Arimbi hanya bisa menatap lurus kedepan. Otak wanita itu terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani? Berapa lama dia akan bertahan dengan pernikahan ini? Istri ke dua, suami sadomasis. Ah, lengkap sudah penderitaan Arimbi.
Membicarakan kelainan seks ini, Arimbi sudah mencari tahu tentang apa itu sadomasokis, dan itu membuat Arimbi ketakutan hingga kini.
"Kita sudah sampai, Nyonya kecil!" ujar seorang pengawal. Arimbi menarik napas, memenuhi seluruh rongga dadanya, untuk menekan rasa tegang dalam hati.
Arimbi turun dari mobil itu. Berdiri menatap rumah megah yang dua hari lalu sempat membuat gadis itu kagum akan tetapi kini malah membuatnya di landa rasa cemas, ngeri dan takut. Membayangkan bagaiman penghuni rumah ini bertingkah laku. Melebihi kelakuan bintang.
"Hm,hm!" deheman keras seseorang membuat Arimbi berjengit.
"Apa yang sedang kau rencakan dengan menatap rumah ku? Apa sekarang kau sedang merencanakan untuk membakarnya?" ucap Sagara menatap tajam pada Arimbi. Memindai seluruh tubuh sang isteri. Refleks Arimbi menyilangkan kedua tangan di dada. Ada rasa ngeri saat membayangkan Sagara memukuli seluruh tubuh Arimbi. Rasa sakit itu membuat Arimbi bergidik ngeri."Sepertinya ide yang bagus. Bagaimana kalau nanti malam saat kalian semua sedang pulas lalu kubakar rumah ini!?" balas Arimbi. Gadis itu pun heran dengan keberaniannya berkata demikian.
"Coba saja kalau bisa? Kalau kau ingin kehilangan kaki, tangan dan kedua orang tuamu!" lanjut Sagara memberi ancaman pada Arimbi.
Arimbi mengedikkan bahu, dan memutar mata malas. Hal itu sebenarnya ia lakukan untuk menutupi rasa cemasnya.
Rahang Sagara mengeras. Pria itu mendengkus, berjalan mendahului Arimbi yang masih saja terus merutukinya dalam hati. Sebenarnya gadis itu tahu kalau ia berdosa karena sudah memaki-maki Sagara meski hanya dalam hati. Tapi, mau bagaimana lagi pria yang kini jadi suaminya tak hanya sombong, angkuh dan kasar dia juga sakit.
"Huh, bagaimana bisa ada orang seangkuh dan sesombong itu?" rutuk Arimbi. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah mengikuti Sagara.
"Ck, kau ... rusa kecil menyusahkan saja!" bentak Felicia begitu Arimbi masuk dalam rumah. "Cepat ganti bajumu dan kita pergi sekarang!" titah Felicia lagi.
"Batalkan! Kita ke butikmu saja, Fel, setelah itu kita pergi makan malam!" tukas Sagara membuat Felicia mengerutkan kening.
"Maksudmu kami pergi ber--samamu? Dengan rusa kecil ini juga? Kita bertiga?" Felicia terlihat tak percaya. Selama hampir tiga tahun menjadi istri siri Sagara tak sekali pun pria itu mau menemaninya belanja atau sekedar makan malam. Dan, tiba-tiba sekarang, dia mengajak makan malam akan tetapi bertiga. "Apakah alasan Sagara rusa kecil itu?" batin Felicia. Netra wanita itu menatap tajam ke arah Sagara.
Sementara Felicia sibuk menebak-nebak alasan di balik ajakan Sagara. Arimbi, wanita itu malah sibuk mengamati wajah dan tubuh Felicia. Arimbi tak dapat menyimpan rasa penasarannya. Dengan memberanikan diri Arimbi pun bertanya pada Felicia.
"Mbak!" panggil Arimbi pada Felicia yang termenung. Tatapan wanita itu fokus pada ponsel tapi sebenarnya pikiran Felicia tengah berkelana entah kemana. Karena tak juga mendapatkan respon dari Felicia, Arimbi memberanikan diri menyentuh bahu wanita itu.
"Mbak, Mbak Felicia!" panggil Arimbi lagi.
"Ha! Apa?" Felicia tergeragap. Namun, wajah wanita itu seketika masam ketika melihat wajah Arimbi tepat di depannya. Wanita itu memutar mata malas melihat Arimbi tengah mengamatinya. "Katakan apa yang ingin kau tanyakan? Wajah penasaran sangat mengganggu! Tidak enak dilihat!" Arimbi mencebikkan bibirnya mendengar kalimat terakhir Felicia.
"Itu ...!" Arimbi menunjuk wajah Felicia. "Kemana semua luka-luka di wajah dan lengan Mbak Felicia? Kok sudah gak ada! Apa mbak sedang membohongiku? Menakut-nakuti ku kalau Tuan Sagara seorang Sadomasokis?" Arimbi berbisik di telinga Felicia ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Bisa habis dia kalau pria galak itu mendengarnya, pikir Arimbi.
Felicia menarik tubuhnya mejauh dari Arimbi. "Kau terlalu banyak bicara. Apa kau tak mendengar apa yang dikatakan oleh Sagara? Kita akan keluar, kebutikku dan makan malam. Sekarang bersiaplah! Kau menggangguku saja!" bentak Felicia geram.
"Ta-pi, Mbak ...!" Arimbi tak jadi melanjutkan ucapannya ketika melihat Felicia menatap dengan aura permusuhan. Arimbi mengembuskan napas kasar. "Saya tak ikut! Capek. Mau tidur!" tandas Arimbi.
"Dan aku tidak menyukai penolakan! Sekarang naik, ganti bajumu! Atau ....!"
"Oke-oke. Aku ikut. Bisanya cuman ngancam aja. Dasar arogan!" rutuk Arimbi. Wanita itu berjalan menuju tangga, namun langkahnya terhalangi Sagara yang berdiri tepat pada arah menuju tangga.
"Minggir!" bentak Arimbi. Dengan mendorong Sagara ke samping. Tapi karena tenaga Sagara lebih kuat, dorongan Arimbi sama sekali tak menggeser Sagara dari sana. Sagara tersenyum mengejek.
"Tubuh kurus kering seperti itu, coba-coba melawan ku, huh! Pikir dulu sebelum bertindak!" ejek Sagara seraya menjitak kening Arimbi. Wanita itu terlihat menggosok-gosok keningnya seolah-olah ingin menghapus bekas tangan Sagara di keningnya. Hal itu sontak membuat Sagara geram. Apa kau kira tanganku kotoran yang harua di bersihkan?" tanya Sagara dengan mata melotot ke arah Arimbi.
"Aku gak bilang lho! Tuan sendiri yang mikir begitu! Sekarang minggiiir, aku mau lewat!" bentak Arimbi, kakinya bergerak menginjak tulang kering Sagara. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dengan memegangi kakinya. Kesempatan itu digunakan Arimbi untuk segera lari menuju tangga. Tapi sebelumnya Arimbi menjulurkan lidah, mengejek Sagara.
"Kau ...!" Sagara menunjuk Arimbi dengan wajah merah padam. Tapi istri kecilnya itu hanua tergelak dan terus berlari menuju kamar. Pelan dan samar segaris lengkungan di bibir Sagara. Pria itu tersenyum samar. Hal itu tak luput dari perhatian Felicia. Wanita itu terlihat geram, tangannya mengepal menahan amarah.
"Apa kah kau sudah mulai menyukai rusa kecil itu, Dear?" tanya hati Felicia. Wanita itu kemudian mendekati Sagara, menatapnya lekat dari jarak dekat.
Sagara mengerutkan kening saat Felicia menatap sedemikian rupa. "Apa ada yang ingin kau tanyankan, Fel?" tanyanya. Felicia menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada. Hanya aku merasa sepertinya kau mulai menyukai rusa kecil itu!" Wajah Sagara sedikit terkejut mendengar ucapan Felicia. Namun, pria itu tak membantah atau pun mengiakan ucapan Felicia.
"Benar tebakanku kan? Kau mulai menyukainya?"desak Felicia. Ia ingin sekali mendengar Sagara membantah ucapannya meski pun itu dusta. Karena Felicia mengenal Sagara dengan baik. Diamnya pria itu membuat sudut hati Felicia tiba-tiba memerih. Laksana tertusuk sembilu.
Sementara itu di dalam kamar, Arimbi masih saja bengong di depan cermin. Ia telah berganti pakaian, tapi enggan untuk turun. "Apa tindakanku tadi keterlaluan? Dia tidak akan menghukumku karena hal itu, kan?" tanya Arimbi pada dirinya sendiri. "Bagaimana kalau dia ....!" Arimbi menatap wajahnya di dalam cermin dan tiba-tiba ....
"Cetar!! Hii!" Arimbi bergidik ngeri ketika tiba-tiba bayangan Sagara melecut tubuhnya dengan cambuk melintas di hayalan Arimbi." Tidak-tidak. Kau tak boleh seperti ini terus, Imbi. Kalau kau selalu ketakutan seperti ini lama-lama bisa stress dan itu gak bagus. Masa cantik-cantik stress, sih?" Arimbi terkekeh dengan apa yang tengah ia pikirkan.
Arimbi kemudian menanggalkan pakaiannya. Menarik salah satu gamis dari dalam ransel. Ia tertegun melihat gamis berwarna hijau lumut dengan sentuhan warna merah di bagian pinggang, sulaman warna emas di bagian dada itu, pandangan mata Arimbi mulai mengabur, bulir-bulir bening tiba-tiba jatuh di sudut pipi. Baju itu adalah hasil jahitan sang ibu. Arimbi memang tak pernah membeli satu pun baju gamis semua adalah hasil jahitan sang ibu.
"Bu, Imbi kangen!" bisik Arimbi, wanita itu mendekap gamis itu dan menghidu aromanya. Untuk beberapa saat ia masih saja tersedu hingga suara bel di pintu mengagetkan wanita itu.
Dengan segera Arimbi memakai gamis itu, mengenakan pashmina plisket warna merah maron, menyapukan sedikit lipstik di bibir merekah. Dia tak memperdulikan bel yang ditekan berkali-kali. Menatap wajah yang terlihat sembab di cermin. Sebelum kemudian mengenakan plat shoes warna hijau lumut senada dengan aksen di pinggang gamisnya. Meletakkan tas selempang berukuran kecil berwarna merah di bahu.
Arimbi membuka pintu dengan kasar. Ia ingin melihat pelaku yang menekan bel pintu kamar dengan tak sabaran itu. Wajah Arimbi pias melihat wajah orang itu.
"T-uan!"desis Arimbi. Mendapati Sagara lah yang menekan bel pintu kamar Arimbi. Pria itu menatap lekat ke arah Arimbi. Memindai seluruh tubuh Arimbi mulai ujung kepala sampai kaki. Menyadari kemana arah tatapan Sagara refleks Arimbi menutup dadanya dengan tas.
"Tuan liatin apa?!" bentak Arimbi. Jangan bilang kalau Tuan sedang memikirkan yang tidak-tidak!"tebak Arimbi membuat Sagara mengerutkan kening. "Memikirkan yang tidak-tidak? Seperti apa contohnya?" tanya Sagara.
"Seperti, itu, anu, seperti itu ...! Ah sial kenapa aku jadi gagu dan gugup begini sih?!"gerutu Arimbi yang dapat didengar jelas oleh Sagara.
"Apa kau pikir aku akan memikirkan sesuatu yang erotik dengan memandang tubuhmu. Aku tak tertarik pada gadis berdada rata sepertimu!" ejek Sagara tersenyum sinis. "Sekarang cepatlah turun, kami sudah hampir lumutan menunggumu!" Sagara kemudian berjalan terlebih dahulu menuruni tangga.
Wajah Arimbi memberengut mendengar ejekan Sagara tentang dadanya yang rata. Tapi sejurus kemudian dia tersenyum lebar. Bahwa pria itu tak tertarik padanya adalah sebuah keberuntungan karena dengan begitu dia tak akan mengalami siksaan oleh Sagara.
"Syukur deh, kalau seperti itu, jadi aku tak merasakan sakit dan takut, karena dia tak tertarik pada ku!" Arimbi bermonolog seorang diri.
.Mereka telah sampai di sebuah butik di kawasan Kemang. Sebuah bangunan lima lantai berdiri menjulang kokoh. Bangunan berdinding pastel itu terlihat sangat aseri. Bunga-bunga dengan aneka macam dan warna.Saat akan memasuki butik tadi Arimbi terlihat berdecak kagum dengan keindahan bunga morning glori yang menjalar pada pagar tembok butik. Warna ungu dan pink membuat mulut gadis itu tak berhenti berdecak."Ck, ck, ck. Cantik bener!!" Kini mobil memasuki halaman butik, sebelum masuk mereka di sambut bunga-bunga yang sangat indah. Bunga mandevilla nampak ditanam dengan cara bergerombol pada tiang, di atasnya dipasangi lampu yang akan menyala pada malam hari, dan keindahan bunga ini akan semakin terpancar.Saat akan memasuki butik di samping kiri kanan pintu, bunga anggrek, mawar dan juga sedap malam tumbuh subur,dan sedang berbunga. Wangi bunga mawar dan sedap malam menghentikan langkah Arimbi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah bebungaan
Makan malam berjalan hening. Makanan aneka rupa sudah terhidang di meja. Sejak masuk ke rumah Sagara dua hari yang lalu. Arimbi selalu dihantui rasa bersalah. Menghidangkan makanan sebanyak ini, yang makan hanya bertiga dan Arimbi yakin mereka hanya akan memakannya sedikit setelah itu akan meninggalkan sisanya. Kalau di rumah ada pelayan yang akan menghabisikan lauk pauknya tidak tahu kalau di restoran ini. "Kau kenapa? Apa tidak suka dengan makanannya?"tanya Sagara, entah kenapa di telinga Felicia menangkap ada hal berbeda dari cara Sagara memperlakukan Arimbi. Suara pria itu boleh saja datar dan dingin seperti biasa, tapi Felicia mengenal dengan cukup baik bagaimana seorang Sagara. Dan bisa Felicia pastikan bahwa Sagara menyimpan ketertarikan pada Arimbi. "Tentu saja ini bukan seleranya. Biasanya dia makannya tahu tempe, sayur asem dan-- "Jengkol goreng, dan ikan asin. Terus nasinya yang anget-anget. Aduh, Mbak Felicia kamu so sweet banget si
Mata Felicia menatap lekat wajah Arimbi. Sedangkan Sagara mempertajam pendengarannya. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Arimbi."Aku tak akan menjawab. Karena itu adalah masalah pribadiku. Meski aku ini adalah alat pembayar hutang tapi aku juga masih punya hak untuk memiliki privacy, kan?" Suara Arimbi terdengar pelan. Ada rasa kecewa dalam hati Sagara saat Arimbi tak menjawab pertanyaan Felicia.Suasana mobil kembali sunyi. Arimbi fokus menatap ke arah lampu kerlap kerlipnya membuat Arimbi teringat kampung halaman.Mobil kini memasuki halaman rumah Sagara. Begitu berhenti, Arimbi gegas keluar berjalan mendahului mereka. Menyisakan kerutan pada wajah Sagara. Melihat Arimbi diam seperti itu tentu saja membuatnya heran. Hampir seminggu tinggal bersama Arimbi, baru kali ini mulutnya diam. Biasanya ia berkicau laksana burung murai.Felicia sedari tadi mengamati gerak gerik Sagara. Berkali-kali ia melihat sorot mata Sagara
Huek, huek, huek!!!Berulang kali Arimbi memuntahkan isi perutnya. Masih terbayang dengan jelas gambaran bagaimana Sagara memukuli Felicia tanpa ampun. Sebelum kemudian melakukan penyatuan mereka. Felicia, wanita itu bagaimana dia bisa berteriak ke sakitan tapi juga mengiringinya dengan desahan menikmati?"Kau kenapa?""Astaghfirullah!" teriak Arimbi, matanya membeliak sàat melihat Sagara duduk di atas tempat tidur dengan menatap tajam ke arahnya."Anda ... sedang apa di sini?" tanya Arimbi dengan wajah pucat pasi seperti habis melihat hantu."Kenapa? Ini rumahku jadi aku bebas ada di mana saja selagi masih di wilayah rumah ini!" balas Sagara. Netra bak elang itu masih saja menyorot tajam ke arah Arimbi membuat wanita itu ketar ketir."Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?" Sagara mengulangi pertanyaannya"Tidak apa-apa! Mungkin masuk angin!" jawab Arimbi asal. Wanita itu kemudian berj
Arimbi menahan napasnya, manik bening itu berkedip-kedip manatap Sagara."Aku sangat membencimu, Arimbi! Bagaimana bisa gadis cilik sepertimu mengganggu pikiranku?" Sagara meracau, membuat Arimbi sontak menutup hidungnya. Bau alkohol itu membuat perut Arimbi mual.Pria itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya. Dengan sekuat tenaga Arimbi berusaha melepaskan diri tapi tak juga bisa. Tenaga Sagara terlampau kuat. Meski sekarang dia dalam keadaan mabuk. Sebenarnya rasa mabuk Sagara sudah sedikit menghilang. Tapi, pria itu memang sengaja tak mau melepaskan Arimbi dari pelukannya."Tu-tu-an! Aku tidak bisa bernapas!" bisik Arimbi. Dadanya memang terasa sesak karena kuatnya pelukan Sagara."Diamlah!" bentak Sagara. "Jangan banyak bergerak! Jangan sampai kau menyesali tindakanmu. Jadi kalau kau ingin tetap aman. Diamlah! Jangan membuat gerakan apa pun!" ucap Sagara dengan suara serak. Nyali Arimbi ciut mendengar ancaman Sagara
"Apa yang kau lakukan, Fel? Apa kau sudah gila?" teriak Sagara ketika vas bunga hampir saja mengenai kepalanya."Kau yang gila. Bagaimana kau bisa tak mengabariku sekali pun! Kau pasti bersama pelacur kecil itu kan?" teriak Felicia, tak kalah kencang. Wajah wanita itu terlihat merah padam."Apa--kau-- sudah mulai mencintainya? Apa kau sudah menyentuhnya?" Felicia menatap tajam ke arah Sagara. Wanita itu berjalan mendekat tak perduli dengan pecahan vas bunga yang melukai telapak kakinya. Warna keramik yang tadinya putih, kini berwarna merah karena darah dari luka di telapak kaki Felicia.Sagara hanya memejamkan mata melihat apa yang dilakukan Felicia. Wanita ini dua kali lebih beringas dari saat bercinta ketika dilanda cemburu seperti ini.Wanita itu kini berada tepat di hadapannya. Menyentuh wajah Sagara, awalnya lembut, tapi kemudian kuku panjang itu seperti menancap di kulit Sagara."Kau belum menjawab pertanyaanku! Apak
Sagara melangkah dengan tergesa-gesa ke dalam resto. Wira menahan napas melihat wajah Sagara yang diliputi amarah. Ingin rasanya menelpon Arimbi untuk memghentikan tawanya di depan Hans. Terlambat. Sagara telah berada tepat di hadapan tempat Arimbi.Wajah Arimbi pucat pasi. Terkejut tak terkira, hingga membuatnya tersedak. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba sudah ada di sini. Dengan ekspresi wajah menakutkan."Tu-tu-an. Anda ada di sini?" tanya Arimbi dengan terbata. Sagara mendengkus menatap tajam, seakan ingin menelan tubuh Arimbi bulat-bulat."Iya. Ini aku. Sepertinya kau sangat terkejut sekali melihatku? Apa kau sudah melakukan kesalahan? Hingga wajahmu pucat begitu?" sindir Sagara. Arimbi susah payah menelan makanannya. Kemudian membasahai tenggorokan dengan air mineral."Wow, Tuan Sagara. Anda sepertinya salah paham! Saya dan Arimb-"Diam! Tak ada yang memintamu bicara di sini! Aku hanya ingin mendengar penjelasan dari is--
Pukul tiga dini hari Sagara terbangun. Meraba tempat di sampingnya kosong. Bayangan keberadaan Arimbi tak ia temui di kamar ini. Sayup-sayup ia dengar suara isakan. Sagara melangkahkan kaki menuju ruang tengah. Ia tertegun. Arimbi nampak begitu khusyuk berdoa."Ya Allah, ya Robb. Kalau memang takdirku berada di sisi Tuan Sagara. Tolong kuatkan aku. Berikan jalan agar kami bisa mencapai pernikahan sakinah, mawaddah, warohmah. Beri suami hamba kesehatan, kemudahan dalam setiap jalannya. Sentuhlah hatinya dengan hidayahmu ya, Robb! Lindungilah di mana pun ia berada. Amin, ya robbal alamin!"Sagara mengusap netranya yang tiba-tiba memanas. Seumur hidup Sagara tak pernah mendengar orang lain dengan tulus mendoakannya. Hati Sagara membuncah penuh rasa bahagia.Perlahan pria itu kembali ketempat tidur. Berpura-pura menutup mata saat Arimbi kembali memasuki kamar. Sagara tetap memejamkan mata saat napas Arimbi menyapu wajahnya."Dia sangat tampan, s
Tubuh Arimbi gemetar mendapati tatapan membunuh dari Sagara. Pria itu, Sagara Atmaja, menatap dengan sorot amarah yang tak pernah dilihat Arimbi.Sagara kemudian menarik tangan Arimbi dengan kasar."Jangan sakiti dia!" Hans menahan tangan Arimbi. "Menolaklah kalau kau tak ingin pergi!" ucap Hans lirih. Sagara bergerak maju mendekati Hans. Melihat sorot mata Sagara yang siap menghancurkan apa pun membuat Arimbi cemas."Maaf, Mas. Saya harus pulang bersama suami saya. Tolong lepasin!" pinta Arimbi dengan sorot mengiba. Setelah mengatakan hal itu, Arimbi mengamit tubuh besar Sagara dengan tangan kecilnya. Mereka berdua berjalan keluar kafe, menuju tempat parkir di mana mobil Sagara berada. Dengan kasar Sagara membuka pintu mobil, mendorong tubuh Arimbi masuk ke dalam dengan kasar.Ia sendiri kemudian masuk ke dalam mobil. Menginjak pedal gas, melajukan sedan lexusnya dengan kecepatan tinggi. Arimbi dengan tergesa memasang sabuk pengaman.
Pagi hari Arimbi terbangun dengan perasaan kosong. Sekosong tempat tidur di sampingnya. Perempuan muda itu meraba tempat di sampingnya. Tempat di mana biasa Sagara tidur. Dingin.Arimbi mengembuskan napas pelan. Badannya terasa lemas. "Salahku sendiri, kenapa tidur lagi setelah subuhan, jadinya badan lemes kayak gini!" Arimbi bermonolog seorang diri. Ia kemudian meraih ponsel. Berharap akan ada pesan dari Sagara.Nihil. Tak ada satu pun pesan dari pria itu."Dia sangat menakutkan saat cemburu!" gumam Arimbi sembari menuang susu ke dalam gelas.Ting.Ugh,ugh. Arimbi tersedak. Dia amat terkejut dan senang dengan bunyi notifikasi ponselnya. Berharap itu adalah Sagara. Akan tetapi harapannya sirna karena ternyata yang mengiriminya pesan adalah Wira. Bukan Sagara."Lain yang gatal, lain yang digaruk. Lain yang diharap lain yang datang!" Arimbi kemudian membuka pesan Wira."Nyonya kecil tak usah khawati
Pagi hari Arimbi bangun seperti jam biasa. Memasak sarapan pagi untuk Sagara dan juga dirinya. Menu sarapan kali ini adalah nasi goreng seafood."Hmm, harum sekali!" ucap Sagara. Memeluk tubuh Arimbi dari belakang. Arimbi hanya mengulas senyuman. Rambut basah Sagara sehabis keramas membuat aroma samphoo menguar memenuhi indera penciuman Arimbi."Duduk dulu. Aku siapin tehnya!" titah Arimbi. Namun, Sagara tak juga beranjak. Tetap setia dengan posisinya saat ini. Sagara sangat menyukai wangi tubuh istrinya ini. Aromanya selalu menenangkan."Sayang, apa kau tak merasakan hal aneh akhir-akhir ini?" tanya Sagara setelah kini duduk di kursi dengan hidangan nasi goreng di depannya.Arimbi mengerutkan kening dengan pertanyaan Sagara. "Seperti apa?" tanya Arimbi. Wanita itu meletakkan teh di depan Sagara. Di samping nasi gorengnya."Aku terus merasakan mual, apalagi saat pagi seperti ini. Tapi, begitu mencium wangi tubuhmu rasa mual itu
Hans menghempaskan tubuh ke sofa. Rasa kesal merajai hatinya saat ini. "Kenapa harus seperti ini? Kau tak bisa terus seperti ini, Hans? Hentikan rasa yang kau miliki kalau kau tak ingin terluka. Ingat, Arimbi, wanita itu adalah istri dari orang yang ingin kau hancurkan, jadi ... hentikan sampai di sini, kegilaan ini!" Hans bermonolog seorang diri.Ting nong, ting nong.Dahi Hans mengerut. Ia tak ada janji. Mengapa ada orang yang membunyikan bel. Dengan malas ia pun bergegas menuju pintu. Hans terkejut melihat siapa yang datang ke rumahnya.Felicia tersenyum lebar menampakkan gigi putih yang berbaris rapi"Dari mana kau tahu rumahku?" tanya Hans. Pria itu masih berdiri di ambang pintu. Enggan mempersilahkan wanita berambut cokelat itu masuk ke dalam apartmennya."Kau tak mempersilahkan tamumu untuk masuk?" tanya Felicia menatap tajam ke arah Hans. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu, diikuti Felicia di belakangnya.
Pagi ini udara terasa dingin, bekas hujan semalam yang turun tanpa henti. Arimbi terbangun dari sejak pukul 03. 00 dini hari, setelah menunaikan sholat subuh menyibukkan diri di dapur. Sebulan sudah tinggal di rumah hadiah dari Sagara katanya untuk merayakan prestasi seorang Arimbi karena dapat membuat beruang kutub itu jatuh cinta.Arimbi sangat menyukai rumah ini. Sesuai dengan rumah impiannya. Apalagi kolam renang itu, dia sangat menyukainya. Hampir tiap hari Arimbi akan berenang di sana dan kadang ia dan Sagara akan menjadikan kolam renang itu tempat mereka bercinta. Kata Sagara 'bercinta di ruang terbuka lebih terasa sensasinya' kalau mengingat kemesuman Sagara Arimbi jadi terkikik geli, karena kini Arimbi pun tertular dengan kemesuman Sagara.Arimbi melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 6. 30, tak ada tanda-tanda suaminya keluar dari kamar. Biasanya jam begini pria dengan mata setajam elang itu sudah duduk manis menunggu sarapan di m
Pagi ini udara terasa dingin, bekas hujan semalam yang turun tanpa henti. Arimbi terbangun dari sejak pukul 03. 00 dini hari, setelah menunaikan sholat tahajud dsn kemudian disambung sholat shubuh dua jam setelahnya, perempuan muda itu menyibukkan diri di dapur. Sebulan sudah tinggal di rumah hadiah dari Sagara katanya untuk merayakan prestasi seorang Arimbi karena dapat membuat beruang kutub itu jatuh cinta. Arimbi sangat menyukai rumah ini. Sesuai dengan rumah impiannya. Apalagi kolam renang itu, dia sangat menyukainya. Hampir tiap hari Arimbi akan berenang di sana dan kadang ia dan Sagara akan menjadikan kolam renang itu tempat mereka bercinta. Kata Sagara 'bercinta di ruang terbuka lebih terasa sensasinya' kalau mengingat kemesuman Sagara Arimbi jadi terkikik geli, karena kini Arimbi pun tertular dengan kemesuman Sagara. Arimbi melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 6. 30, tak ada tanda-tanda suaminya keluar dari kamar. Biasanya jam
Sagara Atmaja. Itu namaku. Pria dingin, angkuh, dan tak tersentuh. Begitulah orang-orang mengenal bagaimana kepribadianku.Bukan tanpa alasan aku membentuk pribadiku seperti itu. Semua karena aku berusaha membentengi luka dalam hati ku agar tak ada seorang pun yang dapat melihat luka itu.Luka itu pula yang membuat perilaku seks ku jadi menyimpang jauh dari kenormalan. Kepuasan itu kudapatkan apabila pasanganku berteriak kesakitan. Erangan, lolongan rasa sakit itu membuat gairahku tak terbendung. Rintihan dan tangisan pasanganku mengingatkan kenangan burukku yang pernah kualami puluhan tahun lalu."Jangan lakukan itu tante, Saga tidak mau!" Tangis dan ratapanku tak menghentikan wanita itu melakukan aksi bejatnya. Saat itu usiaku sepuluh tahun, entah bagaimana wanita dewasa itu memiliki nafsu menjijikkan pada pemuda seusiaku. Tak hanya berhenti sampai di sana kegiatan laknat itu ia lakukan hingga aku berusia empat belas tahun. Di mana batas ra
Hans terus saja mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan Arimbi dan Sagara. Sedangkan Felicia dengan orang suruhannya mengikuti kemana pun Hans pergi.Felicia merasa sudah cukup ia mengumpulkan bukti tentang Hans. Sekarang waktunya bergerak. Ia tahu harus ke mana menemui pria pemilik wajah oriental itu.Di restoran tempat Hans bekerja. Pria itu nampak sedang asyik memasak. Memamerkan bakat memasak yang dimiliki pria itu pada dua orang wanita di pojok resto, yang terus saja mengamati tanpa berkedip.Ke dua wanita itu adalah Letta dan juga Arimbi.Beberapa jam sebelumnya."Hai, Imbi!" sapa Hans pada Arimbi yang tengah asyik memilih buku. Wanita itu sedikit terkejut dengan kehadiran Hans. Terbesit dalam pikirannya, apakah pria ini mengikutinya? Mengapa selalu saja bertemu tanpa sengaja? Namun, Arimbi segera menepis pikiran itu."Hai, Mas Hans!" balas Arimbi tersenyum ramah. Dan, itu cukup membuat deguban di jantung Hans dua kali l
Felicia membuka satu persatu foto yang dikirimkan oleh orang bayarannya. Luka di hati wanita itu makin menganga saat melihat bagaimana perlakuan Sagara pada Arimbi. Romantis, penuh perhatian. Mata menatap penuh cinta, bibir tersenyum amat manis yang tak pernah dilakukan Sagara selama bersamanya.Kening Felicia mengerut saat melihat sebuah Video yang dikirim oleh orang bayarannya. Di dalam video berdurasi sekitar sepuluh menit itu nampak Arimbi sedang tertawa bersama seorang pria yang tampak tak asing bagi Felicia."Bukankah dia adalah Chef yang bekerja di resto milik Sagara!" gumam Felicia. "Wanita itu mengulas senyum sinis. Melihat dari cara pria ini manatap jalang kecil ini, aku tahu ada rasa yang pria itu simpan. Bukankah ini adalah kabar yang sangat bagus?" Senyum di bibir Felicia makin lebar.Sementara itu Arimbi yang tanpa sengaja bertemu dengan Hans di sebuah toko buku kini tengah menikmati makan siang bersama Hans dan juga Let