Tania sedang duduk santai di ruang kerjanya ketika pintu terbuka dengan kasar, menyebabkan gagangnya berbenturan keras dengan dinding. Matanya membelalak saat melihat siapa yang masuk.Baskara. Pria itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah gelap penuh amarah, seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Baskara?” Tania langsung berdiri, mencoba bersikap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. “Ada apa?”Baskara berhenti tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat Tania merasa seperti terpojok. Ia belum pernah melihat pria itu semarah ini sebelumnya.“Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Tania,” ucap Baskara dingin, tapi nada suaranya penuh ancaman.Tania mengerjapkan mata, berusaha memasang wajah bingung. “Aku tidak paham maksudmu, Baskara. Keterlaluan kenapa?”“Aku tahu apa yang kamu lakukan,” suara Baskara rendah, hampir seperti desisan berbahaya. “Kamu mendorong Aruna di tangga darurat malam itu.”Mata Tania membelalak kaget, tapi ia cepat-cepat menguasai
Aruna duduk bersandar di tempat tidur rumah sakit, tenggelam dalam buku yang dibawakan Baskara beberapa hari lalu. Rambutnya sudah terasa jauh lebih baik dan tidak lagi terasa lepek setelah dicuci oleh Baskara.Mata Aruna fokus membaca. Buku dari Baskara itu salah satu kesukaannya, tetapi pikirannya masih sering melayang ke mana-mana, sulit untuk benar-benar fokus. Sesekali ia menghela napas pelan, merasakan kesunyian yang menyelimuti ruang perawatannya. Setelah beberapa hari yang berat, pagi ini terasa sedikit lebih tenang. Terlebih dengan perhatian-perhatian Baskara yang mulai terlihat lebih peduli. Di samping itu, Aruna juga merasa tubuhnya perlahan mulai pulih.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Aruna mengangkat kepala, sedikit terkejut. Ia mendapati Oma masuk dengan senyum hangat yang langsung membuat suasana di ruangan itu terasa lebih hidup. Di belakang Oma, Arga mengikuti sambil membawa tas kecil berisi camilan dan buah.“Oma?” Aruna menyapa dengan suara pelan, matanya b
Pintu ruang perawatan terbuka perlahan. Baskara melangkah masuk dengan langkah perlahan, kemeja yang dipakainya sedikit kusut, serupa dengan wajahnya yang terlihat letih. Pria itu mengulas senyum tipis pada Aruna. Tapi begitu matanya tertuju pada Arga yang duduk di sudut ruangan, ekspresinya langsung berubah. Mata Baskara menyipit, rahangnya mengeras, dan tubuhnya seolah menegang.Aruna bisa merasakan perubahan aura Baskara seketika, dingin dan penuh ketidaknyamanan. Ia tahu betul apa yang ada di pikiran suaminya. Baskara tidak suka melihat Arga di sini. Itu sudah jelas dari tatapan tajam yang dilemparkan pria itu ke arah Arga, meskipun bibirnya tetap terkatup rapat.Arga, yang sepertinya juga menyadari kedatangan Baskara, berdiri dengan tenang. Wajahnya tetap netral, meskipun ia jelas menangkap ketidaksukaan di mata Baskara. Tidak ada kata yang terucap dari mereka berdua, namun atmosfer ruangan langsung berubah tegang, seperti benang yang ditarik kencang dan siap putus kapan saja.Pe
Beberapa hari kemudian, Aruna diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Setelah kesehatannya berangsur pulih, Aruna mulai sering mengunjungi rumah Oma karena ia tidak ingin sendirian selagi Baskara bekerja. Ia merasa lebih nyaman dan damai di rumah Oma, di tengah taman belakang yang penuh bunga, di meja makan besar yang selalu penuh makanan rumahan, dan di sofa empuk tempat Aruna dan Oma kerap mengobrol panjang lebar. Setelah semua tragedi yang ia alami, rumah Oma seakan menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa bernapas lega tanpa tekanan atau ingatan pahit yang terus menghantui pikirannya.Hari itu, Aruna duduk santai di beranda belakang bersama Oma, menikmati teh hangat dan kudapan kecil yang disiapkan oleh pengurus rumah. Senyum tipis terlihat di wajahnya merespon cerita Oma. Sambil menyeruput teh, Oma menceritakan masa mudanya yang penuh perjuangan, membuat Aruna sesekali tertawa kecil.“Mungkin jika aku dulu jadi Oma, aku tidak akan sekuat itu,” ujar Aruna sambil mengusap lembut
Di sebuah kafe mewah yang sering menjadi tempat pertemuan kalangan atas, Kumala duduk dengan anggun sambil menyeruput secangkir kopi hitam. Wajahnya tampak dingin, namun di balik mata tajamnya, ada kemarahan yang sudah menumpuk. Ia masih kesal setelah percakapannya dengan Aruna tadi. Aruna yang dulu ia kira lemah dan mudah diatur kini berubah menjadi jauh lebih tegas dan berani. Hal itu membuatnya geram.Pintu kafe berayun terbuka, dan seorang wanita dengan rambut panjang terurai melangkah masuk dengan percaya diri. Tania datang mengenakan gaun elegan dan kacamata hitam yang segera dilepaskannya begitu ia melihat Kumala. Dengan senyum penuh arti, Tania berjalan mendekat dan duduk di kursi di depan Kumala.“Maaf aku terlambat,” sapa Tania dengan suara manis. Namun perangainya sangat menunjukkan bahwa wanita itu licik.Kumala meletakkan cangkir kopinya dan mengangguk kecil. “Terima kasih sudah datang, Tania. Kita perlu bicara.”“Sepertinya Tante sedang dalam suasana hati yang tidak baik
Malam harinya, pintu apartemen terbuka, dan Baskara melangkah masuk dengan langkah pelan. Ia melepas dasi dan jasnya, kemudian meletakkannya di gantungan dekat pintu. Ruangan terasa tenang, bahkan mungkin terlalu tenang. Biasanya, Aruna akan duduk di sofa, membaca buku, atau sekadar bersantai sambil menikmati secangkir teh. Tapi malam ini, suasananya berbeda.Baskara menoleh dan menemukan Aruna di meja makan, sibuk memotong buah sambil memasang ekspresi dingin. Tanpa sapaan, tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.Baskara menghela napas panjang. Ia tahu Aruna masih marah. Ia juga tahu kenapa.Sepanjang hari, Baskara mendapati dirinya dilingkupi perasaan bersalah. Ia tahu sikapnya tadi pagi terlalu keras. Tapi dalam pembelaannya, ia sangat terburu-buru dan jam itu seharusnya tidak ada di kamar Aruna. Ditambah lagi tidak ada penjelasan logis dari kejadian itu yang membuatnya semakin kesal.Ia berjalan mendekat perlahan, mengambil tempat di sebelah meja. Aruna tetap diam, fokus memotong ape
Beberapa hari kemudian, Aruna diajak Baskara menemaninya dalam acara kantor di daerah Puncak. Saat mereka tiba di lokasi, sebuah resort mewah yang dikelilingi pepohonan hijau dan udara segar, Aruna bisa merasakan banyak pasang mata yang langsung tertuju pada mereka. Para karyawan yang sudah lebih dulu hadir terlihat terkejut, mungkin tidak menyangka Baskara datang sambil menggandeng erat tangan istrinya.“Pak Baskara dan Bu Aruna terlihat serasi sekali,” bisik seorang karyawan perempuan kepada temannya.Aruna mendengarnya dan semakin tersipu. Ia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Namun, Baskara justru menggenggam tangannya lebih erat dan berbisik di dekat telinganya, “Tidak usah malu. Kamu istri aku.”Kalimat sederhana itu membuat jantung Aruna berdebar kencang. Baskara yang dulu cuek dan dingin kini berubah menjadi seseorang yang mampu membuatnya merasa dihargai dan dilindungi.Mereka berjalan ke area utama acara, di mana para tamu sudah menikmati makan
“Tania?” suara Aruna bergetar saat melihat sosok yang berdiri dengan ekspresi dingin di bawah sinar samar lampu.Tania tersenyum miring, tatapannya penuh dengan kebencian yang tak disembunyikan. Gadis itu tidak seharusnya ada di sini karena ia bukan karyawan Grup Adiwireja. Dari pakaiannya yang serba tertutup, sepertinya Tania memang sengaja menyembunyikan diri dan datang diam-diam.“Kamu pikir kamu sudah menang hanya karena Baskara memperlakukanmu dengan baik, Aruna?” suara Tania terdengar tajam, seperti pisau yang menusuk udara dingin malam itu.Aruna menelan ludah. “Apa maumu, Tania? Sudah cukup kamu mencelakaiku sebelumnya–”Namun, sebelum Aruna sempat melangkah mundur, Tania sudah bergerak cepat. Dengan kasar, ia menarik lengan Aruna dan menyeretnya ke arah sisi jalan, menuju hutan kecil yang lebih gelap.“Tania, lepaskan aku!” Aruna berusaha melawan, namun tubuhnya yang sudah lelah dan sepatu hak tinggi yang menghambat langkahnya membuat ia tidak mampu melawan kekuatan Tania.Ga
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera