Garvin memang mengelola dua bisnisnya yang mempunyai dua sisi. Prinsipnya, dua bisnis itu akan terus berdampingan dan berjalan meski dengan jalur yang berbeda.
~~
“Kualitas daun ini tidak begitu baik,” kata Garvin. Ia mengamati daun-daun bahan pembuatan obat terlarang. Ada begitu banyak karung yang bertempuk berisikan sama.
“Para petani ketakutan mendengar akan ada razia, sehingga mereka memanen daun lebih awal. Tekstur daun yang lebih muda tidak sebaik yang tua, sehingga dalam perjalan ke sini, daun-daun tersebut banyak yang rusak.” Penjelasan dari Christ.
Hanya mengangguk. “Apa mereka sudah tahu kualitas daun ini menurun?”
Chirst mengangguk. “Mereka tidak berani menurunkan harga karena tidak ada pemasok daun selain kita.”
“Bagus.” Garvin berjalan keluar dari gudang. Letak gudang berada di tengah hutan. Jelas, jika letaknya sangat diperhitungkan Garvin agar menghindar dari razia po
Alesha terbangun sore hari. Setelah mendapatkan pemeriksaan cukup intensif, ia dipindahkan ke ruangan pasien biasa. Tubuhnya mulai pulih namun infus masih tertancap pada punggung tangannya. Dadanya masih sesekali nyeri—Alesha tidak tahu jika dirinya tertidur cukup lama. Butuh waktu 12 hari sampai ia terbangun.“Ada yang sakit?” tanya Xavier.Alesha menggeleng lemah. Padahal ia berharap mati—namun ternyata ia masih selamat. Sudah merasakan sakit—tapi tidak jadi mati. Alesha sungguh kesal.“Akh.” Alesha memegang dadanya yang terasa ngilu.“Jangan memegangnya.” Xavier mencegah tangan Alesha yang akan menyentuh lukanya sendiri. “Tanganmu tidak bisa memegang lukamu sembarangan.”“Tapi sakit,” lirih Alesha.“Aku akan memberimu obat penahan rasa sakit.” Xavier memberikan sebuah resep pada perawat yang ada di sana. Setelah perawat pergi—Xavier menatap Ale
“Aku ingin tahu tentang Aldrich. Bagaimana kehidupannya di sini. Aku mau tahu semua tentang dia.” Garvin mengernyit. “Oke.” “Jika kau bertanya alasanku kenapa? Dua-duanya. Aku ingin bunuh diri dan menyelematkanmu. Aku ingin mati tapi juga ingin menyelamatkan nyawa untuk yang terakhir kali. Kejadian di mana Aldrich ditembak di depan mata kepalaku sendiri, membuatku ingin melindungi seseorang dari tembakan. Setidaknya satu kali dalam seumur hidupku.” Alesha menoleh. “Apa jawabanku cukup?” “Kombinasi yang bagus.” Komentar Garvin. “Setelah kau sembuh aku akan memberitahumu semua tentang Aldrich. Ada hal lain yang kau inginkan?” “Jika aku memintamu melepaskanku apa kau bisa?” “Jika aku melepaskanmu, apa yang akan kau lakukan?” Alesha menatap langit-langit kamarnya. “Setelah setelah dari ambang kematian. Aku semakin yakin aku tidak boleh mati. Setelah pergi dari tempatmu—aku akan pulang dan mengabdikan seluruh hidupku di Panti Asuhan.” “Tidak akan.” Alesha menghela nafas lelah. “Ken
Derap langkah kaki terdengar di sepanjang lorong rumah sakit. Orang-orang berpakaian serba hitam berjalan mengikuti seorang pria yang berada di paling depan. Seorang pria yang menggunakan kacamata hitam. Sampai di sebuah ruangan—ia berhenti. Membukanya perlahan. Namun ia tidak mendapati seseorang yang ia cari.“Di mana dia? Apa dia kabur?” Garvin mengepalkan tangannya. Mengapa ia ceroboh seperti ini? Ia hanya menitipkan Alesha pada Xavier. Ia tidak menyuruh anak buahnya mengawal ruangan perempuan itu.BRAAKGarvin meninju pintu dengan tangan kanannya. “Cari dia bagaimanapun caranya.” Ia mengusap kasar rambutnya. Membayangkan kehilangan Alesha saja membuatnya menggila.“Sir—Nona berada di Taman. Saya tidak bisa membawanya karena banyak orang yang menontonnya.”Garvin berjalan ke arah Taman. Benar saja—seperti apa kata anak buahnya. Ada begitu banyak orang yang menonton Alesha. Sebuah lagu mengalun. Alesha melakukan gerakan Ballet dengan sa
Alesha berhenti. Mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Ayolah—Alesha terlalu memaksa dirinya sendiri. Dahinya penuh dengan keringat. Ia juga lupa melakukan pemanasan sebelum memulai balet.“Kenapa kau berhenti?” Garvin lancang menyentuh bahu Alesha. “Sudah kubilang jangan memaksa dirimu. Kau benar-benar ingin mati rupanya.”“Cerewet.” Lirik Alesha sinis. Tangannya berpegang pada dinding. Ia butuh waktu untuk melanjutkan jalannya.Alesha terpekik saat tubuhnya melayang. Garvin menggendongnya ala bridal style. Membanya melewati lorong yang penuh dengan anak buahnya. Alesha malu sungguh—mau ditaruh di mana wajahnya.“Kau tidak perlu melakukan hal seperti ini.”Garvin menatap Alesha yang berada di gendongannya. Mereka sudah memasuki ruangan. “Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bisa melemparmu ke lantai.” Santai Garvin. Ia menaruh tubuh Alesha di atas ranjang dengan pelan.“Melihat kondisimu. Aku tidak yakin Xavier akan
“Siapa yang menyuruhmu?” Seperti biasa—Garvin duduk di sofa. Sedangkan di depannya ada satu wanita yang tengah dikerangkeng.“Aku tidak tahu. Aku hanya bertugas mengantar.”CETAR CETARCambuk itu menyambar tubuh wanita itu sebanyak dua kali.“Katakan padaku atau aku akan membunuh seluruh keluargamu?” Garvin dengan santai menghisap rokoknya. Ia melipat salah satu kakinya ke atas.“KUMOHON JANGAN MEMBAWA KELUARGAKU!” teriak wanita itu histeris.Garvin tertawa. “Katakan siapa yang menyuruhmu.”“Aku disuruh seorang pria. Dia memberiku imbalan yang sangat banyak. Dia juga mengancam akan membunuh keluargaku jika aku tidak mau menuruti perintahnya.”“Sebutkan ciri-cirinya.”“Ada sebuah tatto sayap di pergelangan tangannya.”Garvin mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dengan mengapit rokoknya di sela jarinya. Ia tahu siapa. Lambang sayap adalah simbol milik Dark Blood. Wiliam masih saja mengusiknya. Jika dia terobsesi membunuh Alesha. Maka ada hal lain yang harus ia cari tahu.“Beri dia pelaj
Setelah tidak mendengar suara barang-barang dilempar, Alesha memberanikan diri untuk keluar. Benar saja—semua perabotan sudah hancur berkeping-keping. Pecahannya bisa saja melukai kaki jika tidak segera dibersihkan.Alesha mendekat pada sebuah cermin yang sudah hancur. Terdapat banyak sekali jejak darah di sana. Ia mengamati lantai. Itu pasti darah Garvin. Alesha menghela nafas. Ia berjalan ke arah lemari dan mengambil satu dress. Memakainya secepat mungkin.~~Alesha pergi ke dapur. Membawa sebuah air hangat yang berada di dalam baskom. Ia ragu menatap sebuah pintu besar bercat hitam pekat. Ia mengetuknya pelan. Tidak ada sahutan. Ia memberanikan diri membukanya. Tangannya menekan knop pintu perlahan.“Sir,” panggil Alesha.Semuanya gelap. Tidak ada satupun pencahayaan yang menyala. Ia kesulitan menemukan keberadaan Garvin.“Untuk apa kau kemari?” tanya seseorang.“Kau di mana, Sir?” Alesha mengamati sekitar. Ia mencari saklar lampu dan menyalaknnya.Akhirnya ia bisa menemukan Garvin
“Aku membuatkan sup untuk meredakan sakit kepalamu.” Alesha meletakkan sup buatannya di atas meja dekat dengan Garvin.Garvin meliriknya sekilas. Tidak ada niatan untuk mencicipinya apalagi memakannya.“Apa kau—”“Jangan mengeluarkan sepatah katapun pagi ini. Aku bisa saja langsung membunuhmu,” ungkap Garvin.Alesha duduk di hadapan Garvin. Bertopang dagu menatap pria itu.CIIIITBunyi garpu yang sengaja ditancapkan ke atas piring kemudian digerakkan. Alesha menutup kedua telinganya. Bunyi yang menimbulkan ngilu. Alesha menatap pelakunya. Garvin melakukan hal itu dengan terang-terangan.“Makan dengan benar. Jangan membuatku marah Alesha.”Alesha terdiam. “Aku hanya ingin bertanya kapan kau akan memberitahuku tentang Aldrich?”“Aku sibuk. Aku tidak punya waktu meladenimu.” Garvin bangkit. Ia mengambil tasnya.“Tapi kau sudah berjanji. Setidaknya tepati jika kau benar-benar pria.” Alesha mengejar Garvin yang sudah berjalan keluar Mansion.“Apa aku punya kewajiban menuruti permintaanmu?
“Aldrich bekerja di Blacton. Total Aldrich bekerja dengan tuan Garvin selama 5 tahun. 3 tahun pertama, dia bekerja sebagai orang yang mengawasi dan memastikan penyelundupan barang berjalan lancar. Karena kinerjanya yang bagus—akhirnya Tuan Garvin sendiri yang mengangkat Aldrich sebagai salah satu tangan kanannya. Dua tahun terakhir Aldrich bertugas membuat strategi bisnis di Blackton.”“Entah apa yang terjadi. Aldrich berhianat dengan bekerja sama dengan Wiliam dari Dark Blood. Aldrich membocorkan strategi jalur keamanan perdagangan satwa liar. Sehingga Dark Blood menyerang kemudian mengusai jalur yang awalnya milik Blackton.”Alesha mengambil duduk di salah satu kursi. Ada begitu banyak hal tentang Aldrich yang sama sekali tidak diketahuinya.“Jadi Aldrich memang berhianat..” lirih Alesha.“Benar, Nona. Setelah pergi dari Blackton, tuan Garvin mencarinya. Ada peraturan dari Blackton, siapapun yang berhianat tidak akan bisa hidup. Antara mati atau terus disiksa. Namun saat Tuan Garvin
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun