Tangan Daxon yang kuat mendarat pada pinggul Lizzie yang bulat, dengan hati-hati memijat ototnya. Lizzie merengek, tekanan yang dia dapatkan dari tangan Daxon membuat bagian dari benda kecil di dalam dirinya menggesek ia. Kemudian dia mulai merasakan adanya tarikan, secara perlahan sebelum merasakan benda itu keluar sepenuhnya dari sana. Lizzie menghela napas lega, lantaran terbebas dari benda itu. Secara tidak sadar menyandarkan kepalanya di lengan Daxon. Lizzie sedikit merintih dalam pelukannya tatkala Daxon mengusap kulitnya yang mulus. “Fuck, Lizzie. Kau harusnya lihat bagaimana dirimu sendiri sekarang,” gumam Daxon. “Bagian dirimu sudah mengemis minta dimasuki. Sangat seksi.” Daxon merobek bungkusan kondom dengan giginya mengeluarkan bagian tubuhnya yang telah mengeras dalam satu gerakan. Lizzie memperhatikan segala upaya persiapan yang pria itu sedang lakukan, sementara tubuhnya sendiri masih gemetaran. Daxon mengusap bagian dirinya yang telah basah, seolah memastikan bahwa Li
Permainan panas yang berepetisi membuat Lizzie jatuh lemas di atas kasur. Dia terlalu lelah untuk menanggapi permainan Daxon, seluruh tubuhnya sudah tidak berdaya dan terlalu lemah. Rasa pegal mulai terasa di seluruh tubuh, terutama dibagian pinggang ke bawah. Untungnya Daxon membiarkan dia meringkuk, membenamkan wajahnya pada bantal sementara si Om sendiri meninggalkan dirinya dan memilih pergi ke kamar mandi.Hanya perlu kurang lebih dari dua puluh menit, Daxon sudah berdiri di dekat pintu kamar mandi mengenakan piyama tidur dengan senyuman yang segar di wajahnya. Dia menjauh dari kusen pintu dan kembali menuju kearah Lizzie yang terbaring ditempat tidur. Tidak mampu sedikit pun untuk menahan diri agar dia tidak menyentuh Lizzie sama sekali. Jemarinya yang gatal menyapukan rambut Lizzie yang basah oleh keringat. Senyuman mengembang dari bibir gadis itu.Dia menarik selimut ke atas bahu Lizzie dan menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Menatap gadis itu lekat-lekat, betapa senangn
Ucapan syukur datang lebih cepat daripada perkiraan dan diantara tugas akhir dari mata kuliahnya sekarang seluruh jadwal sudah sedikit longgar. Lizzie tahu bahwa dia harus pulang ke rumahnya, alasan merindukan masakan ibu adalah alasannya. Tapi pulang ke rumah itu juga berarti dia harus berhadapan dengan ayahnya. Itu membuatnya memikirkan ulang keputusannya.Sebab menghadapi ayahnya sama dengan dia harus kembali diingatkan bahwa dia bukanlah anak ideal yang didambakan oleh sang ayah. Membuat dia harus berkali-kali menghadapi cela bahwa dia adalah seorang anak yang mengecewakan dan gagal.Sejujurnya jika disuruh memilih tentu saja dia akan lebih suka datang ke rumah Daxon untuk liburannya, demi menghindari sang ayah. Tapi dia perlu beralasan dengan cara yang bagus kepada kedua orangtuanya yang akan bertanya-tanya bila dia tidak pulang saat liburan tengah semester tiba.“Oh photografi?”Hasilnya dia pulang ke rumah pada akhir pekan dan membicarakan soal rencana jangka panjangnya.Lizzie
Untuk beberapa alasan Lizzie berpikir bahwa barangkali ayahnya tidak akan pulang karena ibunya bilang dia selalu sibuk di satu minggu terakhir. Jadi Lizzie rasa malam ini kemungkinan dia bisa makan malam bersama ibunya saja. Meski sayangnya anggapan itu terbukti salah lantaran sang ayah tetap pulang meski sedikit terlambat dan bergabung di meja makan bersama mereka.Elliza dengan ceria menceritakan semua hal yang Lizzie katakan padanya seharian ini kepada suaminya, dia juga bahkan memperlihatkan jadwal kelas Lizzie di kampus kepada pria dengan watak dingin tersebut. Melihat pria itu menyipitkan matanya pada kertas yang ada ditangan, saat itu pula Lizzie sadar bahwa badai perdebatan akan segera terjadi cepat atau lambat.Badai? Ah, mungkin dia perlu meralatnya. Lizzie rasa mungkin akan lebih cocok dianalogikan sebagai ranjau darat daripada badai bila berhubungan soal sang ayah bermulut pedas yang kerap kali mendorong mentalnya hingga jatuh ke dasar.“Bagaimana seluruh kelasmu saat ini?
Armant tersenyum mendengar penuturan dari Lizzie.“Senang mendengarmu bersemangat,” kata Mina yang tampaknya tidak mau kalah menunjukan apreasiasi. “Aku juga sangat bersemangat dengan kelasku semester depan. Akhirnya aku bisa mulai mengambil ilmu gizi.”“Mina, jangan terlalu memaksakan diri seperti yang kau lakukan disemester ini,” sahut Armant dengan cepat menambahkan. “Semester ini kau kewalahan dengan banyak pilihan mata kuliah.”“Aku bisa mengatasinya dengan baik kok. Lihat aku!” Mina menyanggah, tidak terima mendapatkan peringatan dari Armant.“Minum kopi sebagai pengganti tidur, dan begadang nyaris setiap malam jelas terlihat memaksakan diri dimataku.”“Oh ayolah, Armant. Beri dia kesempatan untuk membela dirinya. Meski aku juga setuju dengan pernyataanmu,” kata Lizzie menatap sepupunya. “Aku tahu kau baik-baik saja dan sangat baik mengatasi semuanya. Tapi yang sekarang tolong jangan mengambil terlalu banyak.”“Kau juga sama Lizzie,” timpal Armant sambil mencubit pangkal hidung
“Tidak sepenuhnya, setidaknya aku memakai celana dalamku dan sekarang sedang mencari celana untuk aku gunakan.” Lizzie menggigit bibirnya sendiri tatkala membayangkan gambaran itu menjadi terlalu jelas di dalam benaknya. Daxon yang basah dengan handuk yang disampirkan di bahunya yang lebar, berkeliaran di sekitar rumah dengan kondisi setengah telanjang, dan otot-ototnya yang kuat dia pamerkan dengan jelas. Ah, itu adalah sesuatu yang sudah lama sekali tidak Lizzie lihat dan kemudian Lizzie tiba-tiba menjadi lebih serakah. Dia menyadari bahwa dia merindukan lebih dari suara Daxon. “Kalau begitu Om harus tetap berada dalam kondisi itu,” ujar Lizzie sambil menggodanya, mengusap pipinya yang memerah karena malu dan terasa panas dari pada yang bisa dia duga. “Lalu kirimi aku fotonya.” “Kau serius mau menginginkan fotoku yang sedang telanjang?” “Uh … yeah.” “Horny little girl.” “Apa?!” Lizzie tertawa dengan sebutan baru yang Daxon sematkan untuknya. “Aku hanya sudah lama tidak bertemu
Lizzie terdiam dan mendengarkan dengan seksama soal suara yang memanggil namanya tadi. Memastikan itu bukan hanya halusinasinya saja. Tapi kemudian dia melompat dari tempat tidurnya tatkala mendengar ketukan dari luar pintu. Sial! Ternyata itu betulan suara Mina. Dia melompat dan mengambil celana dalamnya dan mengenakan kaos oblong kebesarannya lagi.“Hei Om, aku tutup dulu telponnya ya, bye,” kata Lizzie dan langsung melemparkan ponselnya ke atas ranjang.“Kau mau masuk?” kata Lizzie kepada Mina yang tampaknya masih berada di depan pintu.“Ya,” sahutnya.Lizzie secara terburu-buru mengenakan celana pendeknya sebelum berlari menuju ke arah pintu. Dia membukanya kemudian, berusaha sebisa mungkin untuk tampil normal di hadapan sepupunya.“Apa yang sedang kau lakukan di dalam?” tanya Mina yang langsung menatap Lizzie dari atas ke bawah dengan sorot mata penuh curiga.“Melukis. Ada apa? kenapa kau kembali? apa sesuatu terjadi?” tanya Lizzie cepat dalam satu tarikan napas, kata-kata itu ke
Lizzie mendongak dari buku sketsanya, dia mengamati wajah Daxon sebelum kembali menggoreskan pensi pada kertas yang telah dia bubuhi beberapa garis. Di bukunya, Daxon telah menjadi sebuah subjek penggambaran favorit Lizzie. Jawabannya mudah, karena pria itu indah dan dia bisa berada dalam posisi yang sama untuk waktu yang terbilang cukup lama sehingga Lizzie dapat menggambar pria itu dibukunya tanpa harus kesulitan.“Apa yang akan kau lakukan Sabtu depan?” Daxon bertanya, mendongak dari laptopnya menatap ke arah Lizzie.“Uhh … aku tidak ada rencana,” kata Lizzie. “Kenapa?”Daxon menghela napasnya kemudian menyandarkan punggung ke kursi, melepas kacamata dan menarik pangkal hidungnya dengan ekspresi yang lelah. “Apa kau tertarik untuk pergi makan di luar?”Kata-kata yang keluar sedikit ragu-ragu, Lizzie menatap aneh pada tingkah polah Daxon yang tidak biasanya. Dia tidak pernah melihat pria itu gelisah hanya karena mengajaknya keluarnya. Biasanya dia selalu percaya diri untuk hal-hal s
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber