Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Layla dengan keluarga Bara. Setelah sebelumnya Bara sudah berhasil meyakinkan kedua orang tua Layla, sekarang giliran Layla yang akan meyakinkan kedua orang tua Bara.
Bara berasal dari keluarga sederhana, Ayahnya bekerja serabutan dan Ibunya ibu rumah tangga. Tapi Bara bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibunya, karena berhasil membiayai Bara sekolah sampai di jenjang bangku perkuliahan dan sukses menjadi Manajer seperti sekarang.
Hari ini Bara memilih menjemput Layla di rumahnya, tanpa janjian seperti sebelumnya. Supaya lebih meyakinkan.
“Hei, Bar, gimana penampilan saya hari ini?”
Bara terkesima sesaat setelah melihat penampilan Layla yang begitu terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya dibalut dress berwarna peach terlihat begitu sempurna. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Layla.
“Hellowww!!” Layla melambaikan tangannya di depan wajah Bara, membuat Bara mengembalikan konsentrasi. “Malah ngelamun. Gimana penampilan saya kali ini? Cantik nggak?”
“Bagus, kok.”
“Bagus doang? Cantik, nggak?”
Bara menarik ujung bibirnya. “Cantik.”
Layla tersipu malu, namun dia segera mengembalikan Kesadarannya. Dia tidak boleh terlihat aneh di depan Bara. Menjadi wanita elegan dan dingin adalah prinsip hidup Layla.
Semenjak perkenalan Layla dan Bara, Yunda tidak ikut campur soal permasalahan yang sudah mereka rancang. Tugas Yunda hanya mengenalkan, selebihnya dia tidak mau ikut campur. Kecuali, dalam konteks Layla minta pendapat soal dirinya dengan Bara. Atau mencari tahu tentang kehidupan Bara lebih dalam.
“Ya udah, kita berangkat sekarang, ya? Ibu saya sudah nunggu.”
“Oke, saya yakin sih kalau keluarga kamu pasti langsung terima saya jadi menantu. Pandangan pertama pasti udah bikin terkesima,” Layla lagi dan lagi memuji dirinya sendiri. Bahkan dia tidak segan untuk berkata demikian di depan Bara. Bara hanya senyum dan geleng-geleng kepala.
Layla berjalan ke depan rumahnya dan berbalik menatap Bara yang jalan mengekor di belakangnya. “Helm buat saya mana, Bar?”
“Ini,” Bara menenteng helm yang sengaja dia bawa dari rumah untuk Layla.
Layla mengambilnya, sempat menciumnya sekilas, takut ada aroma tidak sedap menempel dan menodai rambutnya. Tapi akhirnya dia memakai helm itu, setelah tidak mencium aroma apa-apa.
“Bisa, nggak?” tanya Bara saat dia sudah memakai helm dan duduk di atas motornya, ketika melihat Layla seperti kesusahan memakai helm itu. “Di klik, La,” Bara menunjuk bagian bawah helm, Layla mengernyit tidak paham. “Sorry,” Bara membantu Layla memasangkan pengait helm. Jari-jemari hangat milik Bara sempat bersentuhan dengan dagu Layla.
“Thanks!”
Layla hendak naik ke boncengan motor Bara, namun dia kebingungan cara naiknya bagaimana. Bara yang menyadari itu, akhirnya menyerongkan motornya untuk lebih mudah Layla naik ke atas sana. “Gimana saya duduknya?”
“Nyerong aja, La.”
“What? Are you serious?” Layla menatap ragu Bara.
“I will take care of you. Trust me.” Bara tersenyum sembari menggerakkan kedua bola matanya terarah pada jok boncengan motornya.
Layla terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya dia duduk juga di boncengan dengan posisi menyerong. Bukannya sombong, tapi Layla memang jarang sekali naik motor. Terakhir kali dia naik motor itu sewaktu SD, itu pun hanya beberapa bulan saja karena insiden dia terjatuh bersama dengan tukang ojek, yang mengakibatkan kaki dan tangannya luka-luka. Dari situ Layla trauma untuk menunggangi kendaraan roda dua.
“Pelan-pelan, ya, Bar. Saya ada trauma jatuh dari motor.”
“Santai aja, La. Percaya sama saya. Kalau kamu takut, pegangan aja.”
“Nggak apa emang?” tanya Layla.
“Ya nggak apa. Biar meyakinkan lagi, kan?”
Layla akhirnya mengulurkan tangan untuk memeluk Bara dari belakang. Aroma parfume maskulin itu menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Layla. Iya ... aroma yang sangat menenangkan untuk Layla.
***
Motor Bara masuk ke dalam gang. Bangunan di sana tampak saling berdiri rapat dengan dinding para tetangga, anomali dengan kompleks perumahan Layla yang dominan rumahnya berjarak dan besar-besar mengintimidasi dan berdiri kokoh bak istana.
Lingkungan rumah Bara terkesan hangat, para tetangga terlihat saling akrab dan jauh dari kata mewah dan elite. Masih ada pedagang sayur gerobak dengan ibu-ibu yang sedang bergosip, tetangga saling berkumpul di depan rumah, anak-anak kecil silih kejar-mengejar, teriakan dan tangisan silih beradu sahut.
“Permisi, Bu,” Bara melambatkan motornya ketika melewati Ibu-ibu yang sedang berkumpul.
“Silakan Mas Bara ganteng.”
“Siapa tuh? Calon istri?”
“Doain aja, Bu,” sahut Bara tersenyum.
Layla bisa mengira kalau Bara termasuk idola para ibu-ibu di dalam gang. Terlihat dari betapa mereka memuji Bara dengan sebutan ganteng dan antusiasnya ketika melihat Bara membonceng perempuan.
Bara mengarahkan motornya masuk ke dalam pagar besi yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas perut. Kendaraan akhirnya berhenti, Layla melepaskan helm dan membenarkan rambutnya. Dia memutar spion tanpa permisi, padahal Bara belum turun dari motor itu.
“Rambut saya berantakan nggak? Make-up saya?”
Bara menggeleng. “Masih cantik kok. Yuk masuk.” Bara ikut turun dari motor dan menarik tangan Layla tanpa permisi untuk melangkah masuk ke dalam rumah sederhana bercat biru langit, dengan pilar besar di sisi kanan dan kiri.
Tidak ada suara apa pun dari dalam. Sepi. Bara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalam’alaikum, Bu, Yah?”
“Waalaikumsalam.” Ada sahutan dari dalam. Pintu terbuka dan memperlihatkan sepasang suami istri paruh baya menyambut kedatangan mereka. “Eh, sudah datang. Ayo masuk-masuk.”
“Ini Layla, ya?” Seorang wanita paruh baya berparas ramah dan teduh itu tersenyum semringah menyambut kedatangan Layla. Itu Ibunya Bara. Tentu saja Bara sudah bercerita pada kedua orang tuanya bahwa akan membawa Layla ke hadapan mereka.
“La, kenalin ini Ibu sama Ayahku,” Bara memperkenalkan kedua orang tuanya pada Layla.
“Layla,” jawabnya singkat. Berusaha menarik ujung bibirnya yang terasa kaku. Namun dia harus betul-betul bersandiwara penuh di depan kedua orang tua Bara. Dia tidak mau dicap sebagai calon mantu yang tidak ramah. Meski demikian memang begitu faktanya.
Layla mencium tangan Ibu dan Ayah Bara, sama seperti yang Bara lakukan pada kedua orang tuanya.
Melihat ekspresi Layla yang kurang nyaman, Bara mengelus lembut punggung Layla. “Duduk yuk?” ajaknya dan mereka duduk berdampingan di kursi panjang, sedangkan Ayahnya duduk di kursi tunggal di hadapan Bara dan Ibunya duduk di kursi tunggal di sebelah Layla. Bara berbisik lembut di telinga Layla, “Relax, La.”
Suasana terasa canggung, terlebih ketika Ibunya Bara seolah meneliti Layla dari bawah ke atas, mengulangi siklus itu beberapa kali. Seolah sedang memindai calon istri untuk anaknya.
“Orang mana, Nak?” pertanyaan itu yang keluar dari bibir Ibunya.
“Aslinya orang Bengkulu, Tante, lahir di sana juga. Tapi semenjak aku umur lima tahun, pindah ke Jakarta.”
“Ada keturunan bule, ya, Nak?” tanya Ibu yang masih meneliti wajah Layla.
“Bukan bule, Tan, tapi Korea,” sahut Layla dan tersenyum lebar. “Papa Korea, Mama Bengkulu.”
“Pantesan, cantik banget,” Ayah tersenyum.
“Kerja di mana, Nak? Kata Bara, kamu sahabat Yunda dari kecil?” tanya Ibu.
“Di Bellerica, Tan, sebagai HRD. Iya saya sahabatan sama Yunda dari kecil.”
“Kamu bisa masak?”
Pertanyaan Ibu terdengar defensif.
“Ng—nggak bisa, Tan,” Layla tersenyum kikuk, melirik Bara yang tiba-tiba menggenggam jari-jemari tangannya. Terkesan memberi semangat dan perlindungan.
“Kalau masak bisa belajar nanti, Bu,” sahut Bara, berusaha melindungi Layla dari pertanyaan intimidasi Ibunya.
“Tapi kamu lebih suka masakan rumahan, kan? Daripada di luar. Nanti kalau kamu sudah nikah, kamu bakalan jarang makan masakan Ibu lagi.”
“Iya, Bu, tapi kalau soal itu nggak masalah buat Bara,” cowok itu melirik Layla yang terlihat tidak nyaman. “Bara cari pendamping hidup. Nggak ada masalah buat Bara kalau Layla nggak bisa masak.”
Layla tersenyum tipis, dia menundukkan kepala. Baru kali ini dia merasakan terintimidasi, bahkan biasanya dia tidak pernah merasakan hal itu bahkan oleh atasannya di tempatnya bekerja. Layla selalu menguasai suasana, dia tidak pernah merasakan apa itu terpojok. Tapi untuk kali ini berbeda, suasananya terasa sangat asing.
BERSAMBUNG...
Suasana tegang masih menyelimuti Layla. Perasaannya gundah-gulana dan merasa sangat terintimidasi oleh Ibunya Bara yang seolah seperti tidak menyukai Layla. Rasanya Layla ingin berteriak, kalau ini hanya pura-pura, tapi apa daya? Tidak mungkin pernikahan menjadi ajang permainan dimata keluarga.Layla memandangi Bara yang masih berusaha melindungi Layla dengan segala upaya dan caranya meyakinkan sang Ibu untuk percaya dengan pilihannya kali ini.Bahkan Layla masih belum memiliki jawaban untuk membantu Bara. Alhasil, dia hanya diam.“Menikah itu susah, lho, kamu juga harus betul-betul yakin, Bara. Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup!” Suara Ibu meninggi. Bahkan dengan raut wajah menahan marah karena Bara dengan senang hati mengambil keputusan.“Iya Bara tahu, Bu. Apa salahnya sih Bara mau menikah dengan Layla? Jangan karena Layla nggak bisa masak, Ibu jadi tiba-tiba nggak setuju gini.”Situasi semakin menegang. Bahkan dugaan Layla salah, kalau kedua orang tua Bara akan setuju-set
Secangkir kopi espresso panas menemani cuaca sore yang cerah hari ini, di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia yang bikin pusing kepala. Layla menyeruput cangkir itu perlahan, menikmati setiap komponen kopi melebur di dalam mulutnya. Suasana kafe coffee Almost sore ini tidak begitu ramai pengunjung, Yunda mengajak Layla untuk ke sana karena sudah lama juga mereka berdua tidak menghabiskan waktu bersama. Sibuknya bekerja membuat mereka hanya bertemu di kantor saja. “Ciut juga nyali lo ketemu Camer,” Yunda terkikik geli. Biasanya, Layla selalu open joy dan tidak pernah merasa dirinya berada di sebuah keadaan yang mengintimidasi, Layla selalu bisa mengendalikan suasana.Tapi ketika bertemu dengan orang tua Bara, semua kemampuannya mendadak lenyap ditelan udara. Layla menghela napas, menyimpan cangkir kopinya dia atas meja. Tatapannya terpusat pada Yunda yang duduk di hadapannya. “Nggak tahu deh, gue nggak bisa bantah. Lagian gue lihat-lihat, nyokapnya nggak percaya gitu sama gue.”“Mungkin
Bara sedang berada di depan halte dekat kantornya, berdiri di sana dengan pandangan menengadah sekitar melihat hilir-mudik kendaraan yang berlalu lalang di depan halte. Laki-laki itu menggerakkan jemarinya, menerima panggilan telepon masuk di ponselnya.“Halo, La. Di mana?”[Sebentar lagi sampai, tungguin. Kamu itu di halte, kan?]“Iya.”[Oke.]Panggilan terputus. Bara menghela napas. Sesuai permintaan Layla kemarin malam, bahwa hari ini Bara harus menemaninya ke butik untuk melihat-lihat gaun yang akan dipakai untuk acara pernikahan mereka nanti. Meski sebetulnya Bara sudah menolak dan memberi pengertian pada Layla kalau masalah ini bisa dibicarakan lagi nanti.Namun, Layla yang keras kepala, justru dia tak peduli dan teguh pendirian. Alhasil, mau tidak mau Bara menurut.Mobil mewah milik Layla berhenti tepat di depan halte dengan Bara berdiri di sana. Gadis itu turun dari mobil. Aneh, seharusnya Layla tidak usah turun dan menunggu Bara naik saja ke kursi penumpang.“Kamu yang bawa,”
Jalanan kota Jakarta di malam hari adalah musuh terbesar bagi para pekerja yang baru pulang dari kantor dan harus dihadapkan dengan rentetan kendaraan dengan suara klakson tiada henti silih berganti, memekakkan telinga dan menguji kesabaran.Bara sudah berkali-kali berdecak kesal, di saat dirinya mau menyalip kendaraan, ada saja halangan dan membuatnya harus bersabar demi segera sampai di tempat tujuan.Lima belas menit Bara menunggu kemacetan itu, akhirnya ada peluang untuk masuk ke sisi kendaraan dan menyalip. Beginilah enaknya pakai kendaraan roda dua di tengah-tengah kemacetan, bisa mencuri jalan orang lain untuk mendahului. Memang tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Tapi, sepertinya hampir semua pengendara motor melakukan itu, bukan?Motor Bara berhenti tepat di sebuah pelataran kafe. Cowok itu membuka helm dan turun dari motor. Masih mengenakan pakaian kerja, Bara sengaja mampir ke kafe itu karena sudah ada janji dengan Yunda. Dia ingin membahas terkait Layla.“Lama nu
Bara menelan ludah saat melihat tatapan dari pihak keluarga besar Layla terpusat padanya, dengan berbagai macam ekspresi dan tentunya menyelidik. Bara menghela napas, berusaha menguatkan diri untuk mendapatkan serentetan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ekstra hati-hati. “Selamat siang.” Bara menyapa, memecahkan suasana hening di aula sana. “Layla? Kamu nggak salah ngomong, kan?” pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang perempuan tua. Dia Neneknya Layla, ibu dari Papa Layla. Tentu saja pertanyaan sarkastis itu berhasil membuat Bara ciut. Pasalnya, tatapan tajam dan sinis Neneknya itu tidak hentinya meneliti penampilan Bara. “Nggak dong, Nek. Ini Bara. Fernanda Bara. Calon suami Layla.” Layla dengan bangga memperkenalkan Bara. Namun justru respons tidak baik Bara dapatkan dari pasang mata yang menatap. Rasanya Bara kikuk, dia mengelus tengkuknya. Berada di situasi macam begini sungguh membuat Bara bingung harus melakukan apa, berkata apa, selain hanya diam dan melirik La
Dengan perasaan gusar, Bara bergegas naik ke atas motornya, memakai helm dan menyalakan mesin. Sewaktu dia hendak pergi, teriakan Layla menginterupsi dari kejauhan.“BARAAA!!”Dilihat gadis itu berlari kencang menghampiri Bara. Ada yang berbeda dari Layla. Dia menangis.“Bara saya mohon jangan pergi!” pinta Layla dengan suara lirih dan terisak menangis saat berdiri tepat di depan motor Bara. Menghalangi jalan laki-laki itu dengan cara merentangkan kedua tangannya ke samping.Bara menatap dingin Layla. Bahkan Bara bingung harus berkata dan bersikap bagaimana lagi pada Layla. Bara tahu ini hanya pernikahan kontrak, tapi Bara juga punya harga diri yang tidak bisa diinjak seperti itu apalagi oleh orang-orang yang tidak dia kenal.“Minggir, La!” Mungkin jika orang-orang mendengar intonasi suara Bara akan menilai biasa saja. Tapi untuk Layla berbeda. Seolah suara itu sangat mengerikan apalagi dengan penekanan.“Bar, saya mohon, Bar.” Suara Layla penuh permohonan terdengar sangat lirih.Bahk
Bara mengendarai motornya dengan gila-gilaan, bahkan dia tidak peduli dengan suara rentetan klakson kendaraan serta teriakan orang-orang bahwa kecepatan motor Bara bisa membahayakan sekitar. Perasaan cowok itu campur aduk tak karuan, bahkan dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Bara merasa gagal. Gagal membahagiakan orang tuanya. Gagal menjadi anak yang baik dan membanggakan. Perkataan keluarga Layla sungguh berhasil masuk ke dalam kepala Bara, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi sampai hampir saja menabrakkan diri. Untung saja dia segera sadar, ketika jarak antara motor Bara dan bak sampah hanya lima meter. Napasnya seolah tercekat, detak jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai bercucuran. Bara bingung, dia bingung dengan dirinya sendiri, dia bingung mengapa harus begini. Mengapa kejadian pahit selalu dia rasakan berulang-ulang kali. Bahkan di saat harapannya ada di Layla untuk bisa mengubah seluruh hidupnya, justru semakin menanam luka itu bertubi-tubi tan
Layla mengendap-endap keluar dari kamarnya. Bahkan dia seperti seekor cucak yang menempel di dinding untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat dirinya keluar dari kamar sana.Sesuai janjinya pada Yunda kalau malam ini mereka akan bertemu dan Layla akan menjelaskan secara detail masalah yang sedang dia hadapi bersama Bara. Karena mau bagaimanapun juga, Yunda lah yang sudah memperkenalkan mereka berdua dan Layla tidak mau kalau sampai di cap sebagai teman yang tidak punya akhlak. Sudah diwanti-wanti jangan menyakiti Bara, justru malah membuatnya kembali merasakan trauma. Padahal nyatanya bukan kesalahan Layla.Gadis itu menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu. Meski, kemungkinan besar di jam delapan malam, kedua orang tua Layla belum tertidur dan bisa jadi mereka masih menonton televisi.Hingga langkah Layla berhenti tepat di anak tangga paling dasar. Kedua bola matanya menjelajah sekitar. Aman
Semalaman Layla tidak bisa tidur. Insomnianya kambuh, dengan berbagai masalah yang beruntun dalam hidupnya membuat dia bertanya-tanya, dosa apa yang telah dia lakukan dalam kehidupan sebelumnya? Kenapa dia bereinkarnasi menjadi sosok Layla yang tak henti-hentinya mendapat masalah. Alhasil, yang Layla lakukan hanya mengurung diri di dalam kamar. Pagi ini dia memutuskan untuk tidak masuk kerja dan izin pada Yunda dengan alasan sakit tak enak badan. Yunda sempat cemas, namun Layla meyakinkan sahabatnya itu kalau dia baik-baik saja. Ketika semua orang tidak ada di rumah. Mama pergi bertemu dengan teman-teman arisannya, Papa bekerja dan Kevin sekolah. Alhasil, yang Layla lakukan adalah dia ingin menemui Bara. Layla berencana pergi ke kantor Bara. Dia betul-betul nekat untuk pergi ke sana, karena dirasa tidak ada cara lain lagi selain menemui laki-laki itu tanpa ke rumahnya. Gadis itu mengenakan dress di bawah lutut berwarna krim yang memperlihatkan tubuh rampingnya dan sepasang kaki jen
Layla merasa tubuhnya lelah luar biasa. Selama seharian dia bahkan nyaris belum istirahat. Dia harus menyelesaikan banyak kerjaan di kantor, apalagi banyak berkas-berkas yang harus dia tanda tangan. Belum lagi beberapa karyawan ada yang mengajukan cuti.Layla baru tiba di rumahnya di pukul enam sore tepat. Lapar dan harus berjibaku dengan kemacetan kota Jakarta adalah perpaduan yang harus dihindari. Kepala Layla kini terasa kunang-kunang, bahkan dia sangat lemas saat turun dari mobil.Layla melihat ada beberapa mobil mewah terparkir di pelataran rumahnya. Dia mengernyit heran dan bertanya-tanya, tamu siapa yang datang?Layla berusaha tidak peduli, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Pikirannya hanya terpusat pada ranjang kamarnya yang melambai-lambai menunggu sang pemilik datang. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu utama yang terbuka. Kedua manik matanya menangkap ada tamu yang datang. Keluarga. Terlihat betul-betul asing dan tak Layla kenali.Gadis itu secepat kilat
Ada teori yang mengemukakan bahwa pada umumnya manusia memiliki banyak wajah. Pertama, wajah yang dia tampilkan di muka umum. Kedua, wajah yang dia tampilkan di depan sahabat. Ketiga, wajah yang ditampilkan di depan keluarga.Layla di depan orang-orang di muka umum bisa saja terlihat sebagai Layla yang banyak gaya, elegan, dingin, jutek, mengerikan sekaligus punya tatapan tajam, ditakuti banyak orang dan semena-mena. Berbeda kalau di hadapan keluarga, Layla yang selalu menurut dan kalah telak kalau sudah berurusan dengan Mamanya. Dia tidak bisa membantah apalagi melawan.Makanya Layla sering kali kesal kalau tiap kali ada orang yang bilang, “Sama orang lain aja kayak gitu sikapnya, gimana sama keluarga? Ngelawan aja kayaknya.” Tapi mereka tidak tahu apa yang dirasakan Layla bila sudah ditekan harus perfeksionis di hadapan keluarga.Kali ini, Layla sedang berada di ruang meeting bersama dengan beberapa rekan kerja dan tentunya Yunda. Beberapa karyawan menatapnya bingung, karena Layla s
Yunda memarkirkan mobilnya di pelataran toko kelontong persis sebelah sebuah gang kecil yang hanya muat satu motor. Sesuai permintaan Layla, Yunda memilih untuk ke rumah Bara sekaligus ingin bertanya persoalan yang menimpa mereka. Karena Yunda tidak ingin mendengar hanya sebelah pihak, dia butuh penjelasan dari Layla dan juga Bara.Gadis itu berjalan menelusuri gang yang mengantarnya menuju rumah Bara. Masih ramai orang di sana, ada sekelompok Ibu-ibu yang sedang mengobrol di warung. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari sembari teriak-teriak. Ada gerobak penjual nasi goreng keliling yang dikerumuni pembeli. Ada sekumpulan laki-laki sedang duduk di pos kamling.Suasana perkampungan di tengah kota Jakarta, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Suasana menyenangkan dan jiwa bersosialisasi yang sangat tinggi. Yunda tersenyum dan mengucapkan kata ‘Permisi' tiap kali melewati orang-orang di sana dan mereka menyambut serta menjawab dengan sopan dan r
Layla mengendap-endap keluar dari kamarnya. Bahkan dia seperti seekor cucak yang menempel di dinding untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat dirinya keluar dari kamar sana.Sesuai janjinya pada Yunda kalau malam ini mereka akan bertemu dan Layla akan menjelaskan secara detail masalah yang sedang dia hadapi bersama Bara. Karena mau bagaimanapun juga, Yunda lah yang sudah memperkenalkan mereka berdua dan Layla tidak mau kalau sampai di cap sebagai teman yang tidak punya akhlak. Sudah diwanti-wanti jangan menyakiti Bara, justru malah membuatnya kembali merasakan trauma. Padahal nyatanya bukan kesalahan Layla.Gadis itu menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu. Meski, kemungkinan besar di jam delapan malam, kedua orang tua Layla belum tertidur dan bisa jadi mereka masih menonton televisi.Hingga langkah Layla berhenti tepat di anak tangga paling dasar. Kedua bola matanya menjelajah sekitar. Aman
Bara mengendarai motornya dengan gila-gilaan, bahkan dia tidak peduli dengan suara rentetan klakson kendaraan serta teriakan orang-orang bahwa kecepatan motor Bara bisa membahayakan sekitar. Perasaan cowok itu campur aduk tak karuan, bahkan dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Bara merasa gagal. Gagal membahagiakan orang tuanya. Gagal menjadi anak yang baik dan membanggakan. Perkataan keluarga Layla sungguh berhasil masuk ke dalam kepala Bara, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi sampai hampir saja menabrakkan diri. Untung saja dia segera sadar, ketika jarak antara motor Bara dan bak sampah hanya lima meter. Napasnya seolah tercekat, detak jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai bercucuran. Bara bingung, dia bingung dengan dirinya sendiri, dia bingung mengapa harus begini. Mengapa kejadian pahit selalu dia rasakan berulang-ulang kali. Bahkan di saat harapannya ada di Layla untuk bisa mengubah seluruh hidupnya, justru semakin menanam luka itu bertubi-tubi tan
Dengan perasaan gusar, Bara bergegas naik ke atas motornya, memakai helm dan menyalakan mesin. Sewaktu dia hendak pergi, teriakan Layla menginterupsi dari kejauhan.“BARAAA!!”Dilihat gadis itu berlari kencang menghampiri Bara. Ada yang berbeda dari Layla. Dia menangis.“Bara saya mohon jangan pergi!” pinta Layla dengan suara lirih dan terisak menangis saat berdiri tepat di depan motor Bara. Menghalangi jalan laki-laki itu dengan cara merentangkan kedua tangannya ke samping.Bara menatap dingin Layla. Bahkan Bara bingung harus berkata dan bersikap bagaimana lagi pada Layla. Bara tahu ini hanya pernikahan kontrak, tapi Bara juga punya harga diri yang tidak bisa diinjak seperti itu apalagi oleh orang-orang yang tidak dia kenal.“Minggir, La!” Mungkin jika orang-orang mendengar intonasi suara Bara akan menilai biasa saja. Tapi untuk Layla berbeda. Seolah suara itu sangat mengerikan apalagi dengan penekanan.“Bar, saya mohon, Bar.” Suara Layla penuh permohonan terdengar sangat lirih.Bahk
Bara menelan ludah saat melihat tatapan dari pihak keluarga besar Layla terpusat padanya, dengan berbagai macam ekspresi dan tentunya menyelidik. Bara menghela napas, berusaha menguatkan diri untuk mendapatkan serentetan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ekstra hati-hati. “Selamat siang.” Bara menyapa, memecahkan suasana hening di aula sana. “Layla? Kamu nggak salah ngomong, kan?” pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang perempuan tua. Dia Neneknya Layla, ibu dari Papa Layla. Tentu saja pertanyaan sarkastis itu berhasil membuat Bara ciut. Pasalnya, tatapan tajam dan sinis Neneknya itu tidak hentinya meneliti penampilan Bara. “Nggak dong, Nek. Ini Bara. Fernanda Bara. Calon suami Layla.” Layla dengan bangga memperkenalkan Bara. Namun justru respons tidak baik Bara dapatkan dari pasang mata yang menatap. Rasanya Bara kikuk, dia mengelus tengkuknya. Berada di situasi macam begini sungguh membuat Bara bingung harus melakukan apa, berkata apa, selain hanya diam dan melirik La
Jalanan kota Jakarta di malam hari adalah musuh terbesar bagi para pekerja yang baru pulang dari kantor dan harus dihadapkan dengan rentetan kendaraan dengan suara klakson tiada henti silih berganti, memekakkan telinga dan menguji kesabaran.Bara sudah berkali-kali berdecak kesal, di saat dirinya mau menyalip kendaraan, ada saja halangan dan membuatnya harus bersabar demi segera sampai di tempat tujuan.Lima belas menit Bara menunggu kemacetan itu, akhirnya ada peluang untuk masuk ke sisi kendaraan dan menyalip. Beginilah enaknya pakai kendaraan roda dua di tengah-tengah kemacetan, bisa mencuri jalan orang lain untuk mendahului. Memang tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Tapi, sepertinya hampir semua pengendara motor melakukan itu, bukan?Motor Bara berhenti tepat di sebuah pelataran kafe. Cowok itu membuka helm dan turun dari motor. Masih mengenakan pakaian kerja, Bara sengaja mampir ke kafe itu karena sudah ada janji dengan Yunda. Dia ingin membahas terkait Layla.“Lama nu