LIMA TAHUN KEMUDIAN
“Brian! Anna! Sarapannya sudah siap!”
Suara teriakan itu khas terdengar setiap pagi.
Allice menata meja makannya. Rambut panjangnya dia gelung. Apron juga belum sempat dia lepas. Meski begitu, wajahnya tetap bersinar dan cantik tanpa make up sekalipun.
Lima tahun berlalu, hampir lima tahun pula Allice memiliki sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan, anak dari Arsenio Mahardika. Lelaki yang masih menjadi suaminya saat ini.
Ya, setelah dia melahirkan tanpa didampingi Arsen. Bertarung nyawa sendirian di ruang bersalin. Allice pikir, dia bisa terlepas dari pria yang pernah berkata akan menceraiakannya setelah memberikan anak.
Tapi nyatanya, sampai detik ini, Arsen masih menjeratnya begitu erat dengan status istri sekaligus pembunuh.
Kehadiran dua bayi lucu itu di rumah megah sang CEO sama sekali tak merubah sifat dan sikap dingin Arsen terhadap Allice.
Meski begitu, Brian dan Brianna adalah satu-satunya alasan Allice bertahan dalam nerakanya Arsen.
“Aduh, dimana ini anak-anak.”
Allice akhirnya melepas apron berwarna pink motif Hello Kitty. “Bi, aku akan naik ke kamar anak-anak. Tolong ambilkan sup salmon-nya masih di dapur,” ucapnya lembut.
“Baik, Nyonya.”
Sikap Allice yang baik membuat pelayan disana ikut melayani dengan senang hati. Allice juga jarang marah-marah kecuali pada kesalahan yang cukup fatal.
Kini, wanita itu naik ke lantai dua. Sayangnya, langkahnya melambat saat bertepatan dengan Arsen yang turun membawa tas kerjanya.
Pria itu sudah rapi memakai jas lengkap. Aroma citrus juga langsung menguar begitu seksi di indra penciuman Allice.
Seharusnya, Arsen memberikan senyuman juga sapaan selamat pagi. Tapi mana pernah. Bahkan sang suami langsung melewati Allice tanpa melirik sedikitpun.
“Arsen!” panggil Allice pada akhirnya.
Mereka berdua pun akhirnya sama-sama berbalik. “Aku berangkat,” ucapnya dingin.
“Aku sudah membuatkan sarapan kesukaanmu,” ujar Allice.
“Aku makan di kantor,” jawab Arsen seraya berbalik dan hendak pergi.
“Papa!” Panggilan kecil dari malaikat tercintanya membuat Arsen kembali menghentikan langkahnya yang baru saja menginjak marmer lantai satu.
Brianna atau biasa dipanggil Anna itu adalah gadis kecil yang ceria. Dia berlari menuruni anak tangga dengan cepat. Hingga kucir pita di kanan dan kiri kepalanya berayun-ayun. Sesampainya di tangga terakhir dia langsung melompat ke tubuh Arsen. Untung saja sang ayah bisa langsung menangkap dan membawanya ke gendongannya.
“Cantik sekali anak Papa.” Bibir Arsen tersenyum lebar. Dia bahkan menciumi wajah gadis kecilnya itu.
Ya, kalau dengan anak-anaknya Arsen bisa memberikan sisi lembut, senyuman terbaik serta pelukan ternyaman.
“Harum juga,” sambungnya setelah menghabisi setiap sudut wajah Brianna.
“Karena aku punya Mama yang cantik, jadi aku harus cantik juga,” ujar Anna.
Arsen tak merespon itu, dia hanya melirik samar pada wanita yang masih bergeming di tempat. Meski diakui, Allice adalah wanita cantik. Tapi baginya wanita tercantik adalah Safira.
“Ayok, makan. Aku ingin disuapi Papa!” Anna menunjuk ke ruang makan yang ada di samping kiri tangga.
“Kamu makan dengan Brian saja. Papa harus ke kantor sekarang,” sahut Arsen.
Wajah sumringah Anna pun meredup. "Papa tak ingin makan denganku? Papa ngga sayang sama aku?"
"Hai, Baby. Papa hanya ingin cepat-cepat ke kantor." Arsen rasanya enggan harus makan bersama Allice.
Anna mendengus kesal. Dia bahkan mendorong dada Arsen lalu merosot turun dari gendongannya.
“Mama siap-siap aja ke sekolah. Aku bisa makan sendiri dengan Brian dan ditemani Bi Suci,” ucap Anna.
Allice selama tiga tahun ini memang tidak menganggur. Dia adalah guru bahasa inggris di sekolah anak-anaknya. Meski soal harta dia tak pernah kekurangan, sebab Arsen sudah menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Tapi Allice ingin menyenangkan dirinya walau hanya beberapa jam saja di luar sana.
Dia bisa gila kalau terus-terusan di dalam rumah ini. Rumah yang sudah memberinya banyak luka. Rumah yang begitu dingin dan menegangkan tatkala Arsen ada di dalamnya.
Allice tersenyum tipis. “Mama juga lapar ingin makan bersama kalian.”
Dia pun turun menghampiri Anna.
Gadis kecil itu lalu meraih tangan Allice dan menarik pergi. Seolah Arsen tak ada lagi disana. Padahal, pria itu belum juga bergerak sedikitpun. Arsen terus mengamati perubahan sikap anak gadisnya setiap kali dirinya menolak kemauan Anna.
“Papa, kenapa cuma diam disini?” Suara Brian cukup mengagetkan Arsen.
Dia menoleh, melihat anaknya yang tampan dan tumbuh dengan baik tengah turun dari anak tangga teratas. Bisa dibilang, Brian menuruni sifat ayahnya. Dia tak suka banyak bicara.
“Papa mau berangkat.” Arsen tersenyum mengusap puncak kepala Brian setelah anak itu sampai di depannya.
Namun Brian langsung membenarkan rambutnya lagi dan berdecak. “Rambutku berantakan lagi.”
Arsen terkekeh. Anaknya itu sudah dewasa terlalu cepat. Bahkan urusan penampilan saja harus sempurna. Ah, bukan hanya itu. Sikap Brian bahkan sudah tidak seperti anak pada umumnya. IQ anak itu memang tinggi. Dia cerdas dan hampir tergolong jenius. Sampai kadang Arsen sulit berdebat dengan anak yang masih berusia 5 tahun itu.
“Makan bareng, Pa. Cuma sebentar ngga bisa?” tanya Brian.
“Papa benar-benar harus berangkat, Sayang.”
“Ngga, aku mau papa ikut makan,” kekeuh Brian.
Arsen menghela nafasnya. Dia sebenarnya tidak ada urusan genting, hanya saja terlalu malas untuk duduk di ruangan yang sama dengan Allice.
“Ayolah, Pa. Jangan sampai Anna marah terlalu lama. Aku pusing di sekolah kalau masih pagi mood dia hancur hanya karena perkara Papa menolak sarapan bersama kami,” pinta Brian sedikit merengek. Bibirnya mengerucut lucu. Membuat Arsen ingin tertawa.
Wajah polos anaknya itu akhirnya membuat Arsen mengikuti kemauan Brian dan Anna. Dia bergabung di meja makan. Dan – benar saja. Anna langsung tersenyum lagi.
"Yeeeyy! Papa makan bareng! Aku suapi ya. Biar papa ngga terlambat kerjanya." Anna benar, dia menyuapi Arsen katanya supaya makannya cepat habis. Arsen menurut saja. Dia menikmati moment kecil bersama anak-anaknya.
Allice hanya bisa ikut tersenyum tipis melihatnya. Dia tak berani ikut campur dan bisa saja membuat mood Arsen turun. Allice memilih menyantap makanan sambil memperhatikan semuanya. Kehangatan ini hanya bisa dia lihat di saat-saat tertentu saja.
Namun, sepertinya ketentraman mereka terganggu.
Seorang pelayan datang lalu membungkuk dengan hormat di samping Arsen.
“Permisi, Tuan Arsen. Ada tamu datang,” ucap pelayan bernama Bibi Suci.
“Tamu?” beo Arsen. Sebab dia merasa tidak ada jadwal bertemu tamu segala. Apalagi pertemuan di rumah ini.
Belum juga pelayan menjawab. Sosok itu sudah muncul sembari menarik kopernya masuk.
“Mas Arsen!” panggil seorang wanita.
Pria itu menoleh. Dia mendapati wanita seksi yang tersenyum lebar padanya. Tentu Arsen langsung berdiri dan membalas senyuman itu. Bahkan dengan santainya Arsen memeluk singkat wanita yang bernama Nadya.
“Kenapa tidak mengatakan padaku kalau kamu sudah kembali, hem?”
“Aku hanya ingin memberikan kejutan untukmu.”
“Oke, setelah ini akan tinggal dimana?”
Nadya menggeleng. “Aku belum mencarinya.”
“Tinggallah disini. Bersamaku,” jawab Arsen tanpa memikirkan jawabannya.
Nadya baru merasa dia menjadi pusat perhatian. Dia pun menggeser pandangannya pada orang-orang yang duduk di area meja makan.
“Tinggal bersamamu? Apa istrimu tidak marah?” tanyanya saat melihat tatapan datar Allice.
“Arsen.” Allice langsung berdiri sebagai tanda dia meminta penjelasan. Rupanya bukan hanya Allice, dua anak disana pun ikut terkejut dengan suasana ini. “Papa, siapa dia?” tanya Brian dengan pipi masih mengembung isi makanan. Dahinya mengernyit melihat kedua orang dewasa di depannya bertingkah "aneh". Anak itu memperhatikan sosok wanita muda dengan pakaian sedikit seksi berdiri merangkul lengan Arsen. “Terus, kenapa pegang-pegang papa begitu? Kalau di film yang aku lihat. Hanya papa dan mama yang boleh begitu,” lanjutnya. Menyadari posisinya, Arsen pun langsung melepas tangan Nadya. Seketika, keduanya kikuk di hadapan anak berusia lima tahun itu. Jika yang memprotes adalah Allice sudah pasti Arsen tak peduli. Tapi ini dari anaknya sendiri. Sedangkan nama baik seorang ayah tentu harus dia pertahankan di depan kedua anaknya. “Anna ... Brian .... Ini adalah Tante Nadya,” jawab Arsen seraya tersenyum canggung. Merasa disebut namanya, Nadya pun melambaikan tangan dengan anggunnya pa
Sesuai dengan perintah Arsen. Allice tak berangkat bekerja. Dia juga tidak mengantar anak-anak. Sejak pagi, Allice membantu Bi Suci membereskan kamar. “Apa kamu bisa berdiri dan membawa kopermu sendiri naik ke lantai dua?” ucap Allice menahan marah. Bagaimana tidak, sejak tadi kerjaan Nadya hanya bermain HP sambil tiduran di sofa ruang tengah. Seolah dia adalah nyonya rumah. Bahkan dengan mudahnya memanggil Bi Suci hanya untuk minta dibuatkan es jeruk manis. “Hufh, aku lelah. Kalau tidak ikhlas membantuku, aku bisa minta Mas Arsen mengantarku ke apartemen,” ancamnya dengan wajah sok polos. Allice memutar kedua bola matanya. “Kau pikir aku peduli?” Benar-benar tak peduli. Yang penting tugas Arsen membereskan kamar sudah selesai. Dia pun melangkah pergi meninggalkan Nadya. Gadis itu hanya mencibir melihat punggung Allice yang menjauh. Saat begitu, ponsel yang sejak tadi menjadi teman gadis berkulit sawo matang itu berbunyi. Sebuah panggilan dari Arsen membuatnya girang. “Halo, Ma
Arsen tadinya enggan ikut acara pesta kecil yang diadakan oleh rekan-rekan bisnisnya. Hanya saja, dua orang dari mereka terus saja memperingatinya akan pesta malam ini."Bersiaplah, malam ini ikut aku menghadiri pesta," ucap Arsen pada Allice yang baru masuk ke kamar."Aku tidak mau," jawab Allice menuju walk in closet."Kalau begitu biar Nadya yang aku bawa." Arsen mengatakan dengan santai lalu meninggalkan Allice, masuk ke kamar mandi.Meski tadinya menolak, tapi mana mungkin Allice membiarkan Arsen membawa Nadya sebagai penggantinya. ***Night club, sebuah club malam kelas atas semakin ramai di datangi para pengunjung.“Arsen, kamu yakin pesta di tempat seperti ini?” Allice terkejut melihat dimana dirinya berada.Dari dalam mobil saja, dia merasa tidak nyaman dengan pemandangan di sekitarnya. Apalagi kalau masuk.Lihatlah, mereka tidak tau malu bermesraan di sisi gedung. Bahkan ada yang berciuman. Allice sampai jijik rasanya.Seumur-umur dia tak pernah datang ke tempat seperti ini
“Miss Allice,” panggil pria itu memegang bahu Allice.Hanya saja suaranya terdam air hujan dan guntur. Allice juga masih ketakutan, hingga pikirannya tertuju pada penjahat-penjahat itu.“Ampun! Jangan sakiti aku!” tangis Allice masih belum berani membuka kedua tangannya yang menutupi wajah.“Allice! Hei!” Pria itu akhirnya berjongkok di depan Allice. Dia mengguncang keras bahu wanita itu.“Allice!” teriaknya lagi.Sampai Allice terkesiap, karena ada yang memanggil namanya. Dia perlahan membuka sela-sela jemari, mengintip tipis. Dia harus memastikan kalau di depannya memang orang yang dia kenal.Sampai sosok pria memakai jas putih basah kuyup itu nampak khawatir menatapnya.“He-Hexa?” Allice akhirnya menurunkan kedua tangan. Dia sedikit linglung, bagaimana bisa Hexa ada disini?Takut salah melihat, Allice menoleh ke belakang. Dia mencari para penjahat tadi.“Mereka sudah pergi,” ucap Hexa dengan suara keras.Benar, penjahat itu tentu sudah lari tunggang-langgang ketika kalah dari seran
Kepala Allice mulai pusing karena terlalu lama kedinginan. Bibirnya juga makin pucat dan gemetaran. Sebagai dokter, Hexa tentu paham kalau wanita di sampingnya itu sedang tidak baik-baik. Berulang kali pula Allice terdengar bersin-bersin lalu mengusap ujung hidung yang gatal. “Ada paracetamol di rumah?” tanya Hexa masih membawa mobilnya melintas cepat ke kawasan elite rumah Arsen. “Hem ...,” jawab Allice hanya mengangguk. “Maaf, kalau aku hanya bisa mengantarmu pulang. Karena aku tawarkan ganti pakaian di apartemen kamu tidak mau. Berhenti di toko baju pun, kamu tidak mau.” Pandangan Hexa sudah menuju gerbang rumah megah di depannya. Dia menekan klakson dua kali, barulah seorang satpam berlari memakai payung untuk membuka gerbang. Satpam itu tentu sudah mengenal mobil Hexa. Selain sahabat Arsen dari kecil, Hexa juga merupakan dokter keluarga. “Kamu tenang saja, aku bisa mengobati diriku sendiri,” jawab Allice. “Hemm ... ya. Aku tak pernah lupa kalau kamu lulusan S2 kedokteran.
Mata Arsen kembali terbuka ketika mendengar erangan dari mulut wanita yang tidur satu ranjang dengannya."Ma ... bawa aku ....”Ibu Allice sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Lalu kenapa Allice tiba-tiba minta dibawa? Hal itu yang membuat Arsen akhirnya menoleh ke posisi tidur Allice.Wanita itu memunggunginya, masih tergulung di dalam selimut.“Hei,” panggil Arsen. “Kau bisa diam?”Tak ada respon. Bahkan Allice cukup berisik untuk sekedar mengeluarkan nafas.Arsen mulai merasa ada yang tak beres. Dia memposisikan diri untuk duduk kemudian mengguncang ringan bahu Allice yang tertutup selimut tebal.“Allice?” panggil Arsen.Dengan ragu, tangan Arsen akhirnya berpindah menyentuh dahi Allice.Dia cukup terkesiap merasakan hawa panas di tubuh istrinya itu. “Demam.”Arsen menyingkap selimut. Dia turun dari ranjang lalu keluar mencari Bi Suci. Tapi karena ini sudah lewat tengah malam, suasana sudah sangat sepi. Tak mungkin Arsen membangunkan pelayannya apalagi Nadya untuk mengurus Allice.
Salah satu alis Hexa menukik saat mendengar perkataan Axton barusan.“Menginginkan istrimu?” Dokter itu mem-beo.“Hem,” sahut Arsen dingin.Hexa masih bingung. Dia melihat sosok sahabat di depannya dari atas sampai bawah guna mencari jawaban. Kemudian netranya beralih pada mobil Arsen yang parkir tak jauh darinya. Disana Nadya keluar dari mobil lalu memandangi Arsen, seolah sedang menunggu pria itu.“Kau datang dengan Nadya. Allice tidak masuk kerja? Apa dia sakit?” tanya Hexa.“Dia sakit karenamu, bukan? Ada janji temu dengannya semalam? Pergi kemana sampai hujan-hujanan basah kuyup lalu berpelukan di depan rumahku.” Arsen akhirnya mengutarakan kekesalannya.Ah!Hexa terkekeh ringan. Dia hampir tak percaya kalau rupanya Arsen sedang mempermasalahkan soal semalam.“Kau cemburu aku pulang bersamanya? Memangnya Nadya tidak cerita? Atau Allice, mungkin?” Hexa tentu ingat, kalau semalam Nadya yang membukakan pintu rumah.Hexa juga menceritakan apa yang terjadi dengan Allice, hingga dia bi
Arsen hanya memutar-mutar chip itu di jemarinya. Dia berfikir, apa perlu melihat bukti entah apalah itu yang tertangkap di mobil Hexa?Pria itu akhirnya memilih meletakkan chip di laci meja kerjanya. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.Tapi gangguan selalu saja ada. Sebuah telefon masuk ke ponselnya.Pak Burhan. Dia adalah pemilik Night Club sekaligus rekan bisnis yang mengundangnya untuk party bersama semalam.Karena dipastikan apa yang akan dibahas Pak Burhan adalah penting, Arsen pun langsung mengangkatnya.“Halo, Pak Burhan. Bagaimana?” tanya Arsen langsung ketika benda pipih itu menempel di daun telinganya. Sedangkan tangan kanannya sedang menggoreskan tinta untuk tanda tangan di atas berkas.“Tuan Arsen, sebelumnya saya ingin memohon maaf karena minimnya penjagaan dan CCTV club masih belum aktif,” ucap Pak Burhan merasa tak enak pada Arsen.Dahi Arsen berkerut tipis. Dia tentu tau kalau itu club masih baru berdiri seminggu yang lalu. Memang belum sepenuhnya jadi. Diibaratk
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady