“Miss Allice,” panggil pria itu memegang bahu Allice.
Hanya saja suaranya terdam air hujan dan guntur. Allice juga masih ketakutan, hingga pikirannya tertuju pada penjahat-penjahat itu.
“Ampun! Jangan sakiti aku!” tangis Allice masih belum berani membuka kedua tangannya yang menutupi wajah.
“Allice! Hei!” Pria itu akhirnya berjongkok di depan Allice. Dia mengguncang keras bahu wanita itu.
“Allice!” teriaknya lagi.
Sampai Allice terkesiap, karena ada yang memanggil namanya. Dia perlahan membuka sela-sela jemari, mengintip tipis. Dia harus memastikan kalau di depannya memang orang yang dia kenal.
Sampai sosok pria memakai jas putih basah kuyup itu nampak khawatir menatapnya.
“He-Hexa?” Allice akhirnya menurunkan kedua tangan. Dia sedikit linglung, bagaimana bisa Hexa ada disini?
Takut salah melihat, Allice menoleh ke belakang. Dia mencari para penjahat tadi.
“Mereka sudah pergi,” ucap Hexa dengan suara keras.
Benar, penjahat itu tentu sudah lari tunggang-langgang ketika kalah dari serangan Hexa.
Pria itu berdiri, hingga saat Allice berbalik ke arahnya, dia langsung memberikan satu tangannya untuk Allice.
“Cepat masuk ke mobil,” ucap Hexa menggerakkan tangannya supaya Allice menerima.
Dengan kondisi masih gemetaran, Allice meraih tangan Hexa kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam mobil.
“Mo-Mobilmu basah.” Allice tak enak melihat jok yang dia duduki mulai basah.
“Hem, kamu hutang budi padaku. Tapi bicarakan itu nanti. Pakai dulu sabuk pengamanmu, kita ke apartemenku dulu,” ujar Hexa. Dia melepas jas dokternya yang sudah basah lalu dilempar ke belakang.
“Sayangnya tak ada pakaian kering disini,” sambungnya setelah memastikan di bagian belakang tak ada pakaian miliknya yang tertinggal.
Allice mendekap tubuhnya yang kedinginan dan gemetaran. Dia menoleh pada Hexa dan tersenyum tipis. “Terimakasih. Menolongku saja sudah cukup.”
“Ck! Kau ini. Seakan kita baru saling kenal.”
“Oiya, antar aku ke rumah saja.”
“Tenang, apartemenku tak jauh dari sini dan aku tak mungkin macam-macam pada istri Arsen. Aku masih menyimpan beberapa set pakaian mantanku. Kamu bisa mengganti baju dulu, baru aku mengantarmu pulang.” Hexa masih belum menyalakan mesin mobilnya, sebab dia harus memastikan dulu tujuannya sekarang.
Allice tetap menggeleng. “Aku mau pulang.”
Dia tentu sadar statusnya. Tak mungkin seorang wanita bersuami datang ke apartemen pria hanya berdua saja.
“Sebaiknya aku berhenti di jalan besar saja. Aku bisa naik taksi,” ucap Allice lagi.
“Kamu masih ingin ada yang macam-macam denganmu? Apalagi pakaianmu sudah basah begitu.” Hexa berucap tanpa berani menatap lekuk tubuh Allice yang makin seksi karena memakai baju basah.
Allice menunduk dan menyadari itu. “Ah, ma-maaf,” lirihnya malu, seraya menyilangkan kedua tangan ke bagian depan tubuhnya.
Hexa terkekeh pelan. “Baiklah, satu jam perjalanan. Aku harap kamu belum mati kedinginan setelah sampai disana,” ujarnya seraya menyalakan mesin lalu memutar jalan menuju rumah Arsen.
Suasana jalanan malam saat hujan begini sangat lenggang. Hingga Hexa bisa membawa mobilnya lebih cepat dari biasanya.
“Apa yang terjadi?” tanya Hexa setelah merasakan keheningan di dalam mobil.
Setidaknya kalau mengobrol, mereka bisa sedikit melupakan rasa dingin yang makin menjadi sepanjang perjalanan. Lihat saja, wajah Allice semakin memucat karena dingin.
“Aku sedang di klub malam bersama Arsen. Tapi ada pria yang berniat jahat padaku. Bodohnya, aku ikuti saja petunjuk mereka ketika aku sedang mencari letak toilet. Lalu ... begini. Aku masuk perangkap mereka,” ungkap Allice begidig ngeri saat ingat kejadian tadi.
Dahi Hexa berkerut tipis. Dia menoleh sekilas pada Allice. “Arsen? Kamu sedang bersama dia? Lalu kenapa sekarang kamu tidak menghubunginya?”
“Tasku bahkan terjatuh tadi,” jawab Allice jujur.
Hexa menghela nafas panjangnya. Dia lalu meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di dasboard mobil. Kemudian dia berikan pada Allice.
“Telefon dia pakai HP-ku. Dia pasti sedang mencarimu.”
Allice sendiri saja ragu. Apa mungkin Arsen mencarinya bahkan khawatir? Dia rasa tidak. Tadi saja di klub malam itu, Allice hanya dianggap patung. Ditawarkan minum pun tidak.
“Hubungi dia.” Hexa menggerakkan ponsel lagi ke arah Allice.
Wanita itu pun menerimanya. Namun sayang, ketika dia baru mencari kontak Arsen di ponsel Hexa. Telefon itu mati.
“Yaaa! Batery habis?”
Hexa berdecak melihat ponselnya benar-benar mati saat dibutuhkan. Charger juga dia tak membawanya.
“Sorry, aku lupa mengisinya. Seharian ini ada lebih dari satu jadwal operasi. Jadi aku tak sempat mengurus ponselku,” ujar Hexa merasa tak enak.
“Oke, aku bisa menghubungi Arsen saat sudah sampai di rumah.” Allice tersenyum tipis meletakkan ponsel itu ke atas dashboard lagi.
Mobil pun terus melaju menembus hujan dan angin malam yang semakin dingin.
***
Disisi lain, di klub malam. Arsen berulang kali melihat jam brandednyang melingkar di tangan kirinya. Dia menghitung sudah berapa lama Allice meninggalkan ruang VVIP ini hanya untuk ijin ke toilet. Satu jam lebih, bukanlah hal yang wajar.
“Tuan Arsen, dimana istri Anda? Apa jangan-jangan dia tidak suka berkumpul dengan kami?” tanya salah seorang pria berkumis.
“Mungkin dia tak terbiasa di tempat seperti ini, Sayang. Lihatlah. Kalian bahkan banyak yang merokok,” sahut istri dari pria berkumis.
Arsen hanya bisa tersenyum canggung.
“Ya, istri saya memang tidak terbiasa datang ke klub malam. Maaf, tadi dia mengatakan kalau kepalanya sedikit pusing. Jadi dia memilih duduk di luar.” Arsen menjeda untuk berdiri dari posisinya lebih dulu. “Karena itu, saya ingin memastikan lebih dulu kondisi istri saya di luar.”
Para rekan bisnis itu mengangguk setuju.
“Ah, kalian romantis sekali. Istrinya tak enak menolak ajakan suaminya. Meski dia tak terbiasa dengan situasi ini. Sedangkan sang suami pengertian, akan memastikan kondisi istrinya.”
“Tentu kami ijinkan, Tuan Arsen.”
“Iya, Anda bisa datang saja kami sangat senang.”
Kata demi kata pujian itu dibalas senyuman hangat oleh Arsen. Dia lalu bergerak pergi dari ruangan untuk mencari Allice.
“Ck! Dimana dia! Menyusahkan!” kesal Arsen karena dia belum juga menemukan Allice di area lantai atas. Bahkan ketika dia tanya petugas pun, tak ada yang melihat.
Arsen mencoba menghubungi ponsel Allice. Namun tak ada jawaban. Pesan-pesan yang dia kirim juga tak kunjung dibuka.
Saat dia mulai frustasi mencari Allice, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dia pikir balasan dari Allice, tapi tidak. itu pesan masuk dari Nadya.
Wanita itu mengirim sebuah pesan padanya.
[Mas Arsen, aku kira tadi Allice berangkat bareng mas. Tapi kenapa sekarang justru peluk-pelukan basah kuyup bersama Dokter Hexa?]
Bukan hanya pesan, Nadya bahkan mengirimkan sebuah foto pada Arsen.
“Apa-apaan ini?” geram Arsen dengan rahang mengetat.
BERSAMBUNG
Kepala Allice mulai pusing karena terlalu lama kedinginan. Bibirnya juga makin pucat dan gemetaran. Sebagai dokter, Hexa tentu paham kalau wanita di sampingnya itu sedang tidak baik-baik. Berulang kali pula Allice terdengar bersin-bersin lalu mengusap ujung hidung yang gatal. “Ada paracetamol di rumah?” tanya Hexa masih membawa mobilnya melintas cepat ke kawasan elite rumah Arsen. “Hem ...,” jawab Allice hanya mengangguk. “Maaf, kalau aku hanya bisa mengantarmu pulang. Karena aku tawarkan ganti pakaian di apartemen kamu tidak mau. Berhenti di toko baju pun, kamu tidak mau.” Pandangan Hexa sudah menuju gerbang rumah megah di depannya. Dia menekan klakson dua kali, barulah seorang satpam berlari memakai payung untuk membuka gerbang. Satpam itu tentu sudah mengenal mobil Hexa. Selain sahabat Arsen dari kecil, Hexa juga merupakan dokter keluarga. “Kamu tenang saja, aku bisa mengobati diriku sendiri,” jawab Allice. “Hemm ... ya. Aku tak pernah lupa kalau kamu lulusan S2 kedokteran.
Mata Arsen kembali terbuka ketika mendengar erangan dari mulut wanita yang tidur satu ranjang dengannya."Ma ... bawa aku ....”Ibu Allice sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Lalu kenapa Allice tiba-tiba minta dibawa? Hal itu yang membuat Arsen akhirnya menoleh ke posisi tidur Allice.Wanita itu memunggunginya, masih tergulung di dalam selimut.“Hei,” panggil Arsen. “Kau bisa diam?”Tak ada respon. Bahkan Allice cukup berisik untuk sekedar mengeluarkan nafas.Arsen mulai merasa ada yang tak beres. Dia memposisikan diri untuk duduk kemudian mengguncang ringan bahu Allice yang tertutup selimut tebal.“Allice?” panggil Arsen.Dengan ragu, tangan Arsen akhirnya berpindah menyentuh dahi Allice.Dia cukup terkesiap merasakan hawa panas di tubuh istrinya itu. “Demam.”Arsen menyingkap selimut. Dia turun dari ranjang lalu keluar mencari Bi Suci. Tapi karena ini sudah lewat tengah malam, suasana sudah sangat sepi. Tak mungkin Arsen membangunkan pelayannya apalagi Nadya untuk mengurus Allice.
Salah satu alis Hexa menukik saat mendengar perkataan Axton barusan.“Menginginkan istrimu?” Dokter itu mem-beo.“Hem,” sahut Arsen dingin.Hexa masih bingung. Dia melihat sosok sahabat di depannya dari atas sampai bawah guna mencari jawaban. Kemudian netranya beralih pada mobil Arsen yang parkir tak jauh darinya. Disana Nadya keluar dari mobil lalu memandangi Arsen, seolah sedang menunggu pria itu.“Kau datang dengan Nadya. Allice tidak masuk kerja? Apa dia sakit?” tanya Hexa.“Dia sakit karenamu, bukan? Ada janji temu dengannya semalam? Pergi kemana sampai hujan-hujanan basah kuyup lalu berpelukan di depan rumahku.” Arsen akhirnya mengutarakan kekesalannya.Ah!Hexa terkekeh ringan. Dia hampir tak percaya kalau rupanya Arsen sedang mempermasalahkan soal semalam.“Kau cemburu aku pulang bersamanya? Memangnya Nadya tidak cerita? Atau Allice, mungkin?” Hexa tentu ingat, kalau semalam Nadya yang membukakan pintu rumah.Hexa juga menceritakan apa yang terjadi dengan Allice, hingga dia bi
Arsen hanya memutar-mutar chip itu di jemarinya. Dia berfikir, apa perlu melihat bukti entah apalah itu yang tertangkap di mobil Hexa?Pria itu akhirnya memilih meletakkan chip di laci meja kerjanya. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.Tapi gangguan selalu saja ada. Sebuah telefon masuk ke ponselnya.Pak Burhan. Dia adalah pemilik Night Club sekaligus rekan bisnis yang mengundangnya untuk party bersama semalam.Karena dipastikan apa yang akan dibahas Pak Burhan adalah penting, Arsen pun langsung mengangkatnya.“Halo, Pak Burhan. Bagaimana?” tanya Arsen langsung ketika benda pipih itu menempel di daun telinganya. Sedangkan tangan kanannya sedang menggoreskan tinta untuk tanda tangan di atas berkas.“Tuan Arsen, sebelumnya saya ingin memohon maaf karena minimnya penjagaan dan CCTV club masih belum aktif,” ucap Pak Burhan merasa tak enak pada Arsen.Dahi Arsen berkerut tipis. Dia tentu tau kalau itu club masih baru berdiri seminggu yang lalu. Memang belum sepenuhnya jadi. Diibaratk
Ulang tahun Safira? Arsen memejamkan matanya erat, memarahi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa tanggal ulang tahun istri pertamanya itu?Setiap tahun, semasa hidup Safira. Dia selalu berpesan pada Arsen. Kalau Safira akan selalu merayakan ulang tahunnya di panti asuhan tempatnya dibesarkan dulu.Bahkan, setelah kematian sang istri. Arsen masih saja melakukan hal serupa. Dia datang ke panti asuhan. Bermain dengan anak panti, berbagi dan hal lainnya. Makam Safira juga dikubur dekat dengan panti, jadi Arsen biasanya kesana dengan ibu panti.“Maaf Safira, aku hampir saja lupa,” ucap Arsen bermonolog. Tapi sekarang masalahnya adalah, Arsen sudah berjanji pada anak-anak akan membawa mereka berlibur akhir pekan.Arsen menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Dia memejam sembari memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.Sampai dia menemukan sebuah keputusan.*** “Papa! Papa! Papa!” Anna melompat turun dari sofa ketika dia melihat Arsen baru dari arah ruang baca.Gadis kecil itu
“Apa aku bangun terlalu siang?” tanya Nadya ketika dia sampai di ambang pintu dapur. Allice berbalik membawa teflon berisi cah udang brokoli yang baru matang. Hingga sekilas dia bisa melihat Nadya disana. Gerakannya sempat terhenti sebelum menuangkan makanan itu ke wadah. Allice mengamati gaya berpakaian Nadya dari ujung kaki hingga kepala. Rok yang dipakai terlalu mini. Juga blazer itu terlalu ketat, hingga belahan dada Nadya terlihat menonjol. “Kau memakai baju kesempitan itu untuk bekerja?” tanya Allice kembali melanjutkan tujuannya, menuangkan sayuran. Nadya memperhatikan diri sendiri. “Ya, ada yang salah? Atau kamu iri tak bisa menonjolkan tubuh seksi sepertiku?” Allice tersenyum miring tanpa menghentikan kesibukannya di atas meja dapur. Yaitu mengisi dua kotak makan untuk bekal Anna dan juga Brian. “Untuk apa aku iri pada wanita sepertimu?” jawab Allice santai. “Wanita sepertiku?” beo Nadya merasa tak terima dengan dua kata yang tadi Allice ucapkan. Allice akhirnya kemba
Arsen tak tahan selama tiga hari ini Allice terus mengabaikannya. Dia pun menarik tangan wanita itu. Kemudian menahan pinggang serta tengkuk leher Allice. Dalam satu waktu, Arsen langsung menyerang bibir pink sang istri.“Mmmmh!” Allice terkejut, reflek mendorong dada Arsen. Tapi pria itu justru semakin memperdalam lumatan, meremas pinggang Allice. Serta menekan tengkuk leher wanita itu.Manis.Arsen merasakan itu.Apalagi ketika Allice tak lagi memberontak. Arsen terus melumat, meringankan tempo, namun dengan mata terpejam.Sebuah French kiss tak terencana. Ciuman yang sekedar gertakan dan hukuman. Kini justru cukup panas terpampang di area terbuka.Sampai Nadya yang berniat turun untuk mengambil minum, harus dikejutkan oleh tontonan itu.‘Apa-apaan ini?’ pekiknya dalam hati.Dengan perasaan kesal, Nadya kembali ke kamar yang yang terletak tak jauh dari kamar anak-anak.Hingga nafas keduanya hampir habis, Arsen baru melepas pagutannya.Tersadar, Allice pun langsung mendorong tubuh A
Allice sempat kesulitan berjalan pada awalnya ketika turun dari ranjang menuju kamar mandi. Ini semua tentu karena kegilaan Arsen semalam. Tapi sekarang, setelah Allice berendam air hangat di bathup. Tubuhnya kembali segar. Tak lagi peduli kemana Arsen berada, karena itu hanya membuat dia sakit hati. Allice keluar kamar berniat membantu Bibi Suci memasak sarapan.Namun langkahnya melambat ketika melewati kamar anak-anak. Suara gaduh terdengar disana.Allice pun mendekatkan telinganya ke pintu yang masih tertutup rapat.“Mereka sedang apa, ya? Biasanya weekend masih tidur,” gumamnya.Saat dia konsentrasi untuk mendengar kegaduhan lagi, pintu tiba-tiba terbuka. “Kau sedang apa?” Suara bariton Arsen membuat Allice memejamkan matanya dan masih dengan posisi miring ke pintu.“Hehehe!” Allice langsung berdiri tegap, meringis menunjukkan deretan gigi putih nan rapi.“Aku hanya penasaran kalian sedang melakukan apa.”Wajah Allice reflek memerah malu karena Arsen justru terus menatapnya. Pad
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady