyuruh Smith untuk menjemput di apartment (yang dia tinggali dengan Lizzie dan Armant) dibandingkan di rumah orangtuanya. Karena dia tidak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari ibunya terkait hal ini.Dan tentu saja koleksi pakaian yang dia miliki lebih bergaya yang di apartment, karena di beberapa kesempatan Mina sering membeli pakaian secara konsumtif dari uang yang dia dapatkan dari hasil magang. Dia tidak mengira bahkan pada akhirnya akan muncul kesempatan dimana dia bisa memakainya secara perdana dalam sebuah acara. Dia juga bersyukur Lizzie dan Armant tidak ada disana menyaksikan dirinya berdadan seperti ini, karena dia tidak bisa membayangkan reaksi kedua orang itu dan seberapa canggungnya Mina bila dia kedapat
Mina terbangun karena sakit kepala dan jantungnya berdebar tak karuan. Bau samar manis seperti bau pancake, wangi berbeda dari ranjangnya juga bantal yang asing di bawah kepalanya menambah kepanikan di dalam diri Mina. Seekor Labrador besar berwarna coklat duduk di sampingnya dengan patuh seolah dia berada disana karena ditugaskan untuk mengawasi. Hidungnya menempel di tepi kasur dengan mata terpaku kepada Mina.Dan kemudian bermunculanlah rasa bersalah, panik, jijik, dan ngeri luar biasa.Dia kemudian beringsut dan membawa tubuhnya dalam posisi duduk sambil melemparkan selimut. Mengecek tubuhnya barangkali ada sesuatu yang berbeda. Tetapi anggapannya salah, dia masih berpakaian lengkap kecuali sepatunya. Dress yang dia kenakan masih dress yang sama dengan kemarin, bahkan stockingnya masih utuh di kaki.Mina kembali menjatuhkan dirinya di ranjang, menatap balik anjing yang sejak tadi menatapnya. Telinga anjing itu terangkat seolah dia menyadari telah menjadi pusat atensi dari Mina. Se
Mereka mungkin sudah berciuman, lebih dari satu kali malah. Tetapi Mina tahu bahwa dia belum siap untuk menjajal bagian yang lebih dari pada itu. Oleh karena itu Smith dengan bijaksana mengatakan padanya bahwa Mina tidak berkewajiban untuk memaksakan dirinya, tidak perlu terburu-buru. Meski begitu, kebijaksanaan dan kebaikan yang Smith miliki justru malah memecut Mina untuk keluar dari bayang-bayang buruknya di masa lalu dan belajar mempercayainya. Dia bahkan menginap di kediaman pria itu untuk satu atau dua hari selama masa liburan. Sebab cuma disini Mina mendapatkan kenyamanan maksimal. Tempat tidur yang empak dan nyaman, serta Smith yang selalu siap kapan pun untuk dijadikan tempat cuddle bagi Mina untuk mengisi energi sebelum bergelut dengan buku tebal seharian. Di tambah lagi anjing Labrador pria itu yang belakangan dia ketahui bernama Becky selalu menghiburnya dan berprilaku baik kepada Mina.Memang hal ini terbilang baru bagi Mina, tetapi dengan mencoba menerima Smith ke dalam
“Apa? Apa yang dia lakukan Elliza?” tuntut Dion seraya menyerbu ke dekat istrinya. Dia mencoba mengambil kamera yang dipegang oleh Elliza. Tetapi wanita itu terlalu cepat, dan langsung menggoyangkan benda itu sambil memberikan pandangan menuntut kepada Lizzie. Kini gadis itu sudah terpojok, dia sedang dihakimi oleh kedua orangtuanya.Lizzie melompat berdiri, mencoba mengambil kamera tersebut dari ibunya. “Bu, bukan. Aku bersumpah ini tidak seperti yang ibu bayangkan aku—”“Kau bohong padaku! aku bersumpah jika kau melakukan perdagangan seks illegal—”“Tidak! Bu, tolong berikan kameraku!”Sebelum perdebatan semakin sengit, Dion berhasil mengambil kamera milik Lizzie dari tangan istrinya. Lizzie tahu bahwa kini dia benar-benar berada dalam badai yang sangat besar dan dari sorot mata ibunya, wanita itu juga tahu bahwa segalanya akan jadi jauh lebih buruk sekarang.“Kau pergi ke luar negeri bersama seorang pria yang usianya tidak jauh dari orangtuamu?” Dion bertanya seraya melempar kamera
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber