Sashi terperanjat mendengar ucapan Owen. Dia sampai menatap pria itu dengan rasa tak percaya. Pikirannya sedang berusaha mengakui semua kalimat yang pernah didengarnya itu. “Siapa kamu sebenarnya?” tanya Sashi memandang Owen dengan rasa penasaran, apalagi dia benar-benar tak kenal dan tak tahu siapa Owen, tapi pria itu mengetahui kalimat yang pernah diucapkan seseorang kepadanya. “Harusnya kamu bisa menebaknya,” jawab Owen tak langsung menjawab pertanyaan Sashi. “Oliver.” Satu nama lolos dari bibir Sashi. Owen tersenyum mendengar nama yang disebut Sashi. Dia berdiri ke mejanya, lantas mengambil sebuah bingkai foto dari sana. Owen kembali menghampiri Sashi, lantas memberikan bingkai itu. Sashi mengambil bingkai itu, lantas melihat foto yang ada di sana. Dua remaja berpose saling merangkul. “Kamu, kakaknya?” tanya Sashi dengan tangan gemetar. Owen tak menjawab. Dia memilih kembli duduk sambil menyilangkan kaki sambil menatap Sashi. “Tapi kenapa? Kenapa kamu melakukan ini semua?”
Nanda mengemudikan mobil sambil sesekali melirik Sashi yang duduk di sampingnya. Sejak tadi Sashi lebih banyak diam, tampaknya kehadiran Owen memang membawa masalah lagi dan lagi untuk mereka. Namun, di balik itu mereka pun belum tahu pasti, apa sebenarnya yang diinginkan Owen, apalagi pria itu seperti berusaha melindungi Sashi, tapi juga membuat wanita itu merasa bersalah. Keduanya pergi ke area pemakaman umum. Nanda bersedia mengantar Sashi ke sana karena tidak bisa membiarkan sang istri sedih karena beban yang diterima. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Nanda saat baru saja memarkirkan mobil di area parkir pemakaman. Sashi menoleh Nanda, lantas tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Aku baik-baik saja,” jawab Sashi. Nanda pun tak banyak bertanya lagi. Dia akhirnya turun bersama Sashi karena ingin menemani. Mereka pun berjalan masuk ke pemakaman, mencari salah satu makam yang ada di sana. Hingga keduanya sampai di sebuh makam dengan rumput yang tumbuh subur di atasnya, tapi r
“Kamu datang juga, meski ….” Owen sengaja menjeda ucapannya, lantas melirik Nanda. Setelah memantapkan hati. Sashi akhirnya setuju pergi ke rumah Owen untuk tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria itu. Nanda menemani karena tak bisa membiarkan Sashi pergi ke rumah pria lain sendirian. Nanda tak membalas ucapan Owen atau melanjutkan ucapan pria itu. Dia menyadari jika percuma berdebat dengan Owen. “Aku datang karena ingin mengetahui semua niatanmu melakukan ini. Aku hanya ingin memastikan, apakah aku memang bersalah kepadamu atau tidak,” ucap Sashi menjelaskan. Dia tidak ingin terus terbelenggu dengan masa lalu. Sashi ingin kehidupannya kembali tenang tanpa beban. Owen melirik Nanda saat mendengar pertanyaan Sashi, hingga kemudian membalas, “Haruskah aku mengungkap di hadapan suamimu? Kamu yakin dia tidak akan tersinggung?” Sashi dan Nanda tentunya terkejut mendengar ucapan Owen, hingga Nanda pun seolah paham akan maksud ucapan pria itu. “Berhenti membebani pikiran istriku!” Nan
‘Kuharap saat kamu membaca ini, kamu dalam keadaan bahagia. Entah apa yang aku pikirkan ketika menulis surat ini, aku hanya merasa perlu menuliskan sesuatu untukmu.~Aku ingin menemanimu meraih impian yang selalu kamu ucapkan kepadaku, aku ingin selalu menjadi orang pertama yang bertepuk tangan ketika kamu meraih kebahagiaanku. Tapi, akhir-akhir ini aku seperti semakin jauh darimu, aku seperti melihat jarak di antara kita.~Sashi, jika kelak kita berpisah jauh, kuharap kamu tidak menyalahkanku. Jangan membenciku juga jangan melupakanku. Aku menyukaimu, tapi merasa begitu berat untuk menyampaikannya. Aku menyayangimu, tapi aku tak bisa mengatakan karena takut kamu pergi. Hari ini, aku tiba-tiba merasa akan pergi, hari ini aku merasa tak bisa melihat wajahmu. Entahlah, aku juga bingung, mungkinkah benar aku akan pergi jauh? Jika ya, tolong jangan membenciku. Kelak meski aku tak disisimu, tetaplah raih impianmu, di mana pun aku berada, aku akan selalu membawamu dalam hatiku.~Oliver’ Sashi
Nanda meraba sisi ranjang. Tangannya mencari keberadaan sang istri yang tadi tidur di sebelahnya, tapi sayangnya tak menemukan Sashi di sana. Nanda pun membuka kelopak mata. Dia tak melihat Sashi ada di ranjang. Nanda pun bangun, lantas mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. “Sashi!” Nanda memanggil, tapi tak ada jawaban dari istrinya itu. Bahkan pintu kamar mandi pun terbuka, menandakan jika Sashi tak ada di sana. Nanda melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Dia pun memutuskan turun dari ranjang untuk mencari istrinya karena cemas. Saat menuruni anak tangga, Nanda melihat cahaya dari celah bawah pintu ruangan Sashi melukis. Dia pun yakin jika istrinya ada di sana. Benar saja, saat membuka pintu perlahan, Nanda melihat Sashi duduk sambil melukis. Dia pun mendekat lantas berdiri di belakang Sashi untuk melihat apa yang dilukis istrinya itu. “Aku sudah membuatnya semalaman, tapi kenapa aku tidak bisa membuat wajahnya? Semuanya gelap, meski aku sudah melihat fotonya lagi,
Sashi duduk memandang lukisan buatannya. Setelah seharian berusaha melukis untuk meluapkan bebannya, akhirnya dia bisa menyelesaikan apa yang dikerjakannya. “Sudah selesai?” tanya Nanda. Nanda sejak tadi pun tak beranjak dari ruangan itu. Dia setiap menemani Sashi karena tak ingin istrinya merasa sendirian. “Bagaimana menurutmu?” tanya Sashi. Nanda memperhatikan detail lukisan yang dibuat Sashi. Pria berdiri terlihat dari belakang, menghadap ke arah sebuah titik cahaya yang ada di depan, jelas Sashi sedang melukis Oliver yang hendak pergi. “Aku tidak bisa melukis wajahnya, aku akhirnya memutuskan melukis bagaimana dia yang ada di ingatanku,” ucap Sashi saat Nanda masih memperhatikan lukisan itu. “Ini sempurna,” balas Nanda sambil menoleh Sashi. Sashi tersenyum meski masih ada kepiluan dari tatapan matanya. Dia lega bisa melepas apa yang membelenggu hatinya. Sashi mengambil pena khusus yang biasa digunakan, lantas menulis sesuatu di permukaan lukisan itu. ‘Tak ada, bukan berart
Nanda menggenggam erat telapak tangan Sashi. Mereka duduk di sebuah bangku taman, hanya diam memandang ke langit. Sashi sendiri duduk sambil menyandarkan kepala di pundak Nanda. Dia diam dengan banyak pikiran di kepala. “Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat yang bisa membuatmu tenang?” tanya Nanda masih mencemaskan kondisi mental sang istri setelah apa yang dialami. Sashi mengembuskan napas kasar, lantas menggenggam erat tangan mereka. “Tidak ada. Tempat ternyaman yang ingin aku datangi sekarang adalah rumah. Tidur seharian tanpa beban,” jawab Sashi. Nanda langsung melirik Sashi, lantas berkata, “Kalau begitu ayo pulang. Kamu bisa tidur sepuasnya atau melukis.” Sashi mengangkat kepala dari pundak Nanda, lantas mengangguk sambil memulas senyum. Mereka pun berdiri bersama, lantas berjalan menuju mobil yang terparkir di bahu jalan. Setelah bertemu Owen, Nanda mengajak Sashi ke taman itu agar sang istri bisa menenangkan diri. Mereka pun pulang, sesampainya di rumah Nanda mengajak
“Di mana Nanda?” tanya Bintang saat melihat putrinya datang sendirian. Sashi menoleh ke belakang, lantas menjawab, “Tadi izin ke kamar kecil sebentar. Mungkin karena tadi kebanyakan minum dari rumah, jadi sampai sini harus ke kamar mandi.” Sashi tak mungkin mengatakan ke Bintang jika suaminya mendadak ada keperluan yang dia sendiri tidak tahu apa. “Oh begitu.” Bintang pun mengangguk-angguk paham. “Di mana Runa?” tanya Sashi karena tak melihat adiknya di sana. Bintang mengedarkan pandangan, malah tidak menyadari ke mana putrinya itu pergi. “Mungkin menemui pacarnya. Sudah diam saja, takut daddymu protes,” bisik Bintang. Sashi hanya tersenyum, lantas menganggukkan kepala. Mereka pun duduk di meja yang sudah disediakan bersama dengan Anta. “Di mana Runa?” tanya Langit karena kursi untuk putrinya itu kosong. “Mungkin lagi ketemu temannya, nanti juga datang sendiri,” jawab Bintang sekenanya, daripada nanti suaminya overthinking kalau tahu putri mereka punya pacar. Langit percaya m
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang