“Apa kita hanya akan duduk berdiam di kamar, memandang lautan lepas tanpa menikmatinya?”Sashi bicara sambil memandang laut lepas dari kamar yang memiliki view laut. Mereka sudah sampai di hotel sejak kemarin sore, hingga pagi ini pun Nanda tidak mau mengajak Sashi jalan-jalan.“Pergi saja kalau mau pergi,” balas Nanda sambil fokus ke laptop.Sashi memutar kepala dengan cepat mendengar balasan Nanda, lantas mencebik kesal karena ternyata honeymoon itu benar-benar formalitas.“Padahal aku mau jalan-jalan, mumpung libur.” Sashi bergumam sambil memandang laut.Melihat laut yang indah, bahkan banyak anak kecil juga keluarga lain bermain di pantai, membuat Sashi berkeinginan pergi sendiri.Tanpa pamit, Sashi berjalan ke arah pintu untuk meninggalkan kamar. Namun, saat tangan hampir meraih gagang pintu, gerakan tangan terhenti karena pertanyaan Nanda.“Mau ke mana?” Nanda hanya melirik Sashi yang sudah sampai di belakang pintu.Sashi memutar badan dengan malas, lantas menatap Nanda yang mas
“Ma, lihat ini.” Nana yang baru saja pulang bekerja bersama Bastian, langsung menghampiri Rihana yang sedang duduk dengan Clara.“Lihat apa?” tanya Rihana penasaran.Nana duduk di sisi kanan Rihana, sedangkan Clara berada di sisi kiri sang mama.“Kak Sashi baru saja mengirimiku beberapa foto. Katanya ini tadi saat mereka diving, lalu ini pemandangan dari kamar hotel yang mereka tempati,” ujar Nana menjelaskan foto-foto yang baru saja diterima.Clara langsung tidak senang mendengar Nana membahas tentang Sashi, hingga saat Rihana sedang ingin menanggapi ucapan Nana, Clara langsung meletakkan piring berisi buah dengan kasar di meja.Rihana dan Nana sangat terkejut dengan yang dilakukan Clara, sampai-sampai mereka memandang Clara yang pergi menuju kamarnya.“Kenapa Clara?” tanya Nana keheranan.“Sepertinya sejak Nanda mau menikah, dia sering uring-uringan,” jawab Bastian.Rihana dan Nana langsung menoleh begitu mendengar jawaban Bastian.Rihana sendiri tidak memperhatikan, meski sudah mer
Suara gelas pecah mengejutkan seluruh pengunjung restoran yang sedang menikmati malam di tepi pantai. Nanda dan Sashi melihat seorang anak berumur 10 tahun yang tampak sesak napas, sang ibu kebingungan sambil berteriak minta tolong. Sashi berlari menghampiri, disusul Nanda yang terkejut karena istrinya itu pergi begitu saja. “Ada apa, Nyonya?” tanya Sashi. “Anakku tiba-tiba saja sesak napas, padahal tadi baik-baik saja,” kata wanita itu. Sashi memperhatikan anak kecil yang ternyata siang tadi bertemu dengan Sashi ketika main bola. Sashi pun mencoba mengecek kondisi anak itu, lantas melihat ke meja. “Dia alergi sesuatu?” tanya Sashi ke wanita itu. “Tidak, selama ini baik-baik saja,” jawab wanita itu. Sashi mengecek gejala yang dialami anak itu, hingga kemudian berkata, “Dia alergi protein tinggi, kemungkinan makan udang atau lobster dalam jumlah banyak, memicu tubuhnya bereaksi berlebih karena tak mampu menampung protein yang masuk.” Sashi melihat bintik di kulit anak kecil it
Sashi terbengong memandang benda besar yang ada di hadapannya. Dia seperti orang yang baru pertama kali melihatnya, hingga membuatnya tampak begitu kagum. “Katupkan mulutmu, jangan sampai ada air liur menetes,” ledek Nanda karena Sashi bengong dengan mulut terbuka. Sashi langsung mengatupkan mulut mendengar ledekan Nanda, lantas memicing tajam ke pria yang sudah berdiri di sampingnya. Nanda menoleh Sashi, membuat keduanya saling tatap meski bola mata mereka sama-sama tertutup kacamata hitam. “Kamu memang tidak pernah bicara manis atau sedikit lembut,” gerutu Sashi. Bahkan dia menganggap kalau Nanda sama sekali tidak memiliki selera humor dan sangat kaku ketika bicara. “Untuk apa bicara manis, jika membuat seseorang berbunga kemudian salah paham. Itu malah akan berbahaya,” balas Nanda sambil mengayunkan langkah menuju tangga yang ada di hadapan. Sashi komat-kamit kesal mendengar ucapan Nanda, apalagi pria itu berjalan meninggalkannya begitu saja. “Kamu serius ingin mengajakku nai
Sashi diam di kamar menatap rentetan pesan yang dikirimkan Bumi. Dia tidak berani membacanya, sampai ada lebih dari 20 notifikasi pesan yang sama sekali belum dibuka. Nanda juga berada di kamar, duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuan. Dia melirik Sashi yang hanya diam memandang telepon. Melihat raut wajah istrinya yang terlihat murung, membuat Nanda memutuskan untuk menutup laptop, lantas turun dari ranjang. “Kamu ingin makan di kamar, atau turun ke restoran?” tanya Nanda menawari sebab sejak sore Sashi belum makan. “Di mana saja boleh, aku sedang tidak bersemangat ke mana-mana,” jawab Sashi tanpa menoleh Nanda. Nanda mengerutkan satu alis, merasa aneh dengan sikap Sashi yang berubah dan berbeda dengan siang tadi. Akhirnya Nanda pun memesan layanan kamar, agar membawa makan malam ke kamar. Nanda melihat Sashi yang masih terlihat murung, hingga berpikir apakah wanita itu sedang rindu dengan orang tuanya, mengingat ucapan Langit yang mengatakan jika sebenarnya Sashi anak m
“Apa alasanmu ingin menjadi dokter, sedangkan masih banyak profesi lain yang mungkin cocok denganmu?” Nanda tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu, membuat Sashi yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. Keduanya berada di atas ranjang, terlihat guling berada di tengah untuk membatasi wilayah mereka masing-masing. “Karena aku ingin mengobati orang-orang di sekitarku ketika mereka sakit,” jawab Sashi kemudian mengalihkan pandangan dari Nanda. Kini Nanda yang menoleh ke Sashi, melihat wanita itu memandang ke arah luar kamar. “Jika sakit, tinggal bawa ke rumah sakit. Banyak dokter yang akan menangani, kenapa harus kamu?” tanya Nanda penasaran, apalagi mertuanya sempat membahas soal ibu kandung Sashi yang meninggal karena sakit, juga mertua perempuannya yang mengidap penyakit tak bisa disembuhkan. Sashi tersenyum getir mendengar pertanyaan Nanda, hingga kemudian membalas, “Kamu takkan pernah tahu, bagaimana rasanya tidak bisa berbuat apa-apa, padahal orang tuamu membutuhkanmu.” Sash
“Bodoh! Kenapa kamu harus membahas itu?” Jantung Sashi masih berdegup kencang, bahkan setelah semalaman tidur pun masih tak bisa membuat pikirannya tenang. Sashi terlalu panik, begitu Nanda melepasnya, dia langsung pindah ke sofa, takut jika Nanda melakukan sesuatu kepadanya. Semalaman Sashi tak bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan sampai pagi pun masih terbayang-bayang kejadian semalam. Kejadian semalam mengajarkan Sashi satu hal, jangan memancing emosi Nanda karena pria itu cukup mengerikan ketika murka. “Sudah bangun?” Suara dengan bariton tinggi itu membuat Sashi berjengit karena terkejut. Sashi bangun perlahan lantas mengintip dari sandaran sofa ke arah Nanda yang sudah berdiri di samping ranjang sambil merapikan pakaian. “Kamu mau tinggal di kapal terus?” tanya Nanda lagi karena Sashi tak menjawab. Pria itu berdiri memunggungi sofa. “Tentu saja tidak,” jawab Sashi lantas bangun dengan sempurna. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum akhirnya berdiri karena harus turun
Setelah beberapa hari pergi berlibur, akhirnya Nanda dan Sashi pulang. Keduanya langsung pergi ke rumah yang akan ditempati, sudah ada 2 pembantu dari rumah Rihana yang menjaga dan mengurus rumah itu. “Besok aku ingin ke rumah Mommy.” Baru saja mereka sampai di rumah, Sashi sudah membahas ingin berkunjung ke rumah orang tuanya. Nanda yang baru saja akan masuk kamar, langsung menghentikan langkah dan menoleh Sashi yang berjalan di belakangnya. “Harus besok?” tanya Nanda. Sashi sempat terkejut karena Nanda berhenti dengan cepat, tapi kemudian menganggukkan kepala. “Bisa pergi sendiri? Besok aku harus sudah ke kantor,” kata Nanda yang tak bisa lebih lama meninggalkan pekerjaannya. “Oh … aku bisa pergi sendiri. Kamu kerja saja.” Sashi malah terlihat senang mengetahui Nanda tak bisa mengantarnya. Sashi bahkan tersenyum lebar, terlihat jelas jika dia senang sendiri daripada bersama pria itu. “Malamnya kita ke rumah Mama, dia pasti bertanya kenapa kita tak ke sana, jadi usahakan sore