Arsen tadinya enggan ikut acara pesta kecil yang diadakan oleh rekan-rekan bisnisnya. Hanya saja, dua orang dari mereka terus saja memperingatinya akan pesta malam ini.
"Bersiaplah, malam ini ikut aku menghadiri pesta," ucap Arsen pada Allice yang baru masuk ke kamar.
"Aku tidak mau," jawab Allice menuju walk in closet.
"Kalau begitu biar Nadya yang aku bawa." Arsen mengatakan dengan santai lalu meninggalkan Allice, masuk ke kamar mandi.
Meski tadinya menolak, tapi mana mungkin Allice membiarkan Arsen membawa Nadya sebagai penggantinya.
***
Night club, sebuah club malam kelas atas semakin ramai di datangi para pengunjung.
“Arsen, kamu yakin pesta di tempat seperti ini?” Allice terkejut melihat dimana dirinya berada.
Dari dalam mobil saja, dia merasa tidak nyaman dengan pemandangan di sekitarnya. Apalagi kalau masuk.
Lihatlah, mereka tidak tau malu bermesraan di sisi gedung. Bahkan ada yang berciuman. Allice sampai jijik rasanya.
Seumur-umur dia tak pernah datang ke tempat seperti ini. Bahkan, setau dia, Arsen pun tak pernah sengaja datang untuk bersenang-senang ke klub malam.
“Kalau bukan mereka yang meminta, aku tak mau mengajakmu,” jawab Arsen datar.
Allice hanya bisa menghela nafasnya atas tanggapan Arsen.
Dia turun memakai gaun pesta selutut. Tapi tak glamour, tidak pula terlalu terbuka. Arsen selalu melarangnya mengenakan baju terbuka.
Meski begitu, tanpa make up tebal. Kecantikan Allice sudah alami. Hidung mancung, bulu mata lentik serta wajahnya kecil dan bersinar.
Tak salah kalau banyak orang mengatakan kalau pasangan Tuan dan Nyonya Mahardika adalah pasangan sempurna. Tampan dan cantik.
Tanpa perdebatan apapun lagi, mereka berdua masuk. Benar saja, Allice langsung tak nyaman dengan situasi disini. Sangat berisik, bau alkohol dan asap rokok.
“Arsen, kita pulang ya,” pinta Allice.
Arsen tak menjawab. Dia menarik tangan Allice membawanya masuk melewati orang-orang yang sedang berjoged. Ada pula yang sekedar mengobrol sambil meminum alkohol.
Tapi tujuan Arsen bukan di lantai dansa. Dia di bawa ke ruang VIP oleh petugas.
Sambutan hangat pun didapatkan. Rupanya bukan hanya Allice, tapi ada tiga orang istri yang turur hadir disana.
Obrolan entah apa Allice dengar. Dia duduk di samping Arsen tanpa menimpali candaan garing di sekitarnya.
Allice memang jarang ikut ke acara seperti ini. Apalagi di klub malam. Allice tidak betah.
“Arsen, aku ingin ke toilet,” bisiknya.
Arsen mengangguk tanpa menunjukkan toilet berada.
Saat Allice keluar ruangan. Dia dibuat bingung harus ke kanan atau kiri mencari keberadaan toilet itu.
Sampai ada dua orang pria memperhatikan wanita cantik itu. Keduanya saling melempar kode dengan tatapannya. Baru kemudian mereka menghampiri.
“Halo, apa yang dicari, Nona?” tanya seorang pria itu.
“Emh, toilet di sebelah mana, ya?” Allice bertanya dengan sopan.
“Oh, toilet di sebelah sana. Nona cantik bisa belok kiri. Kalau ada pintu berwarna merah, masuk saja.” Pria itu menunjuk ke arah yang dia jelaskan.
“Baiklah, terimakasih.”
Tanpa rasa curiga, Allice berjalan ke arah yang ditunjuk. Saat dia masuk ke pintu merah. Bukannya toilet, tapi itu adalah pintu keluar ke samping klub.
“Lho? Ini dimana?”
Allice mulai curiga kalau dia salah tempat.
Tapi ketika Allice hendak kembali ke dalam. Seseorang sudah menarik tangannya dan membawanya ke atas bahu.
“Hei! Kamu! Lepaskan!”
Allice langsung meronta dan menendang. Sampai tasnya terjatuh dari bahunya.
“Santai, Nona. Kita akan bermain-main,” ucap pria yang tadi menunjukkan rute toilet.
Karena tubuh Allice ramping dan enteng. Dia bisa dengan mudah membawa pergi.
Allice tak mau, dia terus meronta dan berteriak. “Tolong! Lepaskan!”
“Kamu siapa? Kamu akan membawaku kemana! Kamu tidak tau siapa aku! Lepas! Tolooong!”
Bukannya ada yang menolong. Dia justru mendengar suara tawa pria lain.
“Dapat barang bagusnya gampang banget!” ujar salah seorang.
“Jelas, dong. Dia masih baru kayaknya di sini.”
Lokasi samping klub sepi. Ini adalah klub baru, jadi security belum terlalu memahami situasi. Hal ini pun digunakan oleh orang-orang tak bertanggungjawam macam mereka.
Allice berfikir. Kalau meronta terus, tenaganya akan habis. Sedangkan dia sudah dibawa jauh dari lokasi entah dimana.
Dia pun lalu menggigit punggung pria itu sekuat tenaga.
“Aaaaargh! Sialan!” Pria jahat itu mengeram dan Allice langsung menendang hingga tubuhnya terjatuh bersamaan.
Kesempatan ini Allice gunakan untuk berlari.
“Hei! Jangan lari!”
“Kejar, jangan sampai lepas!”
Allice berlari penuh ketakutan. Dia tak tau ini ada dimana. Yang pasti jalanan nampak sangat sepi dan gelap.
Sampai di belakang dinding berlumur, Allice menghentikan langkahnya. Nafasnya tersenggal senggal sampai dia menekan perutnya yang terasa nyeri akibat terlalu lama berlari.
Tanpa disangka, pria itu kembali muncul.
“Mau kemana, Nona?” mata itu terlihat buas seakan ingin menerkam Allice saat ini juga.
“Abang temani, ya?" ucap satu pria lainnya menatap Allice dari atas sampai bawah.
Allice kembali berbalik hendak berlari di lain arah, tapi tangan kanannya sudah di cengkeram oleh pria itu.
“Lepaskan!! Kalian jangan macam macam!!” Allice berusaha melepas tangannya, namun sia sia. Tenaganya tidak cukup kuat melawan mereka.
“Kami tidak macam macam, hanya satu macam.”
Allice tidak menghiraukan jawaban itu, dia terus meronta ketika mereka menarik tangannya paksa ke arah gedung tua.
Tiba tiba hujan turun lebat. Hal itu sempat membuat konsentrasi para pemuda mengendur, kesempatan untuk Allice menendang bagian pangkal paha dua orang yang sedang menarik tangannya.
Saat tangan mereka beralih menekan bagian yang sakit. Allice segera berlari kembali ke jalan. Di tengah hujan yang sangat lebat dengan pandangan yang sangat minim, dia berusaha terhindar dari pemuda yang rupanya masih dapat mengejarnya.
Satu orang berhasil menangkap tubuhnya dari belakang.
“Lepaskan!! Tolong!! Tolong!!” Allice berteriak meronta entah siapa yang akan menolongnya yang pasti dia tidak mungkin melawan orang orang itu sendiri.
Saat pria itu hendak kembali menarik Allice ke dalam gedung tua, sorotan lampu mobil terlintas dari kejauhan. Kesempatan itu Allice gunakan untuk meronta sekuat tenaga supaya dia dapat terlihat oleh mobil yang melintas itu.
Rupanya tuhan masih melindungi wanita itu. Mobil berhenti tepat di depan Allice. Dalam keadaan buram karena derasnya air hujan. Dia dapat merasakan pemilik mobil itu berlari keluar menarik tangan pemuda yang mencengkeram tangan Allice.
Hingga Allice terhuyun jatuh ke aspal.
Dia tidak perduli apa yang terjadi dengan pria-pria tadi. Di pukul sampai mati pun tidak masalah. Allice hanya ketakutan. Dia beranjak lalu bersembunyi di balik mobil. Dia berjongkok menutup matanya rapat rapat. Sayup sayup terdengar suara rintihan dan teriakan dibalik bunyi hujan.
Allice hanya berdoa semoga teriakan itu berasal dari tiga pemuda itu. Jantungnya mulai semakin tidak karuan ketika dia sudah tidak lagi mendengar suara apapun.
Sampai sesuatu mengejutkannya. Bahunya kembali di sentuh oleh tangan kokoh.
“Lepaskan aku!! Kumohon jangan sentuh aku!!” teriak Allice memohon dan masih menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Miss Allice,” panggil pria itu memegang bahu Allice.Hanya saja suaranya terdam air hujan dan guntur. Allice juga masih ketakutan, hingga pikirannya tertuju pada penjahat-penjahat itu.“Ampun! Jangan sakiti aku!” tangis Allice masih belum berani membuka kedua tangannya yang menutupi wajah.“Allice! Hei!” Pria itu akhirnya berjongkok di depan Allice. Dia mengguncang keras bahu wanita itu.“Allice!” teriaknya lagi.Sampai Allice terkesiap, karena ada yang memanggil namanya. Dia perlahan membuka sela-sela jemari, mengintip tipis. Dia harus memastikan kalau di depannya memang orang yang dia kenal.Sampai sosok pria memakai jas putih basah kuyup itu nampak khawatir menatapnya.“He-Hexa?” Allice akhirnya menurunkan kedua tangan. Dia sedikit linglung, bagaimana bisa Hexa ada disini?Takut salah melihat, Allice menoleh ke belakang. Dia mencari para penjahat tadi.“Mereka sudah pergi,” ucap Hexa dengan suara keras.Benar, penjahat itu tentu sudah lari tunggang-langgang ketika kalah dari seran
Kepala Allice mulai pusing karena terlalu lama kedinginan. Bibirnya juga makin pucat dan gemetaran. Sebagai dokter, Hexa tentu paham kalau wanita di sampingnya itu sedang tidak baik-baik. Berulang kali pula Allice terdengar bersin-bersin lalu mengusap ujung hidung yang gatal. “Ada paracetamol di rumah?” tanya Hexa masih membawa mobilnya melintas cepat ke kawasan elite rumah Arsen. “Hem ...,” jawab Allice hanya mengangguk. “Maaf, kalau aku hanya bisa mengantarmu pulang. Karena aku tawarkan ganti pakaian di apartemen kamu tidak mau. Berhenti di toko baju pun, kamu tidak mau.” Pandangan Hexa sudah menuju gerbang rumah megah di depannya. Dia menekan klakson dua kali, barulah seorang satpam berlari memakai payung untuk membuka gerbang. Satpam itu tentu sudah mengenal mobil Hexa. Selain sahabat Arsen dari kecil, Hexa juga merupakan dokter keluarga. “Kamu tenang saja, aku bisa mengobati diriku sendiri,” jawab Allice. “Hemm ... ya. Aku tak pernah lupa kalau kamu lulusan S2 kedokteran.
Mata Arsen kembali terbuka ketika mendengar erangan dari mulut wanita yang tidur satu ranjang dengannya."Ma ... bawa aku ....”Ibu Allice sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Lalu kenapa Allice tiba-tiba minta dibawa? Hal itu yang membuat Arsen akhirnya menoleh ke posisi tidur Allice.Wanita itu memunggunginya, masih tergulung di dalam selimut.“Hei,” panggil Arsen. “Kau bisa diam?”Tak ada respon. Bahkan Allice cukup berisik untuk sekedar mengeluarkan nafas.Arsen mulai merasa ada yang tak beres. Dia memposisikan diri untuk duduk kemudian mengguncang ringan bahu Allice yang tertutup selimut tebal.“Allice?” panggil Arsen.Dengan ragu, tangan Arsen akhirnya berpindah menyentuh dahi Allice.Dia cukup terkesiap merasakan hawa panas di tubuh istrinya itu. “Demam.”Arsen menyingkap selimut. Dia turun dari ranjang lalu keluar mencari Bi Suci. Tapi karena ini sudah lewat tengah malam, suasana sudah sangat sepi. Tak mungkin Arsen membangunkan pelayannya apalagi Nadya untuk mengurus Allice.
Salah satu alis Hexa menukik saat mendengar perkataan Axton barusan.“Menginginkan istrimu?” Dokter itu mem-beo.“Hem,” sahut Arsen dingin.Hexa masih bingung. Dia melihat sosok sahabat di depannya dari atas sampai bawah guna mencari jawaban. Kemudian netranya beralih pada mobil Arsen yang parkir tak jauh darinya. Disana Nadya keluar dari mobil lalu memandangi Arsen, seolah sedang menunggu pria itu.“Kau datang dengan Nadya. Allice tidak masuk kerja? Apa dia sakit?” tanya Hexa.“Dia sakit karenamu, bukan? Ada janji temu dengannya semalam? Pergi kemana sampai hujan-hujanan basah kuyup lalu berpelukan di depan rumahku.” Arsen akhirnya mengutarakan kekesalannya.Ah!Hexa terkekeh ringan. Dia hampir tak percaya kalau rupanya Arsen sedang mempermasalahkan soal semalam.“Kau cemburu aku pulang bersamanya? Memangnya Nadya tidak cerita? Atau Allice, mungkin?” Hexa tentu ingat, kalau semalam Nadya yang membukakan pintu rumah.Hexa juga menceritakan apa yang terjadi dengan Allice, hingga dia bi
Arsen hanya memutar-mutar chip itu di jemarinya. Dia berfikir, apa perlu melihat bukti entah apalah itu yang tertangkap di mobil Hexa?Pria itu akhirnya memilih meletakkan chip di laci meja kerjanya. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.Tapi gangguan selalu saja ada. Sebuah telefon masuk ke ponselnya.Pak Burhan. Dia adalah pemilik Night Club sekaligus rekan bisnis yang mengundangnya untuk party bersama semalam.Karena dipastikan apa yang akan dibahas Pak Burhan adalah penting, Arsen pun langsung mengangkatnya.“Halo, Pak Burhan. Bagaimana?” tanya Arsen langsung ketika benda pipih itu menempel di daun telinganya. Sedangkan tangan kanannya sedang menggoreskan tinta untuk tanda tangan di atas berkas.“Tuan Arsen, sebelumnya saya ingin memohon maaf karena minimnya penjagaan dan CCTV club masih belum aktif,” ucap Pak Burhan merasa tak enak pada Arsen.Dahi Arsen berkerut tipis. Dia tentu tau kalau itu club masih baru berdiri seminggu yang lalu. Memang belum sepenuhnya jadi. Diibaratk
Ulang tahun Safira? Arsen memejamkan matanya erat, memarahi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa tanggal ulang tahun istri pertamanya itu?Setiap tahun, semasa hidup Safira. Dia selalu berpesan pada Arsen. Kalau Safira akan selalu merayakan ulang tahunnya di panti asuhan tempatnya dibesarkan dulu.Bahkan, setelah kematian sang istri. Arsen masih saja melakukan hal serupa. Dia datang ke panti asuhan. Bermain dengan anak panti, berbagi dan hal lainnya. Makam Safira juga dikubur dekat dengan panti, jadi Arsen biasanya kesana dengan ibu panti.“Maaf Safira, aku hampir saja lupa,” ucap Arsen bermonolog. Tapi sekarang masalahnya adalah, Arsen sudah berjanji pada anak-anak akan membawa mereka berlibur akhir pekan.Arsen menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Dia memejam sembari memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.Sampai dia menemukan sebuah keputusan.*** “Papa! Papa! Papa!” Anna melompat turun dari sofa ketika dia melihat Arsen baru dari arah ruang baca.Gadis kecil itu
“Apa aku bangun terlalu siang?” tanya Nadya ketika dia sampai di ambang pintu dapur. Allice berbalik membawa teflon berisi cah udang brokoli yang baru matang. Hingga sekilas dia bisa melihat Nadya disana. Gerakannya sempat terhenti sebelum menuangkan makanan itu ke wadah. Allice mengamati gaya berpakaian Nadya dari ujung kaki hingga kepala. Rok yang dipakai terlalu mini. Juga blazer itu terlalu ketat, hingga belahan dada Nadya terlihat menonjol. “Kau memakai baju kesempitan itu untuk bekerja?” tanya Allice kembali melanjutkan tujuannya, menuangkan sayuran. Nadya memperhatikan diri sendiri. “Ya, ada yang salah? Atau kamu iri tak bisa menonjolkan tubuh seksi sepertiku?” Allice tersenyum miring tanpa menghentikan kesibukannya di atas meja dapur. Yaitu mengisi dua kotak makan untuk bekal Anna dan juga Brian. “Untuk apa aku iri pada wanita sepertimu?” jawab Allice santai. “Wanita sepertiku?” beo Nadya merasa tak terima dengan dua kata yang tadi Allice ucapkan. Allice akhirnya kemba
Arsen tak tahan selama tiga hari ini Allice terus mengabaikannya. Dia pun menarik tangan wanita itu. Kemudian menahan pinggang serta tengkuk leher Allice. Dalam satu waktu, Arsen langsung menyerang bibir pink sang istri.“Mmmmh!” Allice terkejut, reflek mendorong dada Arsen. Tapi pria itu justru semakin memperdalam lumatan, meremas pinggang Allice. Serta menekan tengkuk leher wanita itu.Manis.Arsen merasakan itu.Apalagi ketika Allice tak lagi memberontak. Arsen terus melumat, meringankan tempo, namun dengan mata terpejam.Sebuah French kiss tak terencana. Ciuman yang sekedar gertakan dan hukuman. Kini justru cukup panas terpampang di area terbuka.Sampai Nadya yang berniat turun untuk mengambil minum, harus dikejutkan oleh tontonan itu.‘Apa-apaan ini?’ pekiknya dalam hati.Dengan perasaan kesal, Nadya kembali ke kamar yang yang terletak tak jauh dari kamar anak-anak.Hingga nafas keduanya hampir habis, Arsen baru melepas pagutannya.Tersadar, Allice pun langsung mendorong tubuh A
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady