Hening. Allice tak tau apa Arsen disana sedang memejamkan mata atau sedang berfikir. Tak mungkin juga baru merebah sudah terlelap.“Ini hanya pertanyaan saja, Arsen,” ucap Allice lemah.“Hem. Jangan tanyakan hal yang tak penting. Pastikan alat kontrasepsimu terpasang dengan baik,” jawab Arsen pada akhirnya.Meski dijawab dengan nada datar dan lirih, namun Allice bisa menarik kesimpulan kalau Arsen tak menginginkan dirinya hamil lagi.Allice pun tersenyum miris dan bergumam dalam hati, “Alat KB? Aku bahkan tak pernah memakai itu. Sebelum hari itu, kamu sangat jarang menyentuhku lagi, Arsen. Aku hanya mengandalkan pil penunda kehamilan.”Ya, untuk apa menggunakan alat KB kalau mereka saja sangat-sangat jarang melakukan itu. Allice hanya menyediakan pil penunda kehamilan yang dia minum setelah berhubungan badan.Tapi bukan tidak mungkin kalau pil itu tak terlalu berfungsi dengan baik.“Tidak, aku juga tak ingin hamil lagi,” pikir Eleana.*** Kegiatan pagi hari seperti biasa. Al
“Mama kenapa?” tanya Anna melihat ibunya sedikit pucat siang ini.Allice menggeleng. “Mama Cuma ngantuk. Tapi mama harus hadiri rapat. Kamu mau ke kantor papa dulu?”Anna yang duduk di kursi panjang halaman sekolah tersenyum pertanda dia menyetujuinya. Pasalnya, Arsen berjanji akan mengajak jalan-jalan ke taman lalu pergi ke rumah oma dan opa setelahnya.Tapi sayangnya, Allice dan Arsen ada rapat masing-masing. Jadi hanya supir yang sedang menunggu di depan sekolah.Allice mengusap kepala Anna, kemudian menoleh ke pintu masuk. Mereka masih menunggu Brian yang katanya sedang ke toilet sebentar.“Kalian jajan apa tadi? Apa Brian sakit perut?” tanya Allice khawatir.“Kak Brian ngga jajan. Tapi tadi Kak Brian ngabisin nasinya Anna. Soalnya Anna kenyang. Apa Kak Brian sakit gara-gara Anna?” Gadis kecil itu jadi menunjukkan raut bersalahnya.Namun belum juga Allice menjawab, Brian sudah lebih dulu muncul bersama Jasmine.“Aaaah, rupanya lama di dalam karena menunggu Jasmine?” ledek
Allice mencoba menghubungi Arsen. Pasalnya ban mobil kempes saat dia sudah setengah jalan menuju kantor suaminya.Tapi justru nomor pria itu tak bisa dihubungi.“Ish, dia sedang apa, sih?” gerutu Allice.Allice berdiri di samping mobilnya. Melihat padatnya jalanan ibu kota. Tapi dia belum menemukan taksi satupun.Montir yang dia pesan juga belum datang. Mungkin masih beberapa menit lagi.Dahi Allice mengernyit, saat kepalanya mulai pusing terkena teriknya matahari siang.“Ssssh ....” Dia mendesis sembari memijit dahinya.Dicoba lagi menghubungi Arsen. Masih saja sama.Tin! Tin! Tin!Suara klakson membuat Allice menoleh. Ah, rupanya Tuhan masih sayang Allice. Mobil Hexa terlihat berhenti di depan mobil Allice.Segera Allice mendekati kaca mobil bagian depan yang dibuka oleh Hexa.“Mau ke kantor Arsen?”“Iya, mobilmu mogok?” Hexa menunjuk ke belakang dengan gerakan kepalanya.Allice mengangguk. “Aku ikut kamu ya?”“Hem, masuk.”Tanpa basa basi, Allice membuka pintu mobil. Bisa-bisa dia
“Papa marah?” tanya Anna melihat Arsen dari jok belakang.“Tidak,” jawab Arsen tanpa menoleh. Dia tetap fokus menyetir.“Kamu baru bertengkar dengan Hexa? Aku lihat kamu tak berpamitan dengan dia sama sekali. Aku juga terus kamu marahi saat –““Bisa diam?”Dua kata bernada dingin plus tatapan tajam Arsen membuat Allice langsung menutup mulutnya. Meski dalam hati menggerutu.Pasalnya Arsen tiba-tiba aneh. Saat dia dan anak-anak lagi asik-asiknya tiba-tiba mengajak pulang paksa. alasannya pun tak logis. Ada orang gila?Ditambah, Arsen marah saat Allice memilih berpamitan dengan Jasmine dan HexaMobil yang Arsen bawa pun memasuki kawasan elite. Dimana rumah utama keluarga Mahardika berada. Nyonya Imelda dan Tuan Lucas, kedua orang tua Arsen yang sudah tak sabar menanti kehadiran cucu-cucu tercintanya.Benar saja. Saat mobil Arsen berhenti di depan pintu utama rumah megah itu, Imelda langsung keluar. Seolah sang nenek sudah menunggu di depan jendela.“Mana cucu oma ....” Imelda berjalan c
Allice membalas tatapan tajam Arsen tanpa rasa takut.“Untuk apa? Kalau aku ingin, sudah aku katakan sejak dulu. Tapi itu tak ada gunanya,” jawab Allice atas tuduhan tak terbukti dari Arsen.Arsen hanya berdecak, meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.Karena Lucas merasa kondisi tidak baik bagi anak-anak, sang kakek pun lebih dulu berdiri. “Emh, anak-anak. Kalau makannya sudah selesai, main bersama opa. Kita belum membuka mainan barunya tadi.”Anna tentu mengangguk riang. “Ayo, Kak Brian. Tadi aku liat ada robot kesukaan kakak.”“Benar?” Brian yang tadinya enggan pun jadi ikut antusias.“Opa sudah membelikan robot yang Brian suka. Soalnya opa sempat tanya sama mama-mu. Katanya kamu sedang ingin robot edisi terbaru itu kan?” ujar Lucas.Brian jadi tersenyum lebar. Dia dan Anna turun dari kursi, kemudian pergi sambil menggandeng tangan Lucas di sisi kanan dan kiri.Sejenak, perhatian semua ke arah anak-anak yang pergi meninggalkan ruang makan.“Mommy tidak menyangka kalau sampai
“Bagaimana bisa kamu yang datang?” tanya Allice tak terlalu welcome pada Darren. Sang dokter mendekat, meletakkan tas dokternya di sisi ranjang. “Bisa saja. Karena Tuhan sedang berpihak pada kita,” ucap Darren dengan senyum kecilnya. Allice memutar kedua bola matanya. Sejak dulu pria itu tak pernah berubah. Selalu saja mengatakan hal-hal yang berlebihan. “Bibi, bisa siapkan minuman untuk Pak Dokter.” Allice hanya tidak ingin Bibi Suci mendengar bualan-bualan Darren. Takutnya nanti menyebabkan prasangka buruk. “Baik, Nyonya. Permisi, Dok.” Pelayan itu membungkuk pada dua orang sekaligus. Baru kemudian dia pergi keluar, tanpa menutup pintu. Karena mana mungkin membiarkan tamu asing masuk ke kamar majikan dengan pintu tertutup rapat. Pandangan Allice beralih pada Darren yang sudah menempelkan earpieces stetoskop ke telinga. Bersiap memeriksa. “Apa yang pasienku keluhkan?” tanya Darren memberi kode pada Allice, supaya wanita itu merebahkan diri. Allice menurut. Dia merubah posisin
Selesai mengurus proposal bersama Nadya, Arsen kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya sejak tadi.Pergerakan itu membuat mata Nadya ikut mengikuti. Memperhatikan bosnya yang sejak tadi nampak tidak konsentrasi dalam membahas proyek perusahaan.Sembari menunggu telefon diangkat, Arsen menandatangani lembaran terakhir dari berkas yang ada di meja.“Kamu serahkan ini pada bagian HRD. Setelahnya selesaikan laporan proyek yang baru berjalan,” ucap Arsen.“Baik, Tuan Arsen.”Meski sudah beranjak, mendekap beberapa tumpuk berkas. Nadya masih penasaran pada siapa Arsen menelfon. Lebih tepatnya, dia penasaran apa yang membuat pria itu resah sejak tadi.Satu alis Arsen menukik, memperhatikan Nadya yang tak kunjung pergi.“Ada lagi?”“A-Eh, tidak. Permisi.”Dengan berat hati, Nadya berbalik pergi. Namun ketika pintu belum sepenuhnya dia tutup, orang yang Arsen telefon nampaknya sudah mengangkat panggilan.“Bi, bagaimana Allice? Hexa sudah memeriksa?”Mendengar itu membuat dada Na
Allice berdiri di depan standing mirror kamarnya. Dia baru selesai mandi supaya badannya lebih segar. Seharian dia hanya tidur dan bermalas-malasan. Untunglah anak-anak tidak ada yang rewel. Mereka semua menganggap Allice terlalu capek.Kini dia tengah menatap dirinya. Mengusap perutnya yang masih datar.“Apa ini hadiah dari Tuhan untukku?” gumamnya antara senang dan sedih.Meski begitu bibirnya tetap mengulas senyum kecil. Dia sudah memikirkan baik-baik. Kalau takdir ini sepertinya adalah jawaban atas kebimbangannya selama ini.Allice teringat perjanjian antara dia, Safira dan Imelda. Saat itu, Safira masih memohon pada Allice supaya dia mau menjadi istri kedua Arsenio Mahardika. CEO berwibawa yang kerap dianggap sebagai suami idaman para wanita.Tapi Allice tentu tak mau. Disisi lain, Allice masih memiliki Darren, kekasih yang sama-sama baru menyandang gelar dokter.Sayangnya, Darren harus pindah ke New Zealand pergi bersama keluarga disana.Safira tidak tinggal diam. Dia meminta ba