Sashi dan yang lain akhirnya pulang setelah kondisi Nana membaik juga memungkinkan melakukan perjalanan udara. Mereka sudah sampai rumah dan langsung disambut Rihana. Rihana sudah mendengar kabar kalau Nana sakit. Dia pun begitu mencemaskan Nana, hingga langsung mengajak putrinya itu duduk saat baru saja sampai rumah. “Apa perlu ke rumah sakit untuk mengecek kandungannya?” tanya Rihana yang cemas. “Sebelum pulang, kami sudah membawanya ke rumah sakit untuk memastikan kondisi kesehatan Nana dan janinnya. Tapi menurutku tak masalah jika diperiksa lagi,” ujar Sashi menjawab pertanyaan Rihana. “Besok saja, ya. Aku capek.” Nana merasa lemas. Dia bahkan langsung bersandar di lengan Rihana. Rihana menatap semua orang dengan ekspresi wajah cemas. Dia pun kemudian memilih mengajak Nana masuk kamar agar bisa istirahat. Nanda dan Bastian masih di ruang keluarga, sedangkan Sashi pergi ke kamar bersama Rihana untuk menemani Nana. “Jika kondisi Nana terus seperti ini, lebih baik dia tidak us
“Kita mau ke mana?” tanya Sashi keheranan karena malam itu Nanda memintanya berpakaian rapi dan sopan. Nanda baru saja memakai jas saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke sang istri, kemudian merapikan helaian rambut istrinya yang kurang rapi. “Ada hal yang sebenarnya belum aku sampaikan kepadamu. Awalnya ini takkan berhubungan denganmu, tapi ternyata kamu tetap terlibat,” ujar Nanda sambil menatap lekat wajah istrinya. Sashi mengerutkan alis mendengar ucapan Nanda. Tiba-tiba saja dia merasa cemas karena ucapan suaminya itu. “Ada apa sebenarnya?” tanya Sashi bingung. “Sebenarnya hilangnya berita tentangmu karena ada campur tangan dari Owen,” jawab Nanda akhirnya jujur. Sashi tentu saja terkejut bukan main mendengar hal itu, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. “Lalu?” tanya Sashi mengorek lebih dalam informasi akan maksud ucapan Nanda. “Dia meminta satu syarat tapi tak mau menyebutkan di awal. Aku awalnya tak ingin menerima, tapi karena memikirkanmu, aku akhir
Sashi dan Nanda melihat sendiri pelayan mengambil alat makan lain, lantas mencicipi makanan yang dihidangkan untuk mereka. Kini mereka pun percaya karena pelayan itu baik-baik saja. “Sekarang percaya?” tanya Owen sambil memberikan tatapan tidak senang. “Apa sebenarnya maksudmu mengundang kami datang ke sini?” tanya Nanda karena tak ingin terjebak dalam permainan Owen. “Bukankah kamu sudah menyetujui syarat yang aku ajukan, apa kamu masih mempertanyakan maksud mengundang kalian ke sini? Aku hanya ingin makan malam bersama kalian, apa alasan itu cukup?” Owen menatap Nanda dan Sashi bergantian. Owen pun kemudian mengabaikan Nanda. Dia memilih menyantap hidangannya karena tak ingin menghancurkan makan malam yang dibuatnya. Nanda dan Sashi saling tatap sejenak, hingga akhirnya mereka pun ikut makan bersama Owen. “Setelah bicara, aku ingin bicara denganmu berdua.” Owen bicara tanpa memandang Sashi atau Nanda. Nanda dan Sashi pun terkejut, apa sebenarnya yang diinginkan pria itu lagi.
“Kalian bicara apa saja tadi?” tanya Sashi saat mereka dalam perjalanan pulang dari rumah Owen. Nanda langsung mengajak pulang setelah selesai bicara dengan Owen, karena itulah Sashi penasaran dengan apa yang terjadi, apalagi Nanda terlihat kesal. Nanda menoleh sekilas ke Sashi. Jika dia tak menjawab atau terus diam, kemungkinan Sashi akan marah atau sedih sehingga dia pun mencoba menjawab dengan tenang. “Hanya membahas soal berita kemarin, tidak ada yang lain,” jawab Nanda sambil mencoba tersenyum. “Benar tidak ada masalah lainnya?” tanya Sashi memastikan. Nanda melebarkan senyumnya, lantas mengusap lembut rambut Sashi. “Iya, kamu tenang saja.” Meski Sashi merasa ada yang tak beres, tapi dia tidak mau bertanya lagi karena takut membuat mood Nanda buruk karena jika dilihat, suaminya itu terlihat seperti tak senang. Mobil mereka pun sampai di rumah. Nanda dan Sashi pun langsung masuk kamar untuk berganti pakaian dan beristirahat. “Kamu mau ke mana?” tanya Sashi saat melihat Na
“Pak, ini data yang Anda inginkan.” Lukas masuk membawa stopmap di tangan. Dia berjalan menghampiri meja Nanda, lantas meletakkan berkas itu di meja tepat depan Nanda. Nanda pun membuka berkas itu, lantas membaca isi di dalamnya secara perlahan. “Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa Anda tiba-tiba ingin mencari tahu soal Pak Hendry?” tanya Lukas penasaran. “Karena dia dibalik dalang penyebaran berita soal Sashi. Sepertinya benar jika dia memang menargetkanku dengan menggunakan berita soal Sashi sebagai alat,” jawab Nanda menjelaskan, tapi tatapan matanya masih terus tertuju ke berkas yang sedang dibaca. Lukas pun sangat terkejut serta tak menyangka jika saingan Nanda itu akan bertindak begitu jauh sampai melibatkan Sashi. “Apa rencana Anda?” tanya Lukas. Nanda terdiam sejenak mendengar pertanyaan Lukas, hingga kemudian memandang asistennya itu. “Membalas dengan hal yang pernah dilakukannya ke Sashi,” jawab Nanda. Lukas langsung paham dengan maksud Nanda, tapi tentu saja dia tak ya
“Apa menurutmu Owen tahu kalau aku adalah SEA?” Nanda terkejut mendengar pertanyaan Sashi. Dia menatap sang istri yang duduk berhadapan dengannya. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Nanda. Sashi mengulum bibir mendengar pertanyaan balasan dari suaminya itu, hingga kemudian menjawa, “Entah, aku hanya merasa kalau dia tahu.” Nanda pun diam mendengar ucapan Sashi, hingga kembali mendengar Sashi kembali bicara. “Pakaian yang aku beri, dipajang bersama lukisan buatanku yang dibelinya. Semua itu bagiku terasa aneh, apalagi alasan memajang pakaian itu di sana karena takut rusak atau kotor,” ujar Sashi lagi. “Aku pun cemas jika dia tahu kalau kamu SEA,” balas Nanda, “sikapnya memang aneh, meskipun dia mau membantu mengurus masalah yang menyangkut tentangmu, tapi tetap saja semua karena ada imbal baliknya.” “Apa dia masih menginginkan yang lain? Apa dia mengatakan sesuatu yang lain saat kalian bicara berdua? Nanda, kamu sudah berkata ingin jujur kepadaku, apa kamu tidak bisa meng
Sashi berjalan di lobi menuju resepsionis. Setelah meminta izin dan meyakinkan Nanda, Sashi pergi ke perusahaan Owen sendirian. Dia penasaran dan ingin tahu, kenapa Owen selalu membeli lukisannya, padahal di rumah pria itu sudah ada puluhan lukisan miliknya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis saat melihat Sashi datang. “Saya ingin bertemu Pak Owen, bisa tolong sampaikan kalau Sashi ingin bertemu,” jawab Sashi langsung menyebutkan namanya. Resepsionis itu langsung menghubungi Owen tanpa bertanya maksud kedatangan Sashi. Dia tentunya tahu siapa wanita itu. Sashi berdiri menunggu resepsionis itu menghubungi Owen, memandang lukisan buatannya yang masih ada di belakang resepsionis. “Nona, biar saya antar ke ruangan Pak Owen.” Resepsionis itu mempersilakan Sashi untuk ikut bersamanya. Sashi pun mengangguk, lantas berjalan mengikuti resepsionis itu. Mereka berada di lift, Sashi berdiri di belakang resepsionis menuju lantai teratas gedung itu. Keduanya pun keluar dari lift,
Sashi terperanjat mendengar ucapan Owen. Dia sampai menatap pria itu dengan rasa tak percaya. Pikirannya sedang berusaha mengakui semua kalimat yang pernah didengarnya itu. “Siapa kamu sebenarnya?” tanya Sashi memandang Owen dengan rasa penasaran, apalagi dia benar-benar tak kenal dan tak tahu siapa Owen, tapi pria itu mengetahui kalimat yang pernah diucapkan seseorang kepadanya. “Harusnya kamu bisa menebaknya,” jawab Owen tak langsung menjawab pertanyaan Sashi. “Oliver.” Satu nama lolos dari bibir Sashi. Owen tersenyum mendengar nama yang disebut Sashi. Dia berdiri ke mejanya, lantas mengambil sebuah bingkai foto dari sana. Owen kembali menghampiri Sashi, lantas memberikan bingkai itu. Sashi mengambil bingkai itu, lantas melihat foto yang ada di sana. Dua remaja berpose saling merangkul. “Kamu, kakaknya?” tanya Sashi dengan tangan gemetar. Owen tak menjawab. Dia memilih kembli duduk sambil menyilangkan kaki sambil menatap Sashi. “Tapi kenapa? Kenapa kamu melakukan ini semua?”