Hari ke 3 setelah Allice keluar dari rumah sakit, wanita itu ada jadwal kontrol. Dengan ditemani sang suami, Allice duduk di kursi tunggu sementara Arsen mengurus pendaftarannya.“Wih, ada mantan sendirian, nih!”Siapa lagi kalau bukan Darren yang berani seperti itu pada Allice.Wanita bergaun navy itu mendongak, mengukuti pergerakan Darren yang memilih duduk di sampingnya.“Sepertinya lama-lama aku bosan bertemu denganmu. Seolah dimana-mana kamu ada,” ujar Allice menatap santai.Darren tersenyum pongah. “Aku jelas selalu ada untuk istri yang feeling lonely sepertimu.”Allice hanya berdecih samar sambil tersenyum untuk menanggapi pria jago gombal macam Darren.“Aku serius, Allice. Kalau sampai suamimu bertipe kulkas 10 pintu itu macam-macam. Aku yang akan datang sebagai malaikat tak bersayap untukmu.” Ucapan Darren serius, tapi ekspresinya selalu saja nampak tengil.Allice sudah mau menjawab, namun dia lebih dulu melihat Arsen mendekat dengan ekspresi khas cemburunya.“Apa setelah suk
Allice mengangguk sambil mengusap air matanya. “Aku sayang ayah. Doakan aku bisa menemukan bukti. Meski aku sendiri tidak tau apa yang bisa aku buktikan nanti.”“Tentu, Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Allice. Tapi, mungkin Arsen bisa berubah, Sayang. Dia sepertinya ingin lebih dekat dengan kita.”Perkataan Satria membuat Allice mengerutkan keningnya. “Kenapa, Yah?”“Ayah terkejut karena kemarin lusa Arsen tiba-tiba mengirim dana ke perusahaan papa sebesar 5 milyar. Memang, ayah sedang butuh untuk modal proyek besar yang sedang ayah bangun. Tapi selama ini ayah tidak pernah memintanya apapun juga membicarakan soal kebutuhan perusahaan. Tapi dia sudah tau sendiri,” ungkap Satria,Allice diam sesaat, mengingat sikap Arsen yang berubah-ubah. “Dia memang membingungkan, Ayah. Aku sering kali tertipu oleh sikapnya.”“Semoga kamu masih bisa bertahan sedikit lagi. Ayah yakin Arsen akan melunak. Tapi kalau kamu menyerah, Ayah akan langsung menjemputmu.”Meski bicara melalui telefon
Kedatangan Allice di rumah lama Arsen disambut oleh dua orang pelayan. Wanita itu tersenyum dengan hangat. Berdiri sejenak di depan mereka.“Bagaimana kabar kalian?” tanya Allice hanya basa basi.“Baik, Nyonya. Kami selalu menanti kedatangan Anda atau pun Tuan Arsen,” jawab salah seorang pelayan.“Iya, kami juga ingin melayani bukan hanya sekedar membersihkan,” sahut salah satunya lagi.Allice terkekeh ringan. “Oke, kalau begitu layani aku dengan baik.”“Tentu, Nyonya.” Mereka membuka pintu lebih lebar lagi, mempersilahkan Allice untuk masuk.Langkah nyonya rumah begitu anggun, menapaki marmer berwarna silver. Sembari melihat kondisi sekitar.“Kalian merawa rumah ini dengan baik. Apa kalian tinggal disini?” tanyanya tanpa menghentikan langkah.Allice berjalan lamban sambil menyentuh apa yang dia lewati, seperti guci atau bunga di dalam vas.“Tidak setiap hari, Nyonya. Kami hanya rutin membereskan setiap tiga hari sekali,” jawab pelayan tersebut.Allice mengangguk.Langkahnya lalu terh
Allice hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara bariton dari belakangnya. Dia berbalik dan menemui Arsen tengah berjalan masuk.“K-Kamu? Apa tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu?” protes Allice.Alih-alih menjawab, Arsen justru merebut ponsel Allice dan melihat layar benda pipih itu.“Hexa?” ejanya membaca nama yang tertera disana.Kemudian Arsen menempelkan ponsel itu ke daun telinganya. Sedangnya netranya masih penuh selidik memperhatikan ekspresi Allice yang sedikit panik.“Hei? Kenapa diam?” tanya Hexa dari sambungan telefon.“Sedang apa malam-malam begini menggoda istri orang, hem?”“Ow, ow, ow, si pawang datang. Hahaha!”Arsen berdecak. Dia cemburu kalau Allice bicara dengan pria siapapun itu. Terlalu banyak bercanda dengan Lucas, papanya saja dia cemburu.“Kalian sedang bicara apa? Bukti apa yang kalian maksud?” cecar Arsen tak suka.Allice tidak mau kalau Hexa sampai keceplosan. Bisa saja kan sahabat Arsen itu tak tega lalu membeberkan soal penemuan ponsel Safi
“Bercerai, ayo bercerai.”“Kamu ingin kita berpisah?” tanya Arsen menanggapi permintaan Allice.Wanita itu mengangguk. Tapi dia terdiam sejenak.Mata sayunya memandang pria yang sedang menggendongnya pergi dari bar room.“Engg .... Tidak. Aku mencintaimu. Engg ... aku membencimu dulu. Tapi lama-lama mencintaimu. Tapi kamu selalu begitu.”Allice masih mabuk, bibirnya juga mengerucut mengingat dia sangat kesal pada Arsen.Kemudian dia menyandarkan kepalanya di bahu Arsen. Bahu kekar dan nyaman.“Kamu dan Nadya. Kalian membuatku menderita. Aku benci kalian. Tapi aku mencintaimu ....”“Aku akan tunjukkan kalau aku tidak membunuh Safira.”“Safira itu dibunuh oleh penyakitnya, bukan dibunuh olehku ....”Racauan Allice yang terakhir membuat Arsen menghentikan langkahnya.“Penyakit?” tanyanya mengerutkan keningnya tajam, menunduk menatap istrinya.Allice hanya menghela nafas panjang. “Aku pusing. Aku benci. Bisa-bisa aku mati berpenyakit kalau kamu terus begini.”Arsen masih memikirkan perkat
“Lalu bagaimana keadaannya?” tanya Allice karena Arsen hanya menatapnya tanpa menjawab Darren.“Allice?” Darren memastikan suara wanita di telefonnya.“Iya ini aku. Nadya dia dimana sekarang?”“Masih di apartemen. Aku sudah menyuntikkan obat penenang. Dia sedang tidur dan tangannya sudah aku obati.”Allice kembali menatap Arsen. “Oke, kalau begitu Arsen akan datang.”“Aku tidak akan datang,” sela Arsen tegas.Ada rasa senang ketika Arsen menjawab begitu. Namun Allice sama sekali tidak menunjukkan perubahan ekspresinya.“Jadi?” tanya Darren.“Lakukan saja apa yang seharusnya dokter lakukan. Mengenai apa yang aku bicarakan pada Nadya, itu privasiku. Dan aku yakin, kamu pun akan melakukan hal sama jika ada di posisiku,” jawab Arsen.Terdengar helaan nafas pasrah Darren di telefon. “Hhhhh! Baiklah. Aku akan meninggalkan dia di apartemen.”Telefon berakhir karena Arsen yang mematikan panggilan. Dia letakkan benda pipih itu asalan lalu fokusnya kembali pada Allice.Wanita itu nampak tak per
“Kejam sekali,” gumam Allice saat dia sudah dalam perjalanan pulang.Arsen menghentikan gerakan jemarinya yang sedang melihat diagram laba bulanan. Dia menoleh, melihat Allice bicara sambil menatap ke arah depan.“Siapa?” tanya sang suami.“Keluarga Safira,” jawab Allice.Obrolan Bu Hasna singkat. Ibu Panti hanya mengatakan soal kedatangan Abang Safira. Sayangnya, si abang itu sama sekali tidak menunjukkan identitas. Dia hanya membawa akta kelahiran asli Safira sebagai bukti.“Tapi kenapa dia tidak membicarakan soal Nadya, ya? Bukannya Safira dan Nadya kakak beradik?” tanya Allice.Arsen menggeleng. “Mereka bukan saudara kandung. Mereka hanya dekat karena berada di panti yang sama. Lalu saling melengkapi dan dekat layaknya kakak beradik. Tapi Safira selalu mengatakan kalau dia kakak kandung. Supaya Nadya tidak merasa sedih.”Ah, Allice baru tau. Dia kira penyakit kanker darah yang Nadya derita karena faktor genetik sebab Safira juga mengalami hal yang sama.***Suasana rumah Arsen kem
“Hati-hati Pak Dokter.” Hexa melempar tisue ke pangkuan Darren.Darren hanya bisa mengumpat. Bisa-bisanya dia tersedak sambil cangkir di tangannya oleng dan isinya terciprak ke pakaiannya.Pria berwajah bule itu mengambil banyak tisue dan mengelap kaos merahnya yang kotor karena kopi.“Mikir apa, sih? Cewek?” ledek Hexa.“Sesama jomblo jangan suka nyindir. Minimal punya mantan lah yang bisa dikangenin,” sahut Darren tersenyum tengil.“Jiwa iblismu harus di rantai. Jangan sampai kangen mantan yang sudah bersuami. Mereka lagi hangat-hangatnya.” Hexa menaik turunkan kedua alisnya saat Darren menatapnya dengan kesal.“Paling juga sebentar lagi bertengkar. Arsen pria labil,” jawab Darren.Hexa hanya terkekeh dan mengabaikan Darren. Teman kerjanya memang suka asal bicara seperti itu. Dia kembali melihat Bobby yang baru kembali dari dalam mengambil alat untuk membuka ponsel jadul tersebut.“Bagaimana? Kira-kira aku bisa kesini berapa hari lagi?” tanya Hexa.“Mungkin tiga hari,” jawab Bobby m