“Kurasa ini sudah bukan urusan kita, Raff.” Reinhart memberi masukan. Raffael pun setuju. Kalau sudah seperti ini, sudah masuk ranah pihak berwajib dari negara untuk turun tangan. Black angkat bicara. “Dia pikir kita nggak punya bukti kejahatan dia. Kalau sudah begini, sebaiknya langsung saja. Tangkap Derek. Kejar Zacharius diam-diam.”“Kalau begitu, tolong urus, Black. Aku mau telpon istriku dulu.” Raffael tersenyum lebar, menyerahkan semua pada kakak iparnya. Reinhart tergelak melihat wajah tak setuju Black. “Sana telpon Manda! Dia pasti panik.”Regan segera memindahkan Reinhart kembali ke ruangannya dan membiarkan sang majikan menikmati waktu pribadinya. Sepeninggalan mereka, Raffael mencoba menghubungi Manda. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol hijau, lalu terkekeh sendiri terhadap apa yang ia rasakan saat ini. Canggung dan penuh antisipasi. Seperti mereka yang pertama kali berpacaran. ’Kurasa aku memang sudah gila.’ Nada sambung kedua setelah ia menyentuh to
“Te–tenang dulu!” Derek menarik dan mengangkat dua tangannya, menandakan ia tidak bermaksud jahat.“Ken. Biarkan dia!” perintah Camelia pelan, setelah menenangkan diri. “Apa yang Pak Derek perlukan?”“Ah … tidak.” Derek menggaruk kepala belakang yang terasa seperti ditusuk-tusuk, membuat gatal. “Saya hanya berpikir apakah tamu Bu Camelia itu orang yang saya kenal atau bukan.”“Alana?” tanya Camelia berusaha tampil seolah ia tidak tahu apa-apa. “Apa bapak mengenal Alana?”Tergesa, Derek membantah. “Be–belum tentu, Bu. Saya–anu, kalau boleh saya cuma akan lihat saja. Saya juga kurang akrab. Hanya pernah kenal saja.”Alasan yang dikatakan dengan ragu dan terbata itu membuat Camelia mengerutkan dahi. Namun, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata, “Silakan saja, Pak.”Camelia melanjutkan langkahnya, mengikuti Lyn dan resepsionis menuju lantai lobi, di mana mereka akan bertemu Alana.‘Apa yang sebenarnya terjadi?! Bukannya Alana sudah tiada?!’ batin Camelia penuh tanya. Saat merek
“Tuan—”“Astaga, Raffael!” pekik Manda panik. Raffael–suaminya, berdiri di depan pintu rumah mereka dengan cengiran paling lebar. Perban di kepalanya bahkan belum dijadwalkan untuk dibuka. Plester luka di mana-mana. Dan pria itu ada di depan matanya sekarang. “Kamu kabur dari rumah sakit?!” tebak Manda sambil menggandeng suaminya masuk ke dalam. Diana dan Rowan yang sedang menikmati sarapan pun terkejut. Langsung meninggalkan piring mereka dan menghampiri sang menantu.“Oh, my! Kau ini sudah sembuh dan bisa keluar atau bagaimana, Nak?” tanya Diana. “Apa mereka mengusirmu?”Ia menyalahkan rumah sakit di Jakarta yang membiarkan Raffael keluar dari sana dengan kondisi seperti itu. Raffael terkekeh mendengarnya. Namun, kalimat yang ingin ia utarakan malah dicuri oleh Manda. Sang istri berkata, “Siapa yang berani ngusir Raffael, Ma? Dia pasti kabur ini!”Manda ingin mencubit tubuh Raffael, tapi ditahannya. Ia tak mau menambah luka tak penting di tubuh suaminya itu. “Ah, sudahlah!” M
“Mma! Mma!” Bintang mungil berteriak-teriak meminta perhatian Manda. Ibunya itu tengah menyeka tubuh suaminya yang belum bisa banyak terkena air. “Hey, boy! Kamu sudah bisa panggil mamamu, hm? Apa kamu sedang protes?” kekeh Raffael sambil mencoba mengundang putranya untuk merangkak menaiki kaki.“Raffa, jangan kasih kakimu!” tegur Manda. “Aku nggak tahu kondisi kakimu. Gimana kalau patah?!”Raffael tergelak. “Nggak, Hon. Nggak ada patah kakiku. Rusuk doang ini.”Manda memutar bola matanya, heran karena Raffael seperti tidak ambil pusing dengan luka-luka di tubuhnya. “Mma!” pekik Bintang lagi, sepertinya mulai kesal karena Manda tak kunjung memperhatikannya.“Tuh lihat, dia mau naik, Hon. Aku nggak bisa angkat dia kan.”“Biarin aja. Biar dia usaha sendiri.” Namun, setelah bicara begitu, Manda malah berlutut di pinggir kasur, memberi putranya itu pegangan agar bisa berdiri di dekatnya. Raffael tersenyum haru melihatnya. Ia pikir istrinya tidak akan menolong, tetapi tetap menyiapkan
“Bukan! Namanya Zacharius,” ulang Camelia. Karan mengangguk paham. “Ya, Nona. Tetapi kami mengenal pria ini dengan nama Sandigio Alfonz. “Pemalsuan data diri?” Camelia menebak, mendapat anggukan dari Karan. “Tapi, apa yang membuat orang itu punya dendam pada Djaya Tambang?” tanya Camelia lagi. “Apa Dad melakukan sesuatu?”Karan terlihat gugup. Ia tak menjawab pertanyaan itu, jelas karena ucapan Camelia yang terakhir adalah benar. “Apa yang Dad perbuat dulu?” Camelia menuntut penjelasan. “Karena apapun itu, pasti alasan dia menyerang Djaya Tambang!”Adam membenamkan wajahnya. Ia tak percaya bahwa apa yang diperbuatnya dulu menjadi karma yang jatuh pada anak-anaknya. Melihat atasannya tak sanggup bercerita, tapi juga tak terlihat ingin menutupi, Karan buka suara. “Pak Adam hanya melakukan apa yang dia anggap benar, Nona,” ujar Karan. “Saat tahu Pak Sandi melakukan penggelapan uang pajak dan juga melakukan pembukuan ganda, Pak Adam melaporkan hal ini.”Camelia tertegun. Ia tak perc
“Zacharius sudah tertangkap.”Black melapor pada Raffael. Suara-suara di belakang sang bodyguard terdengar jelas bahwa mereka baru saja berhasil meringkus pria licik itu. Raffael bahkan bisa mendengar teriakan yang menyumpahi ayahnya. Satu hari setelah motif Zacharius terungkap lewat cerita Adam, mereka akhirnya berhasil menangkap si penjahat.“Sepertinya benar, dia dendam pada mereka.” Raffael menyimpulkan. Black kemudian menawarkan, “Apa Anda mau saya konfirmasi tuduhan itu?”“Nggak terlalu penting,” keluh Raffael. “Tapi kalau kau bisa, mungkin itu akan membuatku lebih baik.”Setelah bicara dengan Black, tak disangka, Camelia dan Reinhart datang berkunjung ke kediaman Manda. Dan kebetulan yang membukakan pintu adalah Raffael yang tidak sedang mengerjakan apa-apa. “Apa yang kalian lakukan, ada di rumahku tanpa pemberitahuan?” tanya Raffael dengan nada kesal, walau ia tetap membuka jalan bagi mereka. Reinhart terkekeh. “Masalah sudah beres, jadi kupikir jalan-jalan sejenak setel
“Ha?! Apa kau sudah gila?” tukas Raffael terkejut dengan permintaan yang ia dengar dari mulut Camelia. Camelia tahu, Raffael tidak akan pernah setuju dengan hal itu, makanya ia meminta bantuan Manda untuk melunakkan hati suaminya. Namun, ia tak menyangka bahwa apa yang diminta sang ayah ternyata terlalu besar. Karena bahkan Manda pun langsung menundukkan kepala, terdiam seribu bahasa. Menyadari bahwa reaksi Manda tidak seperti yang mereka bayangkan, Reinhart langsung mengambil alih percakapan. “Nggak, nggak. Ini bukan paksaan.” Suara renyahnya berhasil membuat Manda kembali fokus pada percakapan mereka. Lagi, Reinhart menjelaskan, “Amel cuma sekedar bercerita, kalau Dad sempat bilang begitu sama dia. Tolong jangan salah paham.”“Sudah cukup! Tidak ada lagi pembahasan soal ini di depan Manda!” sentah Raffael. Ia segera merangkul Manda dan berkata, “Honey, sebaiknya kamu istirahat saja di kamar.”Tak menolak, Manda segera pamit. Langkahnya terlihat lesu, dengan bahu yang turun, seo
5 tahun berlalu.Bintang sudah masuk sekolah taman kanak-kanak di usia 6 tahun. Dan hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kali ini, Manda sudah siap menerima kedatangan mertuanya di rumah mereka, di Jakarta.Sejak Bintang mulai masuk usia sekolah, Manda dan keluarga memutuskan untuk kembali ke ibukota dan menyekolahkannya di sana. “Manda, mereka sudah datang.” Raffael masuk ke kamar dan mendapati istrinya malah menyembunyikan diri dengan selimut tebal. Raffael tersenyum lembut, kemudian memanggil, “Hon?”Manda menyembul dari balik selimutnya. “Raffa, kayaknya aku nggak siap.”Raffael tergelak sambil memeluk sang istri yang masih terbalut selimut. “It’s ok. Kau bisa di kamar saja. Kalau mereka sudah pulang, baru kamu keluar. Oke?”Wajah Manda terlihat merasa bersalah sementara ia bertanya, “Boleh begitu ya?”“Boleh. Kau nggak punya kewajiban apa-apa untuk menemui mereka. Aku tidak akan mempermasalahkannya. Begitu juga mereka.”Wanita yang usianya memang jauh lebih muda dari Raffael i
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju
“Aku cukup tua untuk atur hidupku, Pa,” keluh Bintang. “Apa kalian semacam detektif? Datang mau interogasi?”Raffael mendengus. “Kalau kau nggak buat masalah, Mama Papa juga nggak akan sibuk urusin hidup kamu, Bintang.”Bintang memutar manik matanya. Ia memang sengaja membuat banyak skandal untuk meminimalisir perempuan mendekatinya. “Fine. Kalian sudah makan pagi? Karena aku lapar.”“Aku sudah makan roti dari kulkasmu, Nak. Kau bisa buat makan pagi sendiri.” Manda menyesap teh yang sudah hampir habis. Bintang membawa dirinya ke dapur, membiarkan kedua orang tuanya tetap mengajukan pertanyaan, sementara ia memasak sarapan pagi. “So, kamu akhirnya pacaran dengan Adelia?” tanya Raffael dengan nada penuh curiga. “Papa baru dengar beberapa menit lalu kalau kamu baru saja meresmikan hubungan pura-pura kalian.”Bintang terkekeh. Ia cukup lega karena sang ayah tidak mulai pembicaraan dengan memarahinya karena sudah membuat rencana gila seperti menjadikan Adelia sebagai pacar pura-puranya.