Ruangan rapat itu masih hening, meski Alex sudah pergi sejak tadi. Moderator tampak berdiskusi singkat dengan beberapa dewan, kemudian dia kembali berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya tegang, namun tenang di saat yang bersamaan."Setelah diskusi panjang dan mempertimbangkan berbagai faktor, dewan pemegang saham sepakat untuk menunjuk Adrian Blackwood sebagai CEO baru Blackwood Industries, efektif segera setelah proses transisi selesai,"Keheningan menyelimuti ruangan, seakan semua orang menahan napas. Suara pena yang jatuh di meja bahkan terdengar begitu nyaring. Semua orang berpikir betapa mendadaknya keputusan ini. Victoria Blackwood terlihat pucat. Bibirnya yang terkatup rapat tampak bergetar, dan matanya terpaku pada Adrian.Di sisi lain, Adrian tidak menunjukkan ekspresi bangga atau bahagia. Justru wajahny
Pagi ini Elena duduk di meja dapur rumah ibunya. Dia memegang cangkir teh yang sudah dingin. Sementara matanya terpaku pada layar ponsel, membaca berita yang terus bermunculan tentang Alex. Salah satu judul berita besar di sebuah portal online menarik perhatiannya.“Alexander Blackwood Mundur Sebagai CEO, Adrian Blackwood Kini Pimpin Blackwood Industries”Elena merasa napasnya terhenti. Jarinya menyentuh layar, membuka artikel tersebut. Isi beritanya penuh dengan detail rapat pemegang saham, keputusan Alex yang mengejutkan dan bagaimana Adrian kini mengambil alih posisi itu."Bagaimana ini bisa terjadi?" gumam Elena pada dirinya sendiri.Satu kalimat yang membuat dada Elena terasa makin sesak berbunyi: &ldqu
Adrian tiba di kantor dengan langkah percaya diri. Dia mengenakan setelan abu-abu gelap yang sempurna. Aura dinginnya membuat semua orang di lobi menunduk, tidak ingin menatap langsung ke arah pria yang sekarang memegang kekuasaan tertinggi di perusahaan itu. Ada bisikan-bisikan di antara para karyawan, namun Adrian tidak peduli.Di ruang rapat besar, para eksekutif telah berkumpul untuk menyambut pemimpin baru mereka. Victoria hadir dan duduk di sudut meja. Ekspresinya datar, namun sorot matanya yang tajam terus mengawasi Adrian.Adrian berdiri di depan ruang rapat. Dia mengambil alih ruangan dengan karisma yang dingin."Mulai hari ini, saya secara resmi mengambil alih sebagai CEO Blackwood Industries. Perubahan adalah hal yang tidak terelakkan dalam dunia bisnis, dan saya berencana memastikan bahwa kita bergerak maju dengan strategi yang lebih agresif dan inovatif,"Para eksekutif mengangguk setuju, meski ada ketegangan yang tidak terucap di antara mereka. Kepergian Alex yang selama
Matahari pagi memancarkan sinarnya yang lembut ke jendela besar di ruang makan mansion Blackwood. Alex duduk di kursi, menikmati secangkir kopi hitam yang mengepul di depannya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan kedamaian seperti ini. Udara pagi terasa segar,dan keheningan yang melingkupi mansion memberinya ketenangan yang jarang dia rasakan.Alex mengalihkan pandangan ke taman luar melalui jendela kaca, di mana burung-burung kecil berkicau di antara pohon-pohon rimbun. Aroma segar rumput yang baru disiram membuat suasana semakin menenangkan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, pikirannya tidak dipenuhi oleh rapat atau konflik internal perusahaan. Bahkan Alex sengaja mematikan ponselnya dan meminta David agar tidak mengganggu.Ketika langkah kecil terdengar dari arah tangga, dia menoleh dan melihat Sophia turun dengan wajah mengantuk. Gadis
Di dalam, suasana kamar itu masih sama seperti dulu. Lampu kristal yang gemerlap, ranjang besar yang terbungkus dengan sprei putih bersih dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun suasana di dalamnya terasa sangat berbeda. Ada rasa hampa yang mengisi udara di sekeliling kamar pengantin.Alex menutup pintu dengan pelan setelah Elena masuk ke dalam. Jantung Elena berdegup makin kencang, bersamaan dengan bunyi pintu yang ditutup. Alex bergerak. Matanya terfokus pada Elena, yang berdiri di tengah ruangan dengan tatapan kosong.Alex melangkah ke arah meja di samping ranjang. Lantas menunduk sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat.“Sudah lama aku tidak masuk ke kamar ini,” kata Alex, suaranya serak.Elena berdiri diam. Matanya menelusuri setiap sudut kamar itu, namun tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Sesekali ekor matanya menangkap tubuh tegap Alex dibalik kemejanya, yang mengeluarkan aroma cedarwood. Aroma yang begitu dirindukan Elena.Hati Elena berdesir. Se
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Menyentuh lembut wajah Elena yang masih terlelap. Kelopak matanya perlahan terbuka. Elena membutuhkan beberapa detik untuk menyadari di mana dia berada. Elena menoleh dan tersenyum tipis melihat pemandangan di sebelahnya. Alex terbaring di sampingnya, wajah pria itu tampak tenang dalam tidur yang lelap. Membuat Alex tampak seperti pria hangat.Hati Elena berdebar kencang. Ini adalah pertama kalinya dia bangun dengan Alex di sisinya. Selama pernikahan mereka, Alex selalu pergi sebelum matahari terbit. Meninggalkan Elena dengan perasaan hampa. Tapi pagi ini, Alex tetap di sini, di sampingnya. Seolah berusaha membuktikan bahwa semuanya telah berubah.Elena mengulurkan tangan, ragu-ragu. Tetapi dorongan dalam dirinya terlalu kuat. Elena membiarkan ujung jarinya menyentuh perlahan pipi Alex, menelusuri garis rahang kokoh pria itu. Sentuhan itu membuat hati Elena mencelos. Dia tidak sedang bermimpi.Air mata menggenang di sudut mat
Elena duduk di kursi dekat jendela sebuah kafe kecil yang tenang, dengan Tabitha di hadapannya. Meski wajahnya tampak tenang, hatinya berkecamuk. Berhadapan dengan Tabitha setelah pertikaiannya dengan Alex–yang memakan waktu cukup lama, bukanlah perkara mudah bagi Elena. Tentu ada sedikit pikiran buruk. Yang sekuat tenaga berusaha dia tepis.“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Elena membuka percakapan.Tabitha menarik napas panjang, menyesap kopinya sejenak sebelum memulai. “Jadi kalian berdua sudah berdamai, ya?” Elena membeku mendengar pertanyaan Tabitha. Tangannya yang menggenggam cangkir kopi sedikit gemetar. “Apa maksudmu?”Tabitha menatap Elena dengan alis terangkat. “Jangan bilang kau cemburu padaku?” tanyanya, dengan nada mencemooh.“Tentu saja tidak,” balas Elena ketus. Dia tidak ingin terlihat gentar di depan Tabitha.Tabitha tersenyum. Senyum yang meremehkan, meski dia tidak memandang Elena. Dia memilih fokus pada cangkir di hadapannya.“Aku senang akhirnya kau datang. M
Elena tiba di rumah ibunya menjelang senja. Lina yang sedang sibuk di dapur tampak terkejut melihat Elena membawa koper kecil di tangannya. Dia tampak lelah karena setumpuk pekerjaan di kantor, namun berusaha untuk tetap menjadi ibu yang baik.“Mau kemana?” tanya Lina. Wajahnya tegang, menunggu jawaban Elena.Elena tersenyum kecil dan berjalan mendekat. Dia meletakkan kopernya di sudut ruang tamu sebelum menghampiri ibunya. "Aku hanya mampir untuk mengambil barang-barangku. Aku akan tinggal lagi di mansion," jawabnya pelan.Lina langsung berhenti mengaduk masakan dan memandang Elena dengan mata membulat. "Kembali ke mansion? Maksudmu... bersama Alex?"Elena mengangguk. Dia duduk di kursi meja makan dan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ya. Aku sudah memutuskan untuk kembali tinggal bersama Alex,”"Kau yakin?" Lina bertanya hati-hati. "Beberapa waktu lalu, kau terlihat begitu kecewa dan ingin menjauh darinya. Apa yang sebenarnya terjadi?”Elena menggigit bibir bawahnya, mat
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi