“Apa menurutmu Owen tahu kalau aku adalah SEA?” Nanda terkejut mendengar pertanyaan Sashi. Dia menatap sang istri yang duduk berhadapan dengannya. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Nanda. Sashi mengulum bibir mendengar pertanyaan balasan dari suaminya itu, hingga kemudian menjawa, “Entah, aku hanya merasa kalau dia tahu.” Nanda pun diam mendengar ucapan Sashi, hingga kembali mendengar Sashi kembali bicara. “Pakaian yang aku beri, dipajang bersama lukisan buatanku yang dibelinya. Semua itu bagiku terasa aneh, apalagi alasan memajang pakaian itu di sana karena takut rusak atau kotor,” ujar Sashi lagi. “Aku pun cemas jika dia tahu kalau kamu SEA,” balas Nanda, “sikapnya memang aneh, meskipun dia mau membantu mengurus masalah yang menyangkut tentangmu, tapi tetap saja semua karena ada imbal baliknya.” “Apa dia masih menginginkan yang lain? Apa dia mengatakan sesuatu yang lain saat kalian bicara berdua? Nanda, kamu sudah berkata ingin jujur kepadaku, apa kamu tidak bisa meng
Sashi berjalan di lobi menuju resepsionis. Setelah meminta izin dan meyakinkan Nanda, Sashi pergi ke perusahaan Owen sendirian. Dia penasaran dan ingin tahu, kenapa Owen selalu membeli lukisannya, padahal di rumah pria itu sudah ada puluhan lukisan miliknya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis saat melihat Sashi datang. “Saya ingin bertemu Pak Owen, bisa tolong sampaikan kalau Sashi ingin bertemu,” jawab Sashi langsung menyebutkan namanya. Resepsionis itu langsung menghubungi Owen tanpa bertanya maksud kedatangan Sashi. Dia tentunya tahu siapa wanita itu. Sashi berdiri menunggu resepsionis itu menghubungi Owen, memandang lukisan buatannya yang masih ada di belakang resepsionis. “Nona, biar saya antar ke ruangan Pak Owen.” Resepsionis itu mempersilakan Sashi untuk ikut bersamanya. Sashi pun mengangguk, lantas berjalan mengikuti resepsionis itu. Mereka berada di lift, Sashi berdiri di belakang resepsionis menuju lantai teratas gedung itu. Keduanya pun keluar dari lift,
Sashi terperanjat mendengar ucapan Owen. Dia sampai menatap pria itu dengan rasa tak percaya. Pikirannya sedang berusaha mengakui semua kalimat yang pernah didengarnya itu. “Siapa kamu sebenarnya?” tanya Sashi memandang Owen dengan rasa penasaran, apalagi dia benar-benar tak kenal dan tak tahu siapa Owen, tapi pria itu mengetahui kalimat yang pernah diucapkan seseorang kepadanya. “Harusnya kamu bisa menebaknya,” jawab Owen tak langsung menjawab pertanyaan Sashi. “Oliver.” Satu nama lolos dari bibir Sashi. Owen tersenyum mendengar nama yang disebut Sashi. Dia berdiri ke mejanya, lantas mengambil sebuah bingkai foto dari sana. Owen kembali menghampiri Sashi, lantas memberikan bingkai itu. Sashi mengambil bingkai itu, lantas melihat foto yang ada di sana. Dua remaja berpose saling merangkul. “Kamu, kakaknya?” tanya Sashi dengan tangan gemetar. Owen tak menjawab. Dia memilih kembli duduk sambil menyilangkan kaki sambil menatap Sashi. “Tapi kenapa? Kenapa kamu melakukan ini semua?”
Nanda mengemudikan mobil sambil sesekali melirik Sashi yang duduk di sampingnya. Sejak tadi Sashi lebih banyak diam, tampaknya kehadiran Owen memang membawa masalah lagi dan lagi untuk mereka. Namun, di balik itu mereka pun belum tahu pasti, apa sebenarnya yang diinginkan Owen, apalagi pria itu seperti berusaha melindungi Sashi, tapi juga membuat wanita itu merasa bersalah. Keduanya pergi ke area pemakaman umum. Nanda bersedia mengantar Sashi ke sana karena tidak bisa membiarkan sang istri sedih karena beban yang diterima. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Nanda saat baru saja memarkirkan mobil di area parkir pemakaman. Sashi menoleh Nanda, lantas tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Aku baik-baik saja,” jawab Sashi. Nanda pun tak banyak bertanya lagi. Dia akhirnya turun bersama Sashi karena ingin menemani. Mereka pun berjalan masuk ke pemakaman, mencari salah satu makam yang ada di sana. Hingga keduanya sampai di sebuh makam dengan rumput yang tumbuh subur di atasnya, tapi r
“Kamu datang juga, meski ….” Owen sengaja menjeda ucapannya, lantas melirik Nanda. Setelah memantapkan hati. Sashi akhirnya setuju pergi ke rumah Owen untuk tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria itu. Nanda menemani karena tak bisa membiarkan Sashi pergi ke rumah pria lain sendirian. Nanda tak membalas ucapan Owen atau melanjutkan ucapan pria itu. Dia menyadari jika percuma berdebat dengan Owen. “Aku datang karena ingin mengetahui semua niatanmu melakukan ini. Aku hanya ingin memastikan, apakah aku memang bersalah kepadamu atau tidak,” ucap Sashi menjelaskan. Dia tidak ingin terus terbelenggu dengan masa lalu. Sashi ingin kehidupannya kembali tenang tanpa beban. Owen melirik Nanda saat mendengar pertanyaan Sashi, hingga kemudian membalas, “Haruskah aku mengungkap di hadapan suamimu? Kamu yakin dia tidak akan tersinggung?” Sashi dan Nanda tentunya terkejut mendengar ucapan Owen, hingga Nanda pun seolah paham akan maksud ucapan pria itu. “Berhenti membebani pikiran istriku!” Nan
‘Kuharap saat kamu membaca ini, kamu dalam keadaan bahagia. Entah apa yang aku pikirkan ketika menulis surat ini, aku hanya merasa perlu menuliskan sesuatu untukmu.~Aku ingin menemanimu meraih impian yang selalu kamu ucapkan kepadaku, aku ingin selalu menjadi orang pertama yang bertepuk tangan ketika kamu meraih kebahagiaanku. Tapi, akhir-akhir ini aku seperti semakin jauh darimu, aku seperti melihat jarak di antara kita.~Sashi, jika kelak kita berpisah jauh, kuharap kamu tidak menyalahkanku. Jangan membenciku juga jangan melupakanku. Aku menyukaimu, tapi merasa begitu berat untuk menyampaikannya. Aku menyayangimu, tapi aku tak bisa mengatakan karena takut kamu pergi. Hari ini, aku tiba-tiba merasa akan pergi, hari ini aku merasa tak bisa melihat wajahmu. Entahlah, aku juga bingung, mungkinkah benar aku akan pergi jauh? Jika ya, tolong jangan membenciku. Kelak meski aku tak disisimu, tetaplah raih impianmu, di mana pun aku berada, aku akan selalu membawamu dalam hatiku.~Oliver’ Sashi
Nanda meraba sisi ranjang. Tangannya mencari keberadaan sang istri yang tadi tidur di sebelahnya, tapi sayangnya tak menemukan Sashi di sana. Nanda pun membuka kelopak mata. Dia tak melihat Sashi ada di ranjang. Nanda pun bangun, lantas mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. “Sashi!” Nanda memanggil, tapi tak ada jawaban dari istrinya itu. Bahkan pintu kamar mandi pun terbuka, menandakan jika Sashi tak ada di sana. Nanda melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Dia pun memutuskan turun dari ranjang untuk mencari istrinya karena cemas. Saat menuruni anak tangga, Nanda melihat cahaya dari celah bawah pintu ruangan Sashi melukis. Dia pun yakin jika istrinya ada di sana. Benar saja, saat membuka pintu perlahan, Nanda melihat Sashi duduk sambil melukis. Dia pun mendekat lantas berdiri di belakang Sashi untuk melihat apa yang dilukis istrinya itu. “Aku sudah membuatnya semalaman, tapi kenapa aku tidak bisa membuat wajahnya? Semuanya gelap, meski aku sudah melihat fotonya lagi,
Sashi duduk memandang lukisan buatannya. Setelah seharian berusaha melukis untuk meluapkan bebannya, akhirnya dia bisa menyelesaikan apa yang dikerjakannya. “Sudah selesai?” tanya Nanda. Nanda sejak tadi pun tak beranjak dari ruangan itu. Dia setiap menemani Sashi karena tak ingin istrinya merasa sendirian. “Bagaimana menurutmu?” tanya Sashi. Nanda memperhatikan detail lukisan yang dibuat Sashi. Pria berdiri terlihat dari belakang, menghadap ke arah sebuah titik cahaya yang ada di depan, jelas Sashi sedang melukis Oliver yang hendak pergi. “Aku tidak bisa melukis wajahnya, aku akhirnya memutuskan melukis bagaimana dia yang ada di ingatanku,” ucap Sashi saat Nanda masih memperhatikan lukisan itu. “Ini sempurna,” balas Nanda sambil menoleh Sashi. Sashi tersenyum meski masih ada kepiluan dari tatapan matanya. Dia lega bisa melepas apa yang membelenggu hatinya. Sashi mengambil pena khusus yang biasa digunakan, lantas menulis sesuatu di permukaan lukisan itu. ‘Tak ada, bukan berart