Haiii, sampai bab ini menurut kamu gimana? Terlalu ringan kah konfliknya? Salam sayang yaaa buat kamu yang masih stay disini untuk kisah Arsen Allice. Love Kaliaan ...
Pagi hari, Allice bangun di jam biasa. Mata ngantuknya menatap sisi ranjang. Kosong. Bahkan terakhir Allice memilih untuk tidur, Arsen masih belum juga pulang.“Dia tak pulang?” pikirnya.Allice mengucek matanya yang masih belum segar. Saat beranjak, Eleana melihat sesuatu yang aneh dalam pelukannya.“Lho, bonekaku?”Dia sangat terkesiap. Bahkan Allice sampai menjauhkan boneka kelinci yang kini berubah bentuk.“Kenapa jadi bentuknya besar begini?” Allice melihat ke kanan dan kiri. Mungkin boneka yang Darren dapat dari mesin capit ada di tempat lain. Tapi tak ada.Hanya ada boneka berukuran setengah tubuh Allice. Dengan bentuk kelinci dan warna yang sama persis seperti versi kecil sebelumnya.Allice akhirnya mengecek boneka itu. Membolak balikkan mungkin dia menemukan jawaban. Tapi tak ada.“Arsen? Pasti dia yang mengganti bonekanya.”Allice beranjak dari ranjang. Kondisinya pagi ini sudah membaik. Jadi dia bisa bergerak cepat memeluk boneka besar itu keluar kamar.Tujuan dia adalah Bi
Allice mengarahkan kamera ponsel Arsen ke arah wajah si pemilik sebagai face unlock. Baru kemudian wanita itu membuka room chat.“Bisa-bisanya dia terus seperti ini,” gerutu Allice lirih membaca kata demi kata pesan itu.Nadya, nama itu terpampang disana. Wanita itu mengirim satu bubble dengan isi pesan yang sangat panjang. Ditambah satu foto tisue yang terdapat noda darah.Pada intinya, Nadya mencari simpatik Arsen. Dia mengatakan pusing, hidungnya kembali mimisan dan menginginkan Arsen datang ke apartemen.‘Nadya terkena kanker darah?’ bisik Allice dalam hati ketika membaca semua curhatan Nadya.Dia pun teringat penyakit yang Safira alami hingga sampai pada stadium akhir dan meninggal. Tidak dipungkiri, faktor genetik menjadi pemicu Nadya untuk mendapatkan penyakit yang sama.Allice memandang wajah Arsen yang masih tertidur. Apa sebergantung itu Nadya pada Arsen? Hingga perkara pusing saja harus laporan pada Arsen.Karena penasaran, Allice menggulit ke atas pesan yang Nadya kirim. B
Arsen berusaha untuk melaksanakan apa yang dia janjikan pada Allice. Yaitu menjauhi Nadya. Oleh karenanya, dia bukan membalas pesan Nadya ketika gadis itu terus merengek sakit. Melainkan Darren.Dia sudah membayar biaya untuk menjadikan Darren sebagai dokter pribadi Nadya. Dimana sang dokter bisa datang ke apartemen untuk memeriksa pasien ketika tidak jadwal Darren praktek di rumah sakit.Di dalam apartemen, Nadya sungguh merasa bosan. Dia sudah ingin ke kantor. Setidaknya dia bisa bertemu dengan Arsen dan memiliki kegiatan.Namun, Arsen hanya memberikan tugas supaya Nadya bisa Work from Home.Nadya menghela nafasnya merenggangkan jemarinya yang kaku karena sejak tadi berkutat di depan laptop. Dia lirik ponsel yang tergeletak di samping. Tak ada balasan apapun dari Arsen.Padahal dia sudah mengirim ulang foto hidungnya yang mimisan. Tapi masih diabaikan.Hingga detik berikutnya, bel apartemen berbunyi. Seketika senyuman Nadya mengembang sempurna.“Mas Arsen?”Gadis itu beranjak dari k
Hari ke 3 setelah Allice keluar dari rumah sakit, wanita itu ada jadwal kontrol. Dengan ditemani sang suami, Allice duduk di kursi tunggu sementara Arsen mengurus pendaftarannya.“Wih, ada mantan sendirian, nih!”Siapa lagi kalau bukan Darren yang berani seperti itu pada Allice.Wanita bergaun navy itu mendongak, mengukuti pergerakan Darren yang memilih duduk di sampingnya.“Sepertinya lama-lama aku bosan bertemu denganmu. Seolah dimana-mana kamu ada,” ujar Allice menatap santai.Darren tersenyum pongah. “Aku jelas selalu ada untuk istri yang feeling lonely sepertimu.”Allice hanya berdecih samar sambil tersenyum untuk menanggapi pria jago gombal macam Darren.“Aku serius, Allice. Kalau sampai suamimu bertipe kulkas 10 pintu itu macam-macam. Aku yang akan datang sebagai malaikat tak bersayap untukmu.” Ucapan Darren serius, tapi ekspresinya selalu saja nampak tengil.Allice sudah mau menjawab, namun dia lebih dulu melihat Arsen mendekat dengan ekspresi khas cemburunya.“Apa setelah suk
Allice mengangguk sambil mengusap air matanya. “Aku sayang ayah. Doakan aku bisa menemukan bukti. Meski aku sendiri tidak tau apa yang bisa aku buktikan nanti.”“Tentu, Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Allice. Tapi, mungkin Arsen bisa berubah, Sayang. Dia sepertinya ingin lebih dekat dengan kita.”Perkataan Satria membuat Allice mengerutkan keningnya. “Kenapa, Yah?”“Ayah terkejut karena kemarin lusa Arsen tiba-tiba mengirim dana ke perusahaan papa sebesar 5 milyar. Memang, ayah sedang butuh untuk modal proyek besar yang sedang ayah bangun. Tapi selama ini ayah tidak pernah memintanya apapun juga membicarakan soal kebutuhan perusahaan. Tapi dia sudah tau sendiri,” ungkap Satria,Allice diam sesaat, mengingat sikap Arsen yang berubah-ubah. “Dia memang membingungkan, Ayah. Aku sering kali tertipu oleh sikapnya.”“Semoga kamu masih bisa bertahan sedikit lagi. Ayah yakin Arsen akan melunak. Tapi kalau kamu menyerah, Ayah akan langsung menjemputmu.”Meski bicara melalui telefon
Kedatangan Allice di rumah lama Arsen disambut oleh dua orang pelayan. Wanita itu tersenyum dengan hangat. Berdiri sejenak di depan mereka.“Bagaimana kabar kalian?” tanya Allice hanya basa basi.“Baik, Nyonya. Kami selalu menanti kedatangan Anda atau pun Tuan Arsen,” jawab salah seorang pelayan.“Iya, kami juga ingin melayani bukan hanya sekedar membersihkan,” sahut salah satunya lagi.Allice terkekeh ringan. “Oke, kalau begitu layani aku dengan baik.”“Tentu, Nyonya.” Mereka membuka pintu lebih lebar lagi, mempersilahkan Allice untuk masuk.Langkah nyonya rumah begitu anggun, menapaki marmer berwarna silver. Sembari melihat kondisi sekitar.“Kalian merawa rumah ini dengan baik. Apa kalian tinggal disini?” tanyanya tanpa menghentikan langkah.Allice berjalan lamban sambil menyentuh apa yang dia lewati, seperti guci atau bunga di dalam vas.“Tidak setiap hari, Nyonya. Kami hanya rutin membereskan setiap tiga hari sekali,” jawab pelayan tersebut.Allice mengangguk.Langkahnya lalu terh
Allice hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara bariton dari belakangnya. Dia berbalik dan menemui Arsen tengah berjalan masuk.“K-Kamu? Apa tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu?” protes Allice.Alih-alih menjawab, Arsen justru merebut ponsel Allice dan melihat layar benda pipih itu.“Hexa?” ejanya membaca nama yang tertera disana.Kemudian Arsen menempelkan ponsel itu ke daun telinganya. Sedangnya netranya masih penuh selidik memperhatikan ekspresi Allice yang sedikit panik.“Hei? Kenapa diam?” tanya Hexa dari sambungan telefon.“Sedang apa malam-malam begini menggoda istri orang, hem?”“Ow, ow, ow, si pawang datang. Hahaha!”Arsen berdecak. Dia cemburu kalau Allice bicara dengan pria siapapun itu. Terlalu banyak bercanda dengan Lucas, papanya saja dia cemburu.“Kalian sedang bicara apa? Bukti apa yang kalian maksud?” cecar Arsen tak suka.Allice tidak mau kalau Hexa sampai keceplosan. Bisa saja kan sahabat Arsen itu tak tega lalu membeberkan soal penemuan ponsel Safi
“Bercerai, ayo bercerai.”“Kamu ingin kita berpisah?” tanya Arsen menanggapi permintaan Allice.Wanita itu mengangguk. Tapi dia terdiam sejenak.Mata sayunya memandang pria yang sedang menggendongnya pergi dari bar room.“Engg .... Tidak. Aku mencintaimu. Engg ... aku membencimu dulu. Tapi lama-lama mencintaimu. Tapi kamu selalu begitu.”Allice masih mabuk, bibirnya juga mengerucut mengingat dia sangat kesal pada Arsen.Kemudian dia menyandarkan kepalanya di bahu Arsen. Bahu kekar dan nyaman.“Kamu dan Nadya. Kalian membuatku menderita. Aku benci kalian. Tapi aku mencintaimu ....”“Aku akan tunjukkan kalau aku tidak membunuh Safira.”“Safira itu dibunuh oleh penyakitnya, bukan dibunuh olehku ....”Racauan Allice yang terakhir membuat Arsen menghentikan langkahnya.“Penyakit?” tanyanya mengerutkan keningnya tajam, menunduk menatap istrinya.Allice hanya menghela nafas panjang. “Aku pusing. Aku benci. Bisa-bisa aku mati berpenyakit kalau kamu terus begini.”Arsen masih memikirkan perkat
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady