Malam itu, Alexander Blackwood berjalan menuju sebuah pub yang tersembunyi di sisi kota Riverton, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk. Langkahnya berat, seperti membawa beban yang begitu tak tertahan. Pikirannya dipenuhi kekacauan yang memukulnya dari berbagai arah. Rasa bersalah, kekecewaan, serta bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Saat memasuki pub yang remang-remang, dia disambut oleh aroma alkohol dan suara musik blues yang mengalun pelan. Dia menuju bar, memesan segelas scotch yang langsung dia tenggak dalam satu kali minum. Pahit alkohol mengalir di tenggorokannya, tapi tidak sedikit pun mengurangi rasa sakit di dadanya. Dia memesan lagi, lagi, hingga beberapa gelas telah kosong di depannya.Wajah Elena berkelebat dalam benak Alex. Ekspresi kecewa dan marah yang Elena tunjukkan saat pertemuan terakhir mereka di kantor Blackwood, membekas dalam ingatan Alex. Setiap sisi wajah Elena menyayat hatinya. Membuat Alex sadar betapa besar kerusakan yang telah Elena buat at
Alex yang masih terpengaruh alkohol mulai menggeliat dan membuka matanya sedikit. Samar-samar dia melihat sosok yang duduk di tepi ranjang. Dalam pandangannya yang kabur, sosok itu tampak seperti Elena—berambut coklat gelap yang panjang terurai, mengenakan gaun hitam.“Elena?” gumam Alex serak. Tangan pria itu bergerak mencari-cari jemari Tabitha. Rasa hangat dari sentuhan itu seolah memberinya rasa tenang. Dan tanpa sadar, dia menarik tubuh Tabitha lebih dekat, seolah ingin memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata.“Kenapa kau pergi begitu saja tanpa mau mendengar penjelasanku?” gumam Alex, sambil menggenggam erat tangan Tabitha.Tabitha menahan napas sejenak, tahu bahwa Alex sedang dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar. Namun ketika Alex menariknya mendekat sambil menatapnya dengan sorot mata yang penuh kerinduan, Tabitha tidak tahan. Sebuah rasa yang tertahan di dadanya selama ini pun muncul ke permukaan. Dia tahu Alex mengira dirinya adalah Elena, tetapi bagian dari di
Tabitha menyadari tatapan Alex yang penuh tanda tanya sekaligus marah ke arahnya. Dia hanya tersenyum tipis, lalu berdiri mendekat dengan langkah tenang. "Selamat pagi, Alex," sapanya pelan.“Apa yang kau lakukan di sini?” hardik Alex, lirih namun tajam.Tabitha menautkan kedua alisnya. “Kamu tahu ini hotel keluargaku, bukan?” timpalnya enteng.Alex menatap Tabitha lebih tajam. Kemudian menyeret lengan wanita itu, untuk pergi menghindari kerumunan. Setelah berada pada sudut lobi yang sepi, Alex melepaskan lengan Tabitha.“Aku tidak mungkin datang ke sini,” ucap Alex. “Apa yang kau lakukan padaku?”Sedetik Tabitha mengedipkan mata dengan mata lebar. Kemudian tawanya membuncah.“Lakukan? Apakah kau pikir, aku menodaimu?” olok Tabitha, di sela tawanya.Alex menghela napas. Mulai mengusap wajahnya sejenak untuk menenangkan diri. "Kenapa ke hotel keluargamu?" protesnya sinis. “Kau sengaja melakukan ini untuk menjebakku. Karena kau tahu, asistenku tidak akan menduga kalau aku ada di sini,”
Vero yang tengah sibuk mengawasi staf dalam persiapan makan malam, merasakan kehadiran seseorang yang mendekat padanya. Ketika dia menoleh, David sudah berdiri di dekatnya. Pria itu tidak bicara langsung, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak.“David?” sapanya. Vero mengerutkan dahi, bingung dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Apalagi tanpa Alex. “Ada yang bisa kubantu, David?”David tidak langsung menjawab. Sebaliknya dia melipat tangannya di dada, seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat untuk diucapkan pada Vero.“Tuan Alex ingin bertemu denganmu,” kata David pada akhirnya.Vero terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara David yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sebagai kepala pelayan mansion Blackwood, dia su
Pagi itu, suasana di mansion Blackwood terasa lebih sunyi dari biasanya. Para pelayan berjalan dengan langkah pelan, seolah menghindari percakapan apa pun. Mereka sudah mendengar desas-desus kabar tentang Vero, meski tidak menemukan alasan pemecatan yang jelas.Di salah satu kamar di lantai bawah, Vero sedang mengemasi barang-barangnya. Dia duduk di tepi ranjang, memandangi koper yang setengah penuh di depannya. Tangannya gemetar saat dia mengambil foto-foto lama dari meja samping ranjangnya. Foto-foto itu adalah kenangannya selama bekerja di mansion. Ada gambar dia bersama Sophia saat ulang tahun gadis kecil itu, foto bersama para staf saat pesta perayaan akhir tahun, dan beberapa momen lain.Vero meletakkan foto-foto itu dengan hati-hati di koper, sambil memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal. Sementara itu, di luar kamar David berdiri dengan ek
Kata-kata Sophia itu menusuk Alex seperti pisau tajam. Dia tidak menyangka Sophia merasa seperti itu. Namun Alex mencoba untuk tetap tenang. Perlahan menarik napas, dan bergerak satu langkah mendekati Sophia."Sophia, Papa peduli padamu. Segala yang Papa lakukan adalah untuk kamu,""Tidak! Kalau Papa peduli, Papa tidak akan mengusir Bibi Vero! Papa juga tidak akan membiarkan Elena pergi Aku benci Papa!" teriak Sophia. Wajahnya memerah.Setelah melontarkan kata-kata itu, Sophia berlari ke atas menuju kamarnya. Suara pintu yang dibanting terdengar menggema di seluruh mansion. Sementara Alex berdiri terpaku di tempatnya, mencoba mencerna segala yang terjadi. Amarah Sophia adalah sesuatu yang baru baginya. Anak yang biasanya pendiam dan tidak pernah menuntut, tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.
Meja makan besar yang biasanya terasa sunyi kini dipenuhi dengan suara pelayan yang menata hidangan. Aroma roti panggang, telur dadar, dan kopi menguar di udara pagi ini. Alex duduk di ujung meja dengan ekspresi datar, memegang secangkir kopi hitam yang baru dituangkan. Di sampingnya, Sophia sibuk mengoleskan selai stroberi ke roti panggangnya, dengan wajah sedikit murung. Sementara Victoria, duduk di depan Alex dengan teh bunga krisan di depannya. Sesekali dia memandang Alex penuh selidik, seakan ingin menelaah suasana hati Alex pagi ini."Papa," Sophia tiba-tiba memecah keheningan. "Hari ini akhir pekan. Apa kita bisa pergi bermain?"Alex mendongak dengan sedikit terkejut. Dia menatap Sophia, mencoba tersenyum. “Tentu saja. Kamu mau ke mana?”Sophia mengangkat bahu kecilnya. “Aku tidak tahu. Ke t
Di sebuah ruangan privat di lantai paling atas hotel mewah milik Thompson Group, James duduk di sofa kulit hitam dengan santai. Pemandangan kota Riverton yang gemerlap di malam hari terlihat dari jendela besar di belakangnya. Di hadapannya, Tuan Thompson sedang menuang segelas anggur merah ke dalam gelas kristal. Dengan gerakan tenang, pria paruh baya itu membawa gelasnya ke meja kecil di antara mereka, lalu duduk di kursi berhadapan dengan James.“Jadi,” Tuan Thompson membuka percakapan. “Bagaimana perkembanganmu dengan Elena?”James menatap Tuan Thompson dengan ekspresi serius. “Dia mulai mendengarkan, meskipun butuh waktu. Elena adalah tipe wanita yang keras kepala, tapi aku bisa merasakan keraguannya terhadap Alex semakin besar. Dia tidak lagi memandang pernikahannya sebagai sesuatu yang sempurna,”Tuan Thompson mengangguk perlahan, mengambil seteguk anggur. “Bagus. Kita tidak bisa membiarkan dia bertahan terlalu lama dalam keluarga Blackwood. Elena adalah kunci untuk menjatuhkan
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi