Mata Allice mulai berembun menonton Safira yang kala itu tengah nyiapkan kamera. Sungguh dia sangat merindukan sahabatnya itu.Jemari lentik Allice pun tak kuasa untuk diam. Dia mengusap samar layar laptop tepat di wajah Safira.Allice masih ingat. Malam itu, seharusnya Arsen ada di kamar pengantin bersamanya. Kamar yang selama ini menjadi kamar utama tuan rumah bersama istri tercinta. Saat itu harus tergantikan oleh Allice sebagai istri kedua.Allice tak bisa diam di kamar menunggu Arsen yang entah ada dimana. Sesungguhnya Allice juga tidak berharap Arsen datang dan melakukan malam pertama seperti pasangan pengantin baru lainnya.“Ternyata malam itu kamu sibuk menyiapkan video untuk Arsen, Ra,” gumam Allice masih memandangi laptop. Dimana Safira mulai mengucapkan kalimat pembuka.Di video, Safira mulai bicara.“Hai, Arsen. Suamiku. Selamanya aku tetap mencintaimu. Aku minta maaf karena memaksamu untuk menikahi Allice. Aku percaya padanya. Dia adalah wanita pilihan yang akan menjadi p
Nadya benar-benar tidak ada niat untuk kembali ke apartemen. Apalagi dia belum sempat bertemu dengan Arsen. “Aku akan pergi kalau Arsen yang memintanya,” gumam Nadya sambil mengayunkan kaki yang sebagian masuk ke dalam air kolam. Sudah 15 menit Nadya menikmati suasana di tepian kolam sambil berandai-andai Arsen akan menghampiri lalu memeluknya. “Huh! Mba Safira. Kamu beruntung banget dicintai oleh pria macam dia. Pria paling sempurna yang pernah aku lihat.” Bibir Nadya tersenyum kecil teringat kebahagiaan yang Safira tunjukkan sejak menikah dengan Arsen. Tentu Nadya menjadikan kakak iparnya sebagai kiblat pria idamannya kelak. Namun, senyuman itu surut tatkala Nadya ingat kalau dia sering melihat Safira murung. Semakin terkejut, ketika dia mengetahui kalau Arsen akan menikah lagi dengan Allice karena kakaknya itu tidak bisa memberikan keturunan. “Penyebab utamanya memang kamu, Allice. Sungguh aku tidak akan pernah rela kamu bahagia di dunia ini.” Tangan Nadya mengepal kalau inga
Allice menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata di depan umum. Apalagi rumah sakit ini akan menjadi tempat kerjanya kelak.Baru saja kakinya melangkah keluar dari pintu lobi. Sebuah mobil berhenti di depannya.Darren, pria itu keluar dari bagian kemudi. Dia berputar hanya untuk membukakan pintu untuk Allice.“Masuk,” titahnya.Allice terdiam. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Darren memintanya masuk. Bahkan ekspresi pria itu terlihat serius. Tidak tengil seperti biasa.“Aku mendengar semuanya tadi. Kamu tidak mungkin menangis di pinggir jalan sendiri, kan? Atau kamu menunggu suamimu itu mengejar?”Pertanyaan terakhir dari Darren membuat Allice reflek menoleh ke belakang. Ya, sebenarnya begitu. Dia ingin Arsen menemuinya saat ini juga dan meminta maaf.Tapi tidak sosok itu tidak ada di belakangnya.“Kau ingat, saat suamimu tidak datang ke resto untuk merayakan ulang tahunmu? Kalau tidak bertemu denganku, kamu pasti akan menangis sepanjang jalan. Mau melakukan itu lagi?” Darren
Perasaan Allice campur aduk. Selama beberapa menit, dia sempat terduduk di lantai depan lemari. Dadanya sesak, kakinya juga lemah. Begitupun air matanya tak bisa berhenti sejak tadi.“Brian, Anna ... maafkan mama ....”Allice menangis hebat sampai harus membungkuk sambil menekan dadanya yang makin berdenyut. Apakah keputusannya pergi dari rumah ini adalah salah? Meninggalkan anak-anaknya tanpa pamit.Bahkan jika membayangkan bagaimana kesedihan Anna dan Brian setelah kembali dari Dubai. Membuat Allice tak sanggup untuk melanjutkan kenekatannya ini.Tapi tidak. Dia sudah terlalu sakit.Entah sampai kapan Arsen menuduhnya sebagai pembunuh. Padahal jelas-jelas dia memiliki buktinya.Allice menarik nafasnya dalam-dalam. Dia usap wajah basahnya.“Aku harus pergi.”Allice susah payah menekan kesedihannya. Dia kembali memasukkan barang-barang yang dibutuhkan ke dalam koper. Termasuk figura kecil dengan gambar kedua anaknya disana.Semua Allice lakukan dengan cepat sebelum Bibi Suci kembali d
Tubuh Arsen terhempas ke kanan setelah mobilnya ditabrak oleh taksi dari samping. Lebih tepatnya, sebuah kecelakaan kecil akibat supir Arsen berhenti menghalangi jalan si taksi itu.“Tuan? Anda tidak apa-apa?”Pertanyaan supirnya itu tidak Arsen hiraukan. Dia menahan lengannya yang sedikit berdenyut dan bergegas keluar dari mobil.“Ada apa ini? Kenapa Anda tiba-tiba mengejar dan menghentikan saya?” Supir Taksi keluar dengan rasa bingung. Apa dia akan dijambret atau justru sebaliknya.“Mana istriku?”Arsen buru-buru membuka pintu penumpang. Tapi dia tak menemukan siapapun. Bahkan Arsen sampai terdiak sekian detik memperhatikan kursi depan ataupun belakang.Barang-barang milik Allice pun tidak ada.“Mana istriku?” Arsen kembali mendekati supir taksi sambil menunjuk ke arah bagian dalam taksi.Sang supir mengerutkan keningnya. Lalu dia jadi ingat. “Oooh, mba-mba cantik yang bawa koper?”“Iya, dimana dia?” tanya Arsen mengejar.“Tadi, setelah keluar dari kawasan elite, mba itu minta saya
Seorang wanita cantik dengan setelan kaos crop navy yang dibalut coat jaket berwarna broken white baru saja keluar dari pintu utama Bandara Internasional Wellington, New Zealand.Sambil menggeret sebuah koper sky blue-nya, Allice tersenyum begitu mendapati lambaian tangan dari seorang pria yang sudah menunggu di ujung sana. Yeah, tadi Darren mendahului karena harus menerima telefon katanya. Sedangkan Allice mampir ke toilet lebih dulu.Allice menghampiri dan segera menyapanya, "Maaf ya aku kelamaan. Tadi koperku hampir saja tertukar dengan orang lain di depan toilet."Lengkungan sabit di wajah pria berbaju denim itu muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan Darren, pria hangat dengan sikap lembutnya itu."Hei, santai saja, Allice. Masih untung kamu tidak dibawa oleh duda kaya," canda Darren yang segera mengambil alih koper Allice dan memasukkan ke bagasi mobil.Setelahnya, tangan Darren membukakan pintu untuk Allice. "Ayo masuk. Kamu pasti lelah karena flight yang panjang ini.""Bukan hanya
"Darren? Kamu sudah pulang, Sayang?" sapa Geraldine begitu melihat pria berkemeja formal yang masuk memegang jas putih kebesarannya dari arah klinik. Darren, pria itu sama sekali tak menggubris. Langkahnya lurus dan raut wajahnya setia datar. Terlalu malas basa-basi. "Apa kau tidak punya telinga? Ibumu sedang bertanya, Darren!" Sebuah suara dengan nada meninggi itu refleks menghentikan ayunan kaki Darren. Arah pandangnya pun tertuju pada sosok pria paruh baya yang selalu memasang wajah arogan itu. "Ibu? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan aku punya ibu seperti dia?" Darren tersenyum sinis. Mendengar jawaban Darren yang seolah meyelepekan posisi sang istri, Raymond seketika berang. Dia bangkit dan menatap bengis putranya itu. "Kau?! Berani-beraninya berkata seperti itu?? Di mana sopan santunmu?!" sentak Raymond sambil mengacungkan telunjuk ke arah Darren. Sebelah alis Darren terangkat, seakan menantang sang ayah yang menurutnya telah salah mendewakan wanita. "Kenapa? Aku han
Arsen menatap ponselnya yang berdering sejak tadi. Jemarinya nampak ragu untuk mengangkat. Namun, kalau tidak dijawab pasti akan menimbulkan masalah baru lagi. Pria itu menarik nafasnya dan akhirnya menekan tombol hijau. Perasaan Arsen sudah tak enak. Apalagi ketika panggilan suara akhirnya terhubung dan sapaan dari dua bocah yang tak lain Brian dan Anna mengalun penuh semangat. "Papaa!" Arsen yang awalnya sudah kusut seperti karpet terinjak-injak mau tak mau melukis senyum paksa. Untung ini bukan video call. "Hai, anak Papa yang cantik dan ganteng. Kalian berdua happy kan di sana?" Suara cempreng Anna menyahut kilat, "Very happy, Pa! Di sini banyak mainan sama bisa berenang di pantai loh. Anna suka sekali!" "Brian juga senang, Pa. Oma dan Opa ajak kita jalan-jalan terus," timpal Brian mendukung jawaban Anna tadi. Mendengar kekompakan Anna juga Brian, Arsen kali ini menghela napas lega. "Syukurlah kalau kalian menikmati liburannya." "Arsen," panggil Imelda yang tiba-tiba menga