Waktu menunjukkan pukul 9. Nadya begitu mantap datang ke klub malam bersama Darren.“Kamu sudah biasa masuk ke klub malam?” tanya Darren saat mobil yang dia kendarai berhenti di parkiran.“Dulu waktu Mba Safira masih ada. Dia selalu melarangku. Tapi waktu kuliah di luar negeri, mana mungkin aku menolak teman-temanku. Hanya bersenang-senang kan. Aku tidak melakukan hal buruk apapun,” ungkap Nadya kemudian dia keluar dari mobil lebih dulu.Suara dentuman musik DJ dan bau khas klub malam itu langsung menyambut kedatangan dua orang itu. Tak dipungkiri, kehidupan di Amerika jauh lebih mengerikan dibanding pemandangan di klub malam ini. Tapi setidaknya Nadya masih mengingat semua ceramah Safira semasa hidup. Kakaknya selalu mengajarkan mengenai pentingnya menjaga diri.Nadya tak pernah menjadi wanita nakal, yang kalau main ke klub malam hanya untuk mabuk dan bermain-main dengan pria-pria di dalamnya.Keduanya berhenti di meja kosong sudut klub. Seorang pelayan datang menawarkan apa saja yan
“Arsen!” panggil Allice keluar dari kamar mandi. Sosok itu tak ada. Dia mencari di walk in closet pun tak ada.“Dia pergi? Tidak lucu,” Allice tersenyum miris melihat dirinya yang sudah bersiap tapi pria itu masih tak muncul.Ketika hatinya mulai gondok, dia baru menyadari kalau pintu balkon terbuka. Angin dari luar berhembus menerpa tirai tipis sisi pintu balkon.Wanita itu berjalan ke arah sana. Ahhh ... hatinya lega. Ternyata Arsen sedang menelfon disana.“Aku sudah share lokasi hotelnya. Juga nomor kamar.”“Bawa dia ke apartemen. Kalian jangan macam-macam meski Nadya sedang mabuk berat.”“Hem, aku tunggu kabar terbaru kalian.”Setelah bicara dengan anak buahnya, Arsen mematikan telefonnya. Dia memang tidak ada rencana untuk datang menemui Nadya seperti yang sudah Darren laporkan.Dia tak mungkin meninggalkan Allice begitu saja. Apalagi ketika hubungan mereka baru saja membaik.“Nadya kenapa?”Suara Allice sukses membuat Arsen terjingkat. Dia menoleh ke samping dimana sang istri ba
Allice berpapasan dengan Nadya di depan kamar ketika dia sudah bersiap untuk pergi.“Kata bibi, kamu yang meminta Arsen membawaku ke rumah ini?” tanya Nadya.Ekspresinya masih terlihat tidak enak dipandang.“Ya,” jawab Allice singkat.“Oh, baguslah,” sahut Nadya.Allice menaikkan alis nya sedikit. Tidak ada terimakasih? Atau hal lain yang menunjukkan rasa bersalah karena sudah merepotkan.‘Dia masih sama, sedikitpun tak berubah,’ gumam Allice dalam hati.“Kalau sudah membaik, kamu bisa pulang bersama supir di depan. Jangan terlalu betah tinggal di rumah orang,” ucap Allice datar kemudian meninggalkan Nadya begitu saja.Meski semalam dia penasaran kenapa bisa Darren dan Nadya mabuk di kamar hotel. Kini Allice memilih cuek. Masa bodo apa yang terjadi. Yang penting sebagai sesama wanita dia sudah menyelamatkan Nadya yang tengah mabuk berat dari orang yang mungkin bisa berbuat buruk.Nadya mengedikkan bahunya melihat kepergian Allice.“Kalau sudah membaik? Itu artinya kalau belum membaik
Mata Allice mulai berembun menonton Safira yang kala itu tengah nyiapkan kamera. Sungguh dia sangat merindukan sahabatnya itu.Jemari lentik Allice pun tak kuasa untuk diam. Dia mengusap samar layar laptop tepat di wajah Safira.Allice masih ingat. Malam itu, seharusnya Arsen ada di kamar pengantin bersamanya. Kamar yang selama ini menjadi kamar utama tuan rumah bersama istri tercinta. Saat itu harus tergantikan oleh Allice sebagai istri kedua.Allice tak bisa diam di kamar menunggu Arsen yang entah ada dimana. Sesungguhnya Allice juga tidak berharap Arsen datang dan melakukan malam pertama seperti pasangan pengantin baru lainnya.“Ternyata malam itu kamu sibuk menyiapkan video untuk Arsen, Ra,” gumam Allice masih memandangi laptop. Dimana Safira mulai mengucapkan kalimat pembuka.Di video, Safira mulai bicara.“Hai, Arsen. Suamiku. Selamanya aku tetap mencintaimu. Aku minta maaf karena memaksamu untuk menikahi Allice. Aku percaya padanya. Dia adalah wanita pilihan yang akan menjadi p
Nadya benar-benar tidak ada niat untuk kembali ke apartemen. Apalagi dia belum sempat bertemu dengan Arsen. “Aku akan pergi kalau Arsen yang memintanya,” gumam Nadya sambil mengayunkan kaki yang sebagian masuk ke dalam air kolam. Sudah 15 menit Nadya menikmati suasana di tepian kolam sambil berandai-andai Arsen akan menghampiri lalu memeluknya. “Huh! Mba Safira. Kamu beruntung banget dicintai oleh pria macam dia. Pria paling sempurna yang pernah aku lihat.” Bibir Nadya tersenyum kecil teringat kebahagiaan yang Safira tunjukkan sejak menikah dengan Arsen. Tentu Nadya menjadikan kakak iparnya sebagai kiblat pria idamannya kelak. Namun, senyuman itu surut tatkala Nadya ingat kalau dia sering melihat Safira murung. Semakin terkejut, ketika dia mengetahui kalau Arsen akan menikah lagi dengan Allice karena kakaknya itu tidak bisa memberikan keturunan. “Penyebab utamanya memang kamu, Allice. Sungguh aku tidak akan pernah rela kamu bahagia di dunia ini.” Tangan Nadya mengepal kalau inga
Allice menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata di depan umum. Apalagi rumah sakit ini akan menjadi tempat kerjanya kelak.Baru saja kakinya melangkah keluar dari pintu lobi. Sebuah mobil berhenti di depannya.Darren, pria itu keluar dari bagian kemudi. Dia berputar hanya untuk membukakan pintu untuk Allice.“Masuk,” titahnya.Allice terdiam. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Darren memintanya masuk. Bahkan ekspresi pria itu terlihat serius. Tidak tengil seperti biasa.“Aku mendengar semuanya tadi. Kamu tidak mungkin menangis di pinggir jalan sendiri, kan? Atau kamu menunggu suamimu itu mengejar?”Pertanyaan terakhir dari Darren membuat Allice reflek menoleh ke belakang. Ya, sebenarnya begitu. Dia ingin Arsen menemuinya saat ini juga dan meminta maaf.Tapi tidak sosok itu tidak ada di belakangnya.“Kau ingat, saat suamimu tidak datang ke resto untuk merayakan ulang tahunmu? Kalau tidak bertemu denganku, kamu pasti akan menangis sepanjang jalan. Mau melakukan itu lagi?” Darren
Perasaan Allice campur aduk. Selama beberapa menit, dia sempat terduduk di lantai depan lemari. Dadanya sesak, kakinya juga lemah. Begitupun air matanya tak bisa berhenti sejak tadi.“Brian, Anna ... maafkan mama ....”Allice menangis hebat sampai harus membungkuk sambil menekan dadanya yang makin berdenyut. Apakah keputusannya pergi dari rumah ini adalah salah? Meninggalkan anak-anaknya tanpa pamit.Bahkan jika membayangkan bagaimana kesedihan Anna dan Brian setelah kembali dari Dubai. Membuat Allice tak sanggup untuk melanjutkan kenekatannya ini.Tapi tidak. Dia sudah terlalu sakit.Entah sampai kapan Arsen menuduhnya sebagai pembunuh. Padahal jelas-jelas dia memiliki buktinya.Allice menarik nafasnya dalam-dalam. Dia usap wajah basahnya.“Aku harus pergi.”Allice susah payah menekan kesedihannya. Dia kembali memasukkan barang-barang yang dibutuhkan ke dalam koper. Termasuk figura kecil dengan gambar kedua anaknya disana.Semua Allice lakukan dengan cepat sebelum Bibi Suci kembali d
Tubuh Arsen terhempas ke kanan setelah mobilnya ditabrak oleh taksi dari samping. Lebih tepatnya, sebuah kecelakaan kecil akibat supir Arsen berhenti menghalangi jalan si taksi itu.“Tuan? Anda tidak apa-apa?”Pertanyaan supirnya itu tidak Arsen hiraukan. Dia menahan lengannya yang sedikit berdenyut dan bergegas keluar dari mobil.“Ada apa ini? Kenapa Anda tiba-tiba mengejar dan menghentikan saya?” Supir Taksi keluar dengan rasa bingung. Apa dia akan dijambret atau justru sebaliknya.“Mana istriku?”Arsen buru-buru membuka pintu penumpang. Tapi dia tak menemukan siapapun. Bahkan Arsen sampai terdiak sekian detik memperhatikan kursi depan ataupun belakang.Barang-barang milik Allice pun tidak ada.“Mana istriku?” Arsen kembali mendekati supir taksi sambil menunjuk ke arah bagian dalam taksi.Sang supir mengerutkan keningnya. Lalu dia jadi ingat. “Oooh, mba-mba cantik yang bawa koper?”“Iya, dimana dia?” tanya Arsen mengejar.“Tadi, setelah keluar dari kawasan elite, mba itu minta saya