Allice sejak tadi memikirkan kenapa Arsen tidak ada di rumah sakit. Pria itu hanya meminta salah satu anak buahnya untuk menjemput dan mengantar ke resort.Ingin dia menghubungi suaminya itu, tapi tas dan ponsel kata pengawal sudah Arsen bawa.“Ma, kenapa melamun?” tanya Brian melihat ibunya diam sejak mobil keluar dari area rumah sakit.“Melamun? Tidak. Mama hanya mengantuk,” jawab Allice berbohong.Dia lalu menunduk, melihat Anna yang tidur dengan menjadikan pahanya sebagai bantal. Sedangkan kaki Anna berada di pangkuan Brian.“Kamu tidak mengantuk, Sayang?” Allice kembali menatap Brian, memberikan senyuman hangatnya untuk pria kecil itu.Brian menggeleng. “Kalau aku mengantuk, nanti mama bagaimana? Susah gendong kita bersamaan.”“Ah, anak mama ini suka sok dewasa,” canda Allice mengulurkan tangan kanan untuk mengusap kepala Brian.“Hish, mama jangan buat rambut aku berantakan.” Brian langsung membenarkan rambutnya.“Hahaha ... oke oke. Gimana kalau kita main tebak-tebakan supaya ti
Nadya mengatakan kalau ada beberapa preman yang datang ke panti asuhan. Kemudian mengacak-acak panti itu. Hingga membuat ibu panti terluka.Arsen tak bisa menolak untuk tidak segera datang. Bagaimanapun, ibu panti adalah ibu angkat Safira dan Nadya. Tak mungkin Arsen tutup mata membiarkan wanita yang Safira sayang itu sakit.Kini semua sudah membaik. Arsen baru bisa masuk ke kamar yang selalu disediakan untuknya kalau sedang bermalam di panti ini.“Allice masih belum menjawab pesanku?” gumam Arsen seraya menarik ponsel dari dalam sakunya.Entah mengapa dia merasa tak tenang melihat tak ada balasan apapun dari Allice. Juga wanita itu tidak menelfon balik.Padahal biasanya Allice kalau marah selalu mengirim banyak pesan. Hingga Arsen makin kesal dan menganggap semua pesan itu hanyalah sampah.Tapi sekarang, tak ada satupun. Apa Allice tidak marah? Atau justru kali ini lebih marah dari biasanya? Pikir Arsen.“Ck! Apa peduliku?” Arsen melempar ponselnya ke atas ranjang. Kemudian dia melep
Bibir Allice mengulas senyum ketika telefon dari Arsen berakhir begitu saja.“Entah terpaksa atau tidak, tapi aku rasa kamu memang cemburu, Arsen,” gumamnya dalam hati.Allice kemudian meletakkan telefon di meja resepsionis, kemudian membungkuk singkat sambil mengucapkan terimakasih.Wanita itu kembali ke kamarnya terburu-buru. Dia lalu melihat Anna yang sebelumnya masih tidur di ranjang kini berpindah dalam gendongan seorang pria separuh baya.“Ayah, Anna terbangun lagi?” tanya Allice mendekat, lalu mengusap punggung gadis kecilnya itu.“Dia tadi menangis mencari papanya,” bisik Pak Satria, ayah kandung Allice.Pagi tadi, Satria menghubungi Allice setelah melihat foto di story chat. Dimana Allice memajang foto Brian dan Anna dengan background matahari terbit.Satria yang kebetulan ada kepentingan bisnis, mengecek bahan dasar produksi untuk pabriknya di Raja Ampat. Dia pun menghubungi Allice. Ternyata mereka ada di pulau yang sama.Jadilah Satria menenami Allice jalan-jalan. Namun say
Di ruang makan, Allice tetap tak bisa menyembunyikan senyumannya. Buket bunga dan pelukan itu benar-benar membuang rasa kesalnya akibat ulah Arsen di Raja Ampat kemarin lusa.“Aku nanti pulang malam,” ucap Arsen datar di sela mengunyah sarapan paginya.Allice mengangguk ringan, tak menjawab dengan kata-kata karena dia baru saja memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.“Papa sibuk banget. Kita baru pulang udah ditinggal kerja. Terus pulangnya malem,” ucap Anna.Arsen mengusap kepala Anna, karena gadis itu duduk paling dekat dengannya.“Iya, papa juga kerja untuk kalian. Kamu jangan banyak bermain. Besok harus bisa sekolah, okey,” ujar Arsen.“Okey, Papa ....”Allice merasa semakin kesini perubahan Arsen sedikit nampak. Sedikit ya ... entah karena tak enak pada Nadya menolak sarapan bersama. Atau memang Arsen sudah mulai menerima Allice sedikit demi sedikit.Arsen yang dulu. Dia sulit untuk berada satu ruangan dengan Allice, meski hanya sekedar makan. Tapi sekarang, Allice tak perlu
Hening. Allice tak tau apa Arsen disana sedang memejamkan mata atau sedang berfikir. Tak mungkin juga baru merebah sudah terlelap.“Ini hanya pertanyaan saja, Arsen,” ucap Allice lemah.“Hem. Jangan tanyakan hal yang tak penting. Pastikan alat kontrasepsimu terpasang dengan baik,” jawab Arsen pada akhirnya.Meski dijawab dengan nada datar dan lirih, namun Allice bisa menarik kesimpulan kalau Arsen tak menginginkan dirinya hamil lagi.Allice pun tersenyum miris dan bergumam dalam hati, “Alat KB? Aku bahkan tak pernah memakai itu. Sebelum hari itu, kamu sangat jarang menyentuhku lagi, Arsen. Aku hanya mengandalkan pil penunda kehamilan.”Ya, untuk apa menggunakan alat KB kalau mereka saja sangat-sangat jarang melakukan itu. Allice hanya menyediakan pil penunda kehamilan yang dia minum setelah berhubungan badan.Tapi bukan tidak mungkin kalau pil itu tak terlalu berfungsi dengan baik.“Tidak, aku juga tak ingin hamil lagi,” pikir Eleana.*** Kegiatan pagi hari seperti biasa. Al
“Mama kenapa?” tanya Anna melihat ibunya sedikit pucat siang ini.Allice menggeleng. “Mama Cuma ngantuk. Tapi mama harus hadiri rapat. Kamu mau ke kantor papa dulu?”Anna yang duduk di kursi panjang halaman sekolah tersenyum pertanda dia menyetujuinya. Pasalnya, Arsen berjanji akan mengajak jalan-jalan ke taman lalu pergi ke rumah oma dan opa setelahnya.Tapi sayangnya, Allice dan Arsen ada rapat masing-masing. Jadi hanya supir yang sedang menunggu di depan sekolah.Allice mengusap kepala Anna, kemudian menoleh ke pintu masuk. Mereka masih menunggu Brian yang katanya sedang ke toilet sebentar.“Kalian jajan apa tadi? Apa Brian sakit perut?” tanya Allice khawatir.“Kak Brian ngga jajan. Tapi tadi Kak Brian ngabisin nasinya Anna. Soalnya Anna kenyang. Apa Kak Brian sakit gara-gara Anna?” Gadis kecil itu jadi menunjukkan raut bersalahnya.Namun belum juga Allice menjawab, Brian sudah lebih dulu muncul bersama Jasmine.“Aaaah, rupanya lama di dalam karena menunggu Jasmine?” ledek
Allice mencoba menghubungi Arsen. Pasalnya ban mobil kempes saat dia sudah setengah jalan menuju kantor suaminya.Tapi justru nomor pria itu tak bisa dihubungi.“Ish, dia sedang apa, sih?” gerutu Allice.Allice berdiri di samping mobilnya. Melihat padatnya jalanan ibu kota. Tapi dia belum menemukan taksi satupun.Montir yang dia pesan juga belum datang. Mungkin masih beberapa menit lagi.Dahi Allice mengernyit, saat kepalanya mulai pusing terkena teriknya matahari siang.“Ssssh ....” Dia mendesis sembari memijit dahinya.Dicoba lagi menghubungi Arsen. Masih saja sama.Tin! Tin! Tin!Suara klakson membuat Allice menoleh. Ah, rupanya Tuhan masih sayang Allice. Mobil Hexa terlihat berhenti di depan mobil Allice.Segera Allice mendekati kaca mobil bagian depan yang dibuka oleh Hexa.“Mau ke kantor Arsen?”“Iya, mobilmu mogok?” Hexa menunjuk ke belakang dengan gerakan kepalanya.Allice mengangguk. “Aku ikut kamu ya?”“Hem, masuk.”Tanpa basa basi, Allice membuka pintu mobil. Bisa-bisa dia
“Papa marah?” tanya Anna melihat Arsen dari jok belakang.“Tidak,” jawab Arsen tanpa menoleh. Dia tetap fokus menyetir.“Kamu baru bertengkar dengan Hexa? Aku lihat kamu tak berpamitan dengan dia sama sekali. Aku juga terus kamu marahi saat –““Bisa diam?”Dua kata bernada dingin plus tatapan tajam Arsen membuat Allice langsung menutup mulutnya. Meski dalam hati menggerutu.Pasalnya Arsen tiba-tiba aneh. Saat dia dan anak-anak lagi asik-asiknya tiba-tiba mengajak pulang paksa. alasannya pun tak logis. Ada orang gila?Ditambah, Arsen marah saat Allice memilih berpamitan dengan Jasmine dan HexaMobil yang Arsen bawa pun memasuki kawasan elite. Dimana rumah utama keluarga Mahardika berada. Nyonya Imelda dan Tuan Lucas, kedua orang tua Arsen yang sudah tak sabar menanti kehadiran cucu-cucu tercintanya.Benar saja. Saat mobil Arsen berhenti di depan pintu utama rumah megah itu, Imelda langsung keluar. Seolah sang nenek sudah menunggu di depan jendela.“Mana cucu oma ....” Imelda berjalan c
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady