“Chang! Bereskan rumah orang itu. Saya nggak mau Manda stres karena ada bajingan gila di sebelah rumahnya.”Raffael menyerahkan ponsel itu lagi, seraya masuk ke mobil. Kali ini, Regan juga ikut di dalamnya.“Regan, bilang Elena, sampai rapat pemegang saham saya nggak akan datang lagi ke kantor. Kalau ada dokumen yang masih membutuhkan tanda tangan, dia bisa hubungi kamu.”Regan mengangguk paham. Ia segera mencari nomor ponsel Elena dan menghubunginya. “Tara, ke Jogja!”*** Sementara itu, di kediaman Indradjaya. Adam dan Seria nampak kacau. Mereka pikir setelah sebulan lebih, Raffael akan menyerah dan kembali pada Catherine. Mereka pikir semua pengunduran diri dan penghapusan nama keluarga hanya akan berlangsung sementara. Di mata Adam, Raffael tidak pernah bisa hidup tanpa harta keluarga Indradjaya. Saat dulu ia dikirim ke luar negeri, Raffael selalu meminta uang, uang dan uang. Menurut staf di sana, semua uang itu digunakan untuk berjudi dan main perempuan. “Bagaimana, Pa? Kita
“Ha?! Julius?!” Diana berseru dengan wajah panik. “Mantan kamu, Nak?”Manda mengangguk. ‘Pantas perasaanku nggak enak dari tadi. Aku seharusnya lebih waspada. Kedatangan Raffael bikin aku terlalu rileks,’ batin Diana menyesal sudah membiarkan Manda yang membuka pintu tadi.“Dia mau apa, Manda?” tanya sang ibu khawatir. Manda tak tahu apakah ia harus mengatakan semua cerita Julius pada sang ibu. Ia tidak yakin, tapi mantan kekasihnya itu terlihat sangat berani bahkan mengajak untuk melakukan tes DNA pada sang bayi. “Dia bilang ini anaknya. Katanya di hari aku mabuk ….” Manda berhenti sesaat, kemudian melanjutkan dengan berat, “Dia melakukan itu padaku.”Diana mengerutkan dahinya. “Lalu, kamu bagaimana, Nak? Apa ada ingatan soal malam yang seperti itu?”Manda menggeleng. “Aku nggak ingat, Ma. Sama seperti waktu mabuk dan bertemu Raffael aku sama sekali nggak ingat bagaimana akhirnya.”Kebanyakan, Manda hanya ingat bagian awalnya. Dan ketika rasa mabuk semakin menguasai, ingatannya pu
Manda mengangguk dalam diam. Ia membiarkan tubuhnya disetir oleh Raffael, duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu. Sementara itu, Diana masuk ke dapur, memberikan ruang bagi dua sejoli tersebut untuk bicara, tapi bukan berarti ia lepas tangan. Telinganya siap mendengarkan semua obrolan anak muda itu.“Kenapa kau nggak membela diri, Manda? Kau tahu kau nggak tidur dengannya, kan?”Manda tertunduk. Menyembunyikan rasa malu dan kebodohannya. Bodoh karena ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi saat mabuk dulu. Terlebih, ia tidak yakin dengan dirinya sendiri, setelah melihat Julius begitu tegas mengklaim bahwa bayi itu adalah anaknya.“Hon ….” Raffael mengangkat dagu Manda dan tersenyum. “Aku yang pertama menyentuhmu. Itu anakku, Sayang.”Mendengar ucapan Raffael, Manda langsung memeluk pria itu erat-erat. “Kenapa kau baik banget sama aku? Aku akan tetap lakukan tes DNA untuk bayi ini, Raffa.”“Buat apa?” protes Raffael sambil terkekeh geli. “Aku tahu saat aku menyentuhmu, Manda.
“Kalau dia laki-laki jahat seperti Julius, aku juga nggak akan menerimanya, Pa. Tapi Raffael nggak seperti itu.”Manda menepuk punggung tangan sang ayah, meminta perhatian untuk memikirkan lebih dalam.Rowan menghela napas. “Bukan soal dia, Nak. Papa nggak buta kalau Raffael adalah laki-laki baik. Hanya saja, sekelilingnya nggak mendukungmu. Kau nggak buta soal itu kan?”Kali ini Manda terdiam. Ia tidak tahu bagaimana merespon ketakutan sang ayah. Ia juga tidak tahu bagaimana meyakinkan bahwa lebih baik bersama Raffael dan menghadapinya bersama ketimbang hidup tenang tapi tanpa Raffael.“Bagaimana kalau suatu hari, orang tua atau saudaranya mencelakai kamu dan anak kamu?” Rowan menambahkan lagi. “Sebagai papa, semua itu bayangan yang membuatku was-was, Nak.”Manda tertunduk. Wajahnya semakin muram menahan air mata yang mulai membuat netranya panas. Ia tidak tahu harus berkata apa, karena semua yang dikatakan sang ayah benar. Semisal saja, Raffael berjanji akan menjaga Manda dengan n
“Dia pindah ke rumah sebelah dengan niat mengganggu Manda, jadi saya membayar lebih untuk rumah itu dan meratakannya dengan tanah.”Wajah Raffael terlihat bahagia saat mengatakannya. Dan Rowan pun tak sadar ikut tertawa membayangkan seperti apa tampang Julius saat kejadian. “Apa kau ingin membangun sesuatu di lahan sebelah? Aku bisa mengurusnya, Pa.”Rowan terkejut mendengar tawaran itu. Ia tidak terpikir untuk membangun sesuatu untuk saat ini. “Biar Manda saja yang pikirkan. Mungkin dia lebih butuh daripada aku.”Raffael mengangguk setuju. Ia sudah memiliki beberapa pilihan desain untuk lahan di sebelah rumah itu, tapi ia tak bermaksud membangunnya untuk Manda. CEO RAFT entertainment itu berencana membawa mereka kembali ke Jakarta, setelah semua tenang. ‘Yeah, mungkin aku akan coba bicara bulan depan.’Untuk saat ini, ada hal lain yang harus dilakukan Raffael. Selesai menikmati kue yang dibawa Rowan, mereka berkumpul di ruang tengah. Raffael meraih tangan Manda sambil menatap dua
“Sepertinya harus operasi, Bu Manda, Pak Raffael.”Sang dokter akhirnya harus datang bertugas di hari liburnya, karena sampai pukul 11 malam bukaan jalan lahir Manda tak kunjung bertambah. “Kalau tidak operasi kenapa, Dok?” tanya Manda khawatir. Ini pertama kalinya ia melakukan tindakan besar seperti operasi. “Adik bayinya sungsang di dalam. Untuk membetulkan lagi, waktunya tidak akan keburu karena air ketubannya sudah banyak keluar. Akan berbahaya buat bayinya, Bu.” Dokter berusaha meyakinkan Manda bahwa operasi c-section adalah jalan terbaik. Melihat Manda keberatan dengan tindakan operasi, Raffael meminta waktu sebentar untuk bicara dengan Manda. Sang dokter memberi waktu setengah jam untuk memberikan keputusan. Raffael meraih tangan Manda dan mengecupnya pelan. “Honey, apa yang kamu takutkan? Tenang saja, dokter ini kenalan Chin Han, jadi nggak akan melakukan hal jahat.”Manda merajuk. “Kata orang, kalau lahirin anak cesar, nggak bakal bisa disebut seorang ‘ibu’. Aku mau ja
“Raffael, apa kau sudah siapkan nama untuk putramu?” tanya Diana yang sedang mengusap layar ponselnya sejak tadi.Ia sedang membuka situs internet terkait nama-nama yang mungkin cocok bagi cucunya.“Rama? Raffael Manda.”Diana langsung berhenti menatap ponselnya dan memandang menantunya itu dengan tatapan tak setuju. “No! Cari nama lain!” Raffael menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal. Baru kali ini ia mencari nama untuk bayinya, tapi ia tidak tahu bagaimana mencarinya. Biasanya, ia akan minta Regan atau Chang untuk mencari tahu sesuatu.Melihat Raffael bingung, Diana menunjukkan layar ponselnya. “Buka ponselmu dan cari di internet, ‘nama bayi laki-laki’. Nah coba kamu cari di sana.”Mendengar itu Raffael langsung mengerjakan tugas pertamanya sebagai seorang ayah. “Bagaimana kalau Reinhard?” tanya Rowan penuh semangat. Wajah Raffael berubah jijik. “Jangan, Pa. Itu nama iparku yang licik.” “Licik?! Seperti apa?” tanya Rowan, bersiap kalau-kalau orang yang disebut Raffael bisa
“Nggak masalah!” seru Diana memberi izin. Rowan mengangguk. “Nama Adinata bukan nama keluarga. Aku hanya menyamakan nama Manda dengan namaku.”Rowan menambahkan, “Tapi kalau mulai sekarang itu jadi nama keluarga, kurasa nggak ada ruginya.”Netra Raffael berkaca-kaca mendapat izin tersebut. Ia akan segera meminta Natasya mengurusnya nanti.Raffael Adinata. Bintang Adinata. Manda Adinata. “Apa boleh kita menikah bulan depan, Manda, Mama, Papa?” tanya Raffael yang tak ingin menunggu lama. “Ha?! Bulan depan?! Nggak akan cukup waktunya, Raffa,” ujar Manda tak setuju. “Lagian, badan aku masih gemuk!”Raffael terkekeh. “Soal waktu, kamu nggak usah khawatir. Tinggal datang duduk manis, Sayang.”Rowan mengangguk setuju. “Benar, sebaiknya diurus segera. Jadi, akta lahir Bintang nanti nama Raffael sudah ada.”Raffael merasa bahagia karena mendapat dukungan dari ayah mertua yang selama ini selalu menolaknya. Manda pun tak punya alasan lagi. Ia akan berusaha mengembalikan bentuk tubuhnya kemb
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju
“Aku cukup tua untuk atur hidupku, Pa,” keluh Bintang. “Apa kalian semacam detektif? Datang mau interogasi?”Raffael mendengus. “Kalau kau nggak buat masalah, Mama Papa juga nggak akan sibuk urusin hidup kamu, Bintang.”Bintang memutar manik matanya. Ia memang sengaja membuat banyak skandal untuk meminimalisir perempuan mendekatinya. “Fine. Kalian sudah makan pagi? Karena aku lapar.”“Aku sudah makan roti dari kulkasmu, Nak. Kau bisa buat makan pagi sendiri.” Manda menyesap teh yang sudah hampir habis. Bintang membawa dirinya ke dapur, membiarkan kedua orang tuanya tetap mengajukan pertanyaan, sementara ia memasak sarapan pagi. “So, kamu akhirnya pacaran dengan Adelia?” tanya Raffael dengan nada penuh curiga. “Papa baru dengar beberapa menit lalu kalau kamu baru saja meresmikan hubungan pura-pura kalian.”Bintang terkekeh. Ia cukup lega karena sang ayah tidak mulai pembicaraan dengan memarahinya karena sudah membuat rencana gila seperti menjadikan Adelia sebagai pacar pura-puranya.