“Kupikir kamu tinggal di apartemen,” ucap Clara sambil memperhatikan rumah Zidan yang terbilang sederhana tapi terlihat begitu nyaman dan rapi.Zidan sedang melepas jaket saat mendengar ucapan Clara, dia hanya tersenyum lantas membuka salah satu lemari hias yang ada di ruang tamu untuk mengambil kotak obat.“Aku tidak suka apartemen, lebih suka rumah sederhana tapi memiliki halaman yang bisa kutanami sesuatu,” jawab Zidan sambil mendekat ke Clara.Clara masih memandangi ruang tamu, hingga tak menyadari jika Zidan sudah berada di depannya.“Kenapa? Rumahku aneh?” tanya Zidan.Clara terkejut mendengar pertanyaan Zidan. Dia pun menggelengkan kepala cepat.“Tidak, hanya merasa hangat dan nyaman saja karena tidak terlalu besar,” jawab Clara.Zidan tersenyum lantas meminta Clara untuk duduk. Pria itu meletakkan kotak obat di meja, lantas meraih tangan Clara untuk melihat luka di jari gadis itu.“Kamu langsung menutupnya begitu saja tanpa mengobatinya?” tanya Zidan saat sudah melepas plester
Sashi berdiri di depan cermin besar memandang penampilannya lewat pantulan cermin. Dia kini sedang memastikan penampilannya sempurna sebelum berangkat bersama suaminya ke acara pesta yang diadakan perusahaan sang Daddy. Berbalut dress peach dengan kerah rendah dan tali kecil yang melingkar di pundak, serta bagian pinggang yang ramping membuat tubuh Sashi terlihat membentuk indah. “Kamu ke pesta memakai itu?” tanya Nanda tampaknya tak setuju dengan pakaian yang dikenakan Sashi. Sashi menoleh Nanda yang berdiri di ambang pintu ruang ganti, lantas memandang cermin sebelum kembali menatap suaminya dengan rasa heran. “Kenapa? Ini cantik,” jawab Sashi heran mendengar pertanyaan suaminya. Nanda mendekat ke Sashi, lantas membalas, “Iya cantik jika hanya aku yang lihat, tapi tidak akan cantik jika orang lain yang melihat. Aku tidak suka.” Sashi langsung memanyunkan bibir mendengar ucapan Nanda. “Dasar pecemburu. Aku akan memakai rompinya, itu akan menutup bagian pundakku jadi tidak akan
Sashi melihat Bintang yang mulai emosi. Dia masih tetap sopan sedikit membungkukan badan ke dua wanita yang ada di hadapannya, lantas mengajak Bintang pergi.“Aku lapar, Mom. Ayo ambil makan saja, ajak Sashi sambil merengkul lengan Bintang untuk diajak pergi.Bintang awalnya tidak mau, tapi karena Sashi memaksa, membuat Bintang akhirnya membalikkan badan pergi bersama putrinya itu.“Katanya sih anak di luar nikah, apalagi umur Tuan Langit kan baru 48, tapi anaknya sudah 27 tahun. Berarti emang lahir pas masih muda.”Ucapan salah satu wanita yang masih membahas soal Sashi membuat Bintang murka. Dia langsung membalikkan badan dengan cepat sampai membuat Sashi terkejut, lantas menampar wanita itu bermulut pedas mengurusi keluarganya.“Jaga mulutmu kalau tidak mau terluka! Kamu pikir ucapanmu itu membanggakan!” amuk Bintang.Wanita itu begitu syok mendapat tamparan dari Bintang, tak menyangka jika Bintang yang biasa bersikap lemah lembut kini begitu menakutkan.“Mom, sudah. Kita pergi saj
“Bagaimana kondisi mommymu?” tanya Langit saat sudah pulang dari pesta.Langit dan Nanda pulang meski pesta belum berakhir, setidaknya mereka sudah melewati acara inti.Sashi baru saja keluar dari kamar sang mommy saat ayahnya datang. Dia pun memandang sang daddy yang terlihat begitu cemas.“Mommy sudah tenang dan sekarang sedang tidur,” jawab Sashi.Langit lega jika istrinya sudah istirahat, setidaknya itu akan meminimalisir kemungkinan penyakit Bintang kambuh.Langit, Sashi, dan Nanda duduk di ruang keluarga. Langit ingin tahu apa yang membuat istrinya semarah itu tadi.“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Langit.“Dua wanita tadi membahasku, Dad. Mereka bilang kalau aku bukan anak kandung Mommy, juga bilang ….” Sashi menjeda ucapannya, mengatakan fakta yang sebenarnya membuat hatinya terasa ngilu.“Sudah jangan dilanjut,” ucap Langit. Dia langsung paham dengan maksud ucapan putrinya itu.Sashi pun diam mengangguk, Nanda sendiri hanya duduk mendengarkan.“Daddy akan memperingatkan m
“Dia itu anakku, bagaimana bisa mereka dengan seenaknya bilang kalau Sashi bukan anak kandungku. Memang itu benar, tapi apa mereka tidak bisa diam saja dan pura-pura tak tahu atau tak sadar. Apa mereka begitu harus mengatakan itu di depan Sashi. Bagaimana perasaannya, dia pasti sakit sama sepertiku karena kembali diperlihatkan fakta jika dia tidak lahir dari rahimku.”Bintang bangun karena suaminya mengecek suhu tubuhnya. Dia kembali menangis mengingat bagaimana kalimat-kalimat yang dilontarkan terasa menusuk hatinya.“Sashi pasti sangat sedih. Dia itu sangat penurut karena takut aku tinggal dan buang. Dia selalu bertanya apa akan dikembalikan ke keluarga Angelica, hingga aku berusaha meyakinkan kalau dia itu anakku, mau kandung atau bukan, dia anakku. Tapi kenapa orang lain malah mengatakan itu, kenapa kalau tidak tahu harus begitu jujur.”Bintang bicara sambil meremas piyama bagian dada.Langit memeluk Bintang lantas mengusap punggung istrinya dengan lembut untuk menenangkan.“Tenan
“Kenapa sekarang manja sekali?” Bintang menatap Aruna yang berbaring sambil menggunakan paha Sashi sebagai bantal.“Aku ‘kan sakit, Ma. Ya ga papa kalau manja.” Aruna berbaring miring sambil memandang televisi.Bintang memandang Sashi yang tersenyum sambil mengusap rambut Aruna. Dulu mereka tidak pernah sedekat ini, sekarang rasanya begitu membahagiakan melihat keduanya akur.Bahkan Nanda yang menjadi suami Sashi pun ikut cemburu karena Aruna sangat manja seolah tidak memperbolehkan Sashi melakukan hal selain mengurus dirinya.“Biar saja, Mom. Dia juga bosan kalau di kamar, jadi biar di sini bersama kita,” ujar Sashi tak keberatan adiknya bergelayut manja seperti itu.Aruna melebarkan senyum karena menang dibela Sashi, mereka pun akhirnya berada di ruang keluarga sambil menonton acara televisi.Hingga beberapa saat kemudian pembantu rumah menghampiri ke ruang keluarga.“Non, ada temennya di depan, katanya mau jenguk Non Runa,” kata pembantu ke Aruna.Semua orang langsung menatap ke pe
Sashi bekerja di klinik seperti biasa di hari berikutnya. Dia berada di ruangan yang dijadikan klinik sementara waktu sampai klinik selesai direnovasi.Saat sedang mengecek ketersediaan obat, terdengar suara ketukan pintu yang membuat Sashi menoleh. Hingga dia terkejut melihat Clara di sana.“Kenapa kamu di sini?” tanya Sashi keheranan.Clara masuk ruangan itu, lantas melirik Lani sebelum kembali memandang Sashi.“Aku butuh konsultasi psikologis.” Clara menjawab sambil berjalan ke ranjang pesakitan, lantas naik ke sana tanpa diperintah.Sashi melongo mendengar ucapan Clara, hingga kemudian berkata, “Kalau mau konsultasi psikologis ya ke psikolog atau psikiater, kenapa kemari?” tanya Sashi keheranan dengan adik iparnya itu.Clara sudah berbaring di ranjang pesakitan, lantas menoleh ke Sashi yang memandangnya.“Aku butuh kamu, mau tidak bantu?” Clara bicara dengan nada sedikit memaksa.Sashi menghela napas kasar. dia berjalan ke ranjang pesakitan sambil mengambil kursi untuk digunakan d
Clara melipat bibir sambil meremas jemari. Dia sungguh tak tahu harus bicara apa dan bagaimana menghadapi situasi sekarang.“Kenapa tidak menghubungiku dulu? Bagaimana kalau aku tidak ada di kampus?” tanya Clara membuka perbincangan karena sejak tadi begitu canggung. Dia hanya tak ingin terlihat salah tingkah.Zidan menoleh Clara sambil mengulas senyum, lantas membalas, “Aku beruntung karena kamu di kampus.”Ucapan Zidan semakin membuat Clara salah tingkah, tapi gadis itu sebisa mungkin bersikap biasa.“Iya sangat kebetulan karena aku datang ke kampus sebab ada urusan,” balas Clara.Zidan menatap Clara yang tak mau memandang ke arahnya, bola mata gadis itu berkeliaran memandang sembarang arah.“Seminggu ini aku jatah shift malam, jadi pagi ini aku berpikir datang kemari untuk menemuimu. Kemarin full masuk shift jadi sedikit sibuk,” ujar Zidan seolah berusaha menjelaskan sesuatu ke Clara.Clara langsung memandang Zidan setelah mendengar apa yang diucapkan pria itu. Dia pun melihat Zida