‘Kuharap saat kamu membaca ini, kamu dalam keadaan bahagia. Entah apa yang aku pikirkan ketika menulis surat ini, aku hanya merasa perlu menuliskan sesuatu untukmu.~Aku ingin menemanimu meraih impian yang selalu kamu ucapkan kepadaku, aku ingin selalu menjadi orang pertama yang bertepuk tangan ketika kamu meraih kebahagiaanku. Tapi, akhir-akhir ini aku seperti semakin jauh darimu, aku seperti melihat jarak di antara kita.~Sashi, jika kelak kita berpisah jauh, kuharap kamu tidak menyalahkanku. Jangan membenciku juga jangan melupakanku. Aku menyukaimu, tapi merasa begitu berat untuk menyampaikannya. Aku menyayangimu, tapi aku tak bisa mengatakan karena takut kamu pergi. Hari ini, aku tiba-tiba merasa akan pergi, hari ini aku merasa tak bisa melihat wajahmu. Entahlah, aku juga bingung, mungkinkah benar aku akan pergi jauh? Jika ya, tolong jangan membenciku. Kelak meski aku tak disisimu, tetaplah raih impianmu, di mana pun aku berada, aku akan selalu membawamu dalam hatiku.~Oliver’ Sashi
Nanda meraba sisi ranjang. Tangannya mencari keberadaan sang istri yang tadi tidur di sebelahnya, tapi sayangnya tak menemukan Sashi di sana. Nanda pun membuka kelopak mata. Dia tak melihat Sashi ada di ranjang. Nanda pun bangun, lantas mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. “Sashi!” Nanda memanggil, tapi tak ada jawaban dari istrinya itu. Bahkan pintu kamar mandi pun terbuka, menandakan jika Sashi tak ada di sana. Nanda melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Dia pun memutuskan turun dari ranjang untuk mencari istrinya karena cemas. Saat menuruni anak tangga, Nanda melihat cahaya dari celah bawah pintu ruangan Sashi melukis. Dia pun yakin jika istrinya ada di sana. Benar saja, saat membuka pintu perlahan, Nanda melihat Sashi duduk sambil melukis. Dia pun mendekat lantas berdiri di belakang Sashi untuk melihat apa yang dilukis istrinya itu. “Aku sudah membuatnya semalaman, tapi kenapa aku tidak bisa membuat wajahnya? Semuanya gelap, meski aku sudah melihat fotonya lagi,
Sashi duduk memandang lukisan buatannya. Setelah seharian berusaha melukis untuk meluapkan bebannya, akhirnya dia bisa menyelesaikan apa yang dikerjakannya. “Sudah selesai?” tanya Nanda. Nanda sejak tadi pun tak beranjak dari ruangan itu. Dia setiap menemani Sashi karena tak ingin istrinya merasa sendirian. “Bagaimana menurutmu?” tanya Sashi. Nanda memperhatikan detail lukisan yang dibuat Sashi. Pria berdiri terlihat dari belakang, menghadap ke arah sebuah titik cahaya yang ada di depan, jelas Sashi sedang melukis Oliver yang hendak pergi. “Aku tidak bisa melukis wajahnya, aku akhirnya memutuskan melukis bagaimana dia yang ada di ingatanku,” ucap Sashi saat Nanda masih memperhatikan lukisan itu. “Ini sempurna,” balas Nanda sambil menoleh Sashi. Sashi tersenyum meski masih ada kepiluan dari tatapan matanya. Dia lega bisa melepas apa yang membelenggu hatinya. Sashi mengambil pena khusus yang biasa digunakan, lantas menulis sesuatu di permukaan lukisan itu. ‘Tak ada, bukan berart
Nanda menggenggam erat telapak tangan Sashi. Mereka duduk di sebuah bangku taman, hanya diam memandang ke langit. Sashi sendiri duduk sambil menyandarkan kepala di pundak Nanda. Dia diam dengan banyak pikiran di kepala. “Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat yang bisa membuatmu tenang?” tanya Nanda masih mencemaskan kondisi mental sang istri setelah apa yang dialami. Sashi mengembuskan napas kasar, lantas menggenggam erat tangan mereka. “Tidak ada. Tempat ternyaman yang ingin aku datangi sekarang adalah rumah. Tidur seharian tanpa beban,” jawab Sashi. Nanda langsung melirik Sashi, lantas berkata, “Kalau begitu ayo pulang. Kamu bisa tidur sepuasnya atau melukis.” Sashi mengangkat kepala dari pundak Nanda, lantas mengangguk sambil memulas senyum. Mereka pun berdiri bersama, lantas berjalan menuju mobil yang terparkir di bahu jalan. Setelah bertemu Owen, Nanda mengajak Sashi ke taman itu agar sang istri bisa menenangkan diri. Mereka pun pulang, sesampainya di rumah Nanda mengajak
“Di mana Nanda?” tanya Bintang saat melihat putrinya datang sendirian. Sashi menoleh ke belakang, lantas menjawab, “Tadi izin ke kamar kecil sebentar. Mungkin karena tadi kebanyakan minum dari rumah, jadi sampai sini harus ke kamar mandi.” Sashi tak mungkin mengatakan ke Bintang jika suaminya mendadak ada keperluan yang dia sendiri tidak tahu apa. “Oh begitu.” Bintang pun mengangguk-angguk paham. “Di mana Runa?” tanya Sashi karena tak melihat adiknya di sana. Bintang mengedarkan pandangan, malah tidak menyadari ke mana putrinya itu pergi. “Mungkin menemui pacarnya. Sudah diam saja, takut daddymu protes,” bisik Bintang. Sashi hanya tersenyum, lantas menganggukkan kepala. Mereka pun duduk di meja yang sudah disediakan bersama dengan Anta. “Di mana Runa?” tanya Langit karena kursi untuk putrinya itu kosong. “Mungkin lagi ketemu temannya, nanti juga datang sendiri,” jawab Bintang sekenanya, daripada nanti suaminya overthinking kalau tahu putri mereka punya pacar. Langit percaya m
“Kamu nyari siapa?” tanya Rihana ketika melihat Clara yang mengedarkan ke seluruh ruangan ketika acara wisuda sudah selesai. Clara terkejut mendengar pertanyaan Rihana, bibirnya mengerucut karena sang mama bertanya seperti itu yang membuatnya kaget. “Tidak nyari siapa-siapa,” jawab Clara tapi sambil memasang ekspresi wajah kesal. Rihana mengerutkan dahi mendengar jawaban Clara. Harusnya ini hari yang membahagiakan untuk Clara, tapi malah terlihat sedih. “Ayo ambil foto bersama, Papa dan mama sudah sewa fotografer untuk mengabadikan momen ini,” ajak Rihana. Clara masih mengedarkan pandangan saat mendengar ajakan Rihana, tapi akhirnya dia ikut sang mama bergabung dengan yang lain. Mereka berfoto bersama, termasuk dengan Nanda, Sashi, Bastian, juga Nana. Mereka mengambil foto keluarga, juga foto berpasangan dengan Clara. “Kenapa mukamu cemberut, harusnya kamu senang?” tanya Sashi saat giliran mereka foto berdua. “Zidan tidak datang,” jawab Clara yang hanya mau jujur ke Sashi. Sa
“Ngapain datang?” Clara merajuk meski Zidan sudah datang. Zidan mencoba memahami Clara, meski kekasihnya itu marah, dia tetap sabar. “Pagi tadi ada pasien masuk korban kecelakaan dan mengalami patah tulang, jadi aku harus menanganinya dulu meski jam kerjaku sudah usai. Aku tidak bisa mengabaikannya, karena itu aku datang ke sini terlambat. Belum lagi harus pulang, mandi, ganti pakaian, dan beli ini.” Zidan mencoba menjelaskan agar Clara paham dan tak marah lagi. Dia juga memberikan buket bunga dan sekotak cokelat untuk Clara. Clara melirik bunga dan cokelat yang dibawa Zidan, lantas memandang kekasihnya itu. “Tapi kamu ‘kan bisa telepon atau kirim pesan kalau terlambat,” ucap Clara setengah kesal, tapi juga senang karena Zidan datang. “Iya, maaf.” Zidan pun tetap berusaha meminta maaf. Clara masih tampak kesal, tapi dia juga terharu karena Zidan berusaha satang. Dia pun menerima bunga dan cokelat yang diberikan Zidan. “Selamat, ya,” ucap Zidan sambil mengusap pipi Clara. Clara
“Apa kamu benar-benar serius sama dokter itu?” tanya Rihana ketika sudah di rumah setelah merayakan kelulusan Clara. Clara menoleh sang mama, seluruh keluarganya pun memperhatikan dirinya. “Ya, kalau dibilang serius, ya serius, Ma. Tapi ‘kan aku ga tahu nantinya gimana. Aku dan Zidan hanya berusaha menjalani apa yang bisa kami jalani sekarang,” jawab Clara. “Bagaimana ceritanya kalian tiba-tiba bisa bersama, sedangkan ….” Melvin menjeda ucapannya, lantas melirik Nanda. Dia berhenti bicara karena takut mengingatkan akan masa yang sudah berlalu. Clara sendiri paham akan maksud ucapan sang papa. Dia melebarkan senyum, lantas membalas, “Ya, mungkin karena aku lebih nyaman dengannya. Meski umurnya jauh di atasku, tapi aku merasa nyaman dengan sikapnya yang baik, ramah, juga perhatian. Jadi, doakan hubungan kami langgeng.” Setelah mengucapkan itu Clara pergi ke kamar dengan ekspresi wajah senang. Rihana dan Melvin lagi-lagi dibuat melongo dengan sikap putrinya itu. Mereka pun lantas m