Kata-kata Sophia itu menusuk Alex seperti pisau tajam. Dia tidak menyangka Sophia merasa seperti itu. Namun Alex mencoba untuk tetap tenang. Perlahan menarik napas, dan bergerak satu langkah mendekati Sophia.
"Sophia, Papa peduli padamu. Segala yang Papa lakukan adalah untuk kamu,"
"Tidak! Kalau Papa peduli, Papa tidak akan mengusir Bibi Vero! Papa juga tidak akan membiarkan Elena pergi Aku benci Papa!" teriak Sophia. Wajahnya memerah.
Setelah melontarkan kata-kata itu, Sophia berlari ke atas menuju kamarnya. Suara pintu yang dibanting terdengar menggema di seluruh mansion. Sementara Alex berdiri terpaku di tempatnya, mencoba mencerna segala yang terjadi. Amarah Sophia adalah sesuatu yang baru baginya. Anak yang biasanya pendiam dan tidak pernah menuntut, tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.
Meja makan besar yang biasanya terasa sunyi kini dipenuhi dengan suara pelayan yang menata hidangan. Aroma roti panggang, telur dadar, dan kopi menguar di udara pagi ini. Alex duduk di ujung meja dengan ekspresi datar, memegang secangkir kopi hitam yang baru dituangkan. Di sampingnya, Sophia sibuk mengoleskan selai stroberi ke roti panggangnya, dengan wajah sedikit murung. Sementara Victoria, duduk di depan Alex dengan teh bunga krisan di depannya. Sesekali dia memandang Alex penuh selidik, seakan ingin menelaah suasana hati Alex pagi ini."Papa," Sophia tiba-tiba memecah keheningan. "Hari ini akhir pekan. Apa kita bisa pergi bermain?"Alex mendongak dengan sedikit terkejut. Dia menatap Sophia, mencoba tersenyum. “Tentu saja. Kamu mau ke mana?”Sophia mengangkat bahu kecilnya. “Aku tidak tahu. Ke t
Di sebuah ruangan privat di lantai paling atas hotel mewah milik Thompson Group, James duduk di sofa kulit hitam dengan santai. Pemandangan kota Riverton yang gemerlap di malam hari terlihat dari jendela besar di belakangnya. Di hadapannya, Tuan Thompson sedang menuang segelas anggur merah ke dalam gelas kristal. Dengan gerakan tenang, pria paruh baya itu membawa gelasnya ke meja kecil di antara mereka, lalu duduk di kursi berhadapan dengan James.“Jadi,” Tuan Thompson membuka percakapan. “Bagaimana perkembanganmu dengan Elena?”James menatap Tuan Thompson dengan ekspresi serius. “Dia mulai mendengarkan, meskipun butuh waktu. Elena adalah tipe wanita yang keras kepala, tapi aku bisa merasakan keraguannya terhadap Alex semakin besar. Dia tidak lagi memandang pernikahannya sebagai sesuatu yang sempurna,”Tuan Thompson mengangguk perlahan, mengambil seteguk anggur. “Bagus. Kita tidak bisa membiarkan dia bertahan terlalu lama dalam keluarga Blackwood. Elena adalah kunci untuk menjatuhkan
“Elena?” James melambaikan kelima jari di depan muka Elena. “Elena?” panggilnya sekali lagi.Elena terperanjat. Dia baru sadar, dia melamun ketika James masih ada di depannya. Sementara James langsung mendengus kesal, tahu jika Elena sejak tadi tidak mendengarkan penjelasannya.“Kau tahu apa yang kubicarakan?” tanya James, sengaja.Elena angkat bahu. “Aku terlalu lelah, James. Sorry,” Dia tidak berani memandang langsung ke arah James.James menarik napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya. Kedua tangan terlipat di depan dada.“Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kau masih memikirkan pria itu?” tanya James dengan nada tidak enak.Elena memicingkan matanya. “Kenapa kau selalu membawa nama Alex?”“Tentu saja!” sambar James. “Dia telah menghancurkan bisnisku, dan kini meninggalkanmu!”Mendengar ungkapan kekesalan dari James, Elena seketika diam. Dia tidak ingin mendebat, karena apa yang dikatakan James memang benar adanya.“Lalu apa rencanamu?” Elena berusaha kembali ke topik.Pertanyaa
Elena meremas cangkir kopi di tangannya dengan gemetar. Kemudian dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, napasnya pendek-pendek. Dia tidak bisa memutuskan apakah harus senang atau justru sedih. Semuanya bercampur menjadi satu."Bagaimana ini bisa terjadi?" gumamnya pada diri sendiri. Duduk di balik meja kerjanya.Elena tidak pernah menceritakan tentang fakta ini. Dan hanya dia dan James yang tahu. Kemudian Elena berseru lirih, tersadar akan pembicaraannya dengan James dua hari lalu. Tentang James yang akan menyerang Alex.Tiba-tiba terdengar suara ketukan lembut di pintu ruangannya. Elena buru-buru menutup layar komputer yang menayangkan berita tentang Alex."Masuk," katanya dengan nada datar.Seorang karyawan masuk, membawa dokumen yang harus ditandatangani. "Maaf mengganggu, Bu Elena. Ini laporan yang perlu ditinjau sebelum rapat nanti,"Elena mengangguk, mencoba menutupi kegelisahannya. "Letakkan saja di meja. Nanti saya periksa,"Setelah kolega itu keluar, dia mendesah panjang. Perasa
Elena tertegun di kursinya. Matanya melebar dan wajahnya tampak sangat terkejut. Kata-kata Vero menggema di benaknya, menimbulkan gelombang pertanyaan yang semakin sulit dia jawab."Apa maksudmu Alex mengunjungi makam ayahku?" Suara Elena bergetar. "Ayahnya yang membunuh ayahku, Vero. Kenapa dia harus ke sana?"Vero menarik napas panjang, lalu menatap Elena dengan serius. Dia tentu tidak terkejut, karena berita itu menyebar dengan begitu cepat. Itu juga menjadi alasan kenapa Vero bergegas menemui Elena.“Alex sering pergi ke sana, terkadang membawa bunga. Dan dia duduk lama di makam itu. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan,” lanjut Vero.Penjelasan dari Vero semakin membuat hati Elena mencelos. Tidak pernah menyangka. Namun di satu sisi, dia juga belum sepenuhnya percaya.Elena menggelengkan kepala. “Tidak … dia bahkan tidak bilang apa-apa … “ Dia masih mencoba untuk mengelak.Vero mengetuk jemarinya di permukaan meja. Sama-sama bimbang. “Mungkin dia merasa bersalah, atau dia mencoba
Para pemegang saham duduk dengan wajah serius, kemudian seorang moderator dari tim hukum perusahaan membuka diskusi."Terima kasih atas kehadiran semua pihak hari ini," ucap pria itu sambil berdiri di depan ruangan. Dia tak lupa membawa dokumen tebal. "Pertemuan ini diadakan untuk membahas langkah strategis perusahaan terkait isu yang melibatkan CEO kita, Alexander Blackwood,"Victoria menyesap teh yang dihidangkan di hadapannya. Wajahnya tampak tenang, meski hatinya cukup tegang. Beberapa kali dia terlihat meremas tangan yang ada di atas meja, mencoba untuk menahan emosi. Sesekali dia juga melirik Alex.Salah satu pemegang saham utama, seorang pria paruh baya bernama Richard Lennox, mengangkat tangan untuk berbicara. "Terus terang," katanya, dengan suara berat. "Perusahaan kita tidak bisa bertahan dengan isu sebesar ini tanpa tindakan tegas. Tuduhan bahwa CEO kita, Alexander Blackwood, terlibat dalam rencana pembunuhan Edward Morgan telah mengguncang pasar. Saham kita sudah mengalami
Namun Alex tidak bergeming. Pun tidak mendekati Elena, yang menangis makin keras bahkan sampai berjongkok untuk meredam suara. Pandangan pria itu dingin, namun ada setitik hal yang berbeda. Mata Alex memerah, dan urat-urat halus di lehernya begitu terlihat. Dia mengepalkan tangan erat-erat, mencoba untuk tidak terbawa suasana. Jika bisa, Alex ingin memeluk Elena saat ini juga. Namun dia teringat berita-berita menghebohkan tentangnya di luar sana.“Jadi … kau benar-benar bicara pada semua orang?” tanya Alex, setelah beberapa saat diam.“Apa? Bicara apa?” isak Elena. Sekuat tenaga dia menghentikan tangisnya.Alex menghela napas berat. “Berita yang sudah tersebar diluar sana,” jawab Alex. “Apakah kau begitu ingin bercerai dariku?”Mulut Elena ternganga. Itu bukan ulahnya, namun ulah James. Tapi bukan berarti Elena tidak tahu akan hal itu, karena James sudah bicara lebih dulu sebelum berita itu tersebar. Maka dari itu, Elena tidak bisa menjawab pertanyaan Alex.“Selamat, Elena. Kau berhas
Pagi ini suasana di kantor Blackwood Industries terasa lebih tegang dari biasanya. Semua karyawan bergerak dengan hati-hati, berkasak-kusuk tentang hari yang akan menentukan nasib Alex sebagai CEO.Di lantai atas, Alex duduk di kursinya. Matanya menatap tajam dokumen-dokumen di meja, tetapi pikirannya melayang. Dua hari berlalu setelah rapat pemegang saham. Dan keputusan hari ini akan menentukan segalanya.Pintu terbuka dan David melangkah masuk dengan wajah tegang. Dia menutup pintu di belakang, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka."David," Alex menyapa singkat. “Ada apa?”David duduk di kursi di depan meja Alex. Kemudian meletakkan sebuah amplop tebal di atas meja. “Saya sudah menyelidiki semuanya, Tuan. Dan inilah jawabannya,”Alex mengambil amplop itu, membuka dengan hati-hati. Di dalamnya ada dokumen-dokumen dan foto-foto yang menunjukkan bukti jelas tentang siapa dalang di balik berita yang menyerangnya. Wajah Alex mengeras saat dia membaca isi dokumen itu."Be
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi