“Apa aku bangun terlalu siang?” tanya Nadya ketika dia sampai di ambang pintu dapur. Allice berbalik membawa teflon berisi cah udang brokoli yang baru matang. Hingga sekilas dia bisa melihat Nadya disana. Gerakannya sempat terhenti sebelum menuangkan makanan itu ke wadah. Allice mengamati gaya berpakaian Nadya dari ujung kaki hingga kepala. Rok yang dipakai terlalu mini. Juga blazer itu terlalu ketat, hingga belahan dada Nadya terlihat menonjol. “Kau memakai baju kesempitan itu untuk bekerja?” tanya Allice kembali melanjutkan tujuannya, menuangkan sayuran. Nadya memperhatikan diri sendiri. “Ya, ada yang salah? Atau kamu iri tak bisa menonjolkan tubuh seksi sepertiku?” Allice tersenyum miring tanpa menghentikan kesibukannya di atas meja dapur. Yaitu mengisi dua kotak makan untuk bekal Anna dan juga Brian. “Untuk apa aku iri pada wanita sepertimu?” jawab Allice santai. “Wanita sepertiku?” beo Nadya merasa tak terima dengan dua kata yang tadi Allice ucapkan. Allice akhirnya kemba
Arsen tak tahan selama tiga hari ini Allice terus mengabaikannya. Dia pun menarik tangan wanita itu. Kemudian menahan pinggang serta tengkuk leher Allice. Dalam satu waktu, Arsen langsung menyerang bibir pink sang istri.“Mmmmh!” Allice terkejut, reflek mendorong dada Arsen. Tapi pria itu justru semakin memperdalam lumatan, meremas pinggang Allice. Serta menekan tengkuk leher wanita itu.Manis.Arsen merasakan itu.Apalagi ketika Allice tak lagi memberontak. Arsen terus melumat, meringankan tempo, namun dengan mata terpejam.Sebuah French kiss tak terencana. Ciuman yang sekedar gertakan dan hukuman. Kini justru cukup panas terpampang di area terbuka.Sampai Nadya yang berniat turun untuk mengambil minum, harus dikejutkan oleh tontonan itu.‘Apa-apaan ini?’ pekiknya dalam hati.Dengan perasaan kesal, Nadya kembali ke kamar yang yang terletak tak jauh dari kamar anak-anak.Hingga nafas keduanya hampir habis, Arsen baru melepas pagutannya.Tersadar, Allice pun langsung mendorong tubuh A
Allice sempat kesulitan berjalan pada awalnya ketika turun dari ranjang menuju kamar mandi. Ini semua tentu karena kegilaan Arsen semalam. Tapi sekarang, setelah Allice berendam air hangat di bathup. Tubuhnya kembali segar. Tak lagi peduli kemana Arsen berada, karena itu hanya membuat dia sakit hati. Allice keluar kamar berniat membantu Bibi Suci memasak sarapan.Namun langkahnya melambat ketika melewati kamar anak-anak. Suara gaduh terdengar disana.Allice pun mendekatkan telinganya ke pintu yang masih tertutup rapat.“Mereka sedang apa, ya? Biasanya weekend masih tidur,” gumamnya.Saat dia konsentrasi untuk mendengar kegaduhan lagi, pintu tiba-tiba terbuka. “Kau sedang apa?” Suara bariton Arsen membuat Allice memejamkan matanya dan masih dengan posisi miring ke pintu.“Hehehe!” Allice langsung berdiri tegap, meringis menunjukkan deretan gigi putih nan rapi.“Aku hanya penasaran kalian sedang melakukan apa.”Wajah Allice reflek memerah malu karena Arsen justru terus menatapnya. Pad
Allice mencoba mengangkat tubuhnya untuk naik ke permukaan laut. Tapi kakinya sungguh teramat sakit jika bergerak. Ingin pula berteriak memanggil Brian, namun dia berada di dalam air. Sayangnya gerakan Allice yang berlebihan membuat air laut perlahan masuk ke selang udara. Sementara Brian sudah semakin jauh, jagoan kecil itu hobi berenang. Jadi dia bisa dengan lihai bermain disana. Memperhatikan penyu, tanpa menyentuh. Karena penyu merupakan hewan yang sensitif jika sembarang disentuh. Setelah beberapa menit, Brian baru sadar jika mamanya tidak mengikuti. ‘Mama dimana, ya?’ pikirnya dalam hati. Akhirnya Brian naik ke permukaan melihat ke sekitar. “Kak Brian!” Anna nampak sumringah melambaikan tangan pada saudara kembarnya itu. Tapi Brian justru menunjukkan ekspresi panik lalu kembali menyelam. Kode itu membuat Arsen mengerutkan keningnya tajam. Dia sudah mulai merasa ada yang tak beres. Terlebih dia tidak bisa melihat selang udara Allice yang seharusnya nampak di permukaan. Ti
Allice sejak tadi memikirkan kenapa Arsen tidak ada di rumah sakit. Pria itu hanya meminta salah satu anak buahnya untuk menjemput dan mengantar ke resort.Ingin dia menghubungi suaminya itu, tapi tas dan ponsel kata pengawal sudah Arsen bawa.“Ma, kenapa melamun?” tanya Brian melihat ibunya diam sejak mobil keluar dari area rumah sakit.“Melamun? Tidak. Mama hanya mengantuk,” jawab Allice berbohong.Dia lalu menunduk, melihat Anna yang tidur dengan menjadikan pahanya sebagai bantal. Sedangkan kaki Anna berada di pangkuan Brian.“Kamu tidak mengantuk, Sayang?” Allice kembali menatap Brian, memberikan senyuman hangatnya untuk pria kecil itu.Brian menggeleng. “Kalau aku mengantuk, nanti mama bagaimana? Susah gendong kita bersamaan.”“Ah, anak mama ini suka sok dewasa,” canda Allice mengulurkan tangan kanan untuk mengusap kepala Brian.“Hish, mama jangan buat rambut aku berantakan.” Brian langsung membenarkan rambutnya.“Hahaha ... oke oke. Gimana kalau kita main tebak-tebakan supaya ti
Nadya mengatakan kalau ada beberapa preman yang datang ke panti asuhan. Kemudian mengacak-acak panti itu. Hingga membuat ibu panti terluka.Arsen tak bisa menolak untuk tidak segera datang. Bagaimanapun, ibu panti adalah ibu angkat Safira dan Nadya. Tak mungkin Arsen tutup mata membiarkan wanita yang Safira sayang itu sakit.Kini semua sudah membaik. Arsen baru bisa masuk ke kamar yang selalu disediakan untuknya kalau sedang bermalam di panti ini.“Allice masih belum menjawab pesanku?” gumam Arsen seraya menarik ponsel dari dalam sakunya.Entah mengapa dia merasa tak tenang melihat tak ada balasan apapun dari Allice. Juga wanita itu tidak menelfon balik.Padahal biasanya Allice kalau marah selalu mengirim banyak pesan. Hingga Arsen makin kesal dan menganggap semua pesan itu hanyalah sampah.Tapi sekarang, tak ada satupun. Apa Allice tidak marah? Atau justru kali ini lebih marah dari biasanya? Pikir Arsen.“Ck! Apa peduliku?” Arsen melempar ponselnya ke atas ranjang. Kemudian dia melep
Bibir Allice mengulas senyum ketika telefon dari Arsen berakhir begitu saja.“Entah terpaksa atau tidak, tapi aku rasa kamu memang cemburu, Arsen,” gumamnya dalam hati.Allice kemudian meletakkan telefon di meja resepsionis, kemudian membungkuk singkat sambil mengucapkan terimakasih.Wanita itu kembali ke kamarnya terburu-buru. Dia lalu melihat Anna yang sebelumnya masih tidur di ranjang kini berpindah dalam gendongan seorang pria separuh baya.“Ayah, Anna terbangun lagi?” tanya Allice mendekat, lalu mengusap punggung gadis kecilnya itu.“Dia tadi menangis mencari papanya,” bisik Pak Satria, ayah kandung Allice.Pagi tadi, Satria menghubungi Allice setelah melihat foto di story chat. Dimana Allice memajang foto Brian dan Anna dengan background matahari terbit.Satria yang kebetulan ada kepentingan bisnis, mengecek bahan dasar produksi untuk pabriknya di Raja Ampat. Dia pun menghubungi Allice. Ternyata mereka ada di pulau yang sama.Jadilah Satria menenami Allice jalan-jalan. Namun say
Di ruang makan, Allice tetap tak bisa menyembunyikan senyumannya. Buket bunga dan pelukan itu benar-benar membuang rasa kesalnya akibat ulah Arsen di Raja Ampat kemarin lusa.“Aku nanti pulang malam,” ucap Arsen datar di sela mengunyah sarapan paginya.Allice mengangguk ringan, tak menjawab dengan kata-kata karena dia baru saja memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.“Papa sibuk banget. Kita baru pulang udah ditinggal kerja. Terus pulangnya malem,” ucap Anna.Arsen mengusap kepala Anna, karena gadis itu duduk paling dekat dengannya.“Iya, papa juga kerja untuk kalian. Kamu jangan banyak bermain. Besok harus bisa sekolah, okey,” ujar Arsen.“Okey, Papa ....”Allice merasa semakin kesini perubahan Arsen sedikit nampak. Sedikit ya ... entah karena tak enak pada Nadya menolak sarapan bersama. Atau memang Arsen sudah mulai menerima Allice sedikit demi sedikit.Arsen yang dulu. Dia sulit untuk berada satu ruangan dengan Allice, meski hanya sekedar makan. Tapi sekarang, Allice tak perlu
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady