Sebagai ucapan terimakasih karena Garvin mau menemaninya dan membelikannya dua kardus cokelat. Alesha memasak. Menunya simpel, hanya ayam goreng dan nasi putih. Makanan rumahan di Indonesia. Karena Alesha juga baik hati dan cantik jelita. Ia mau datang ke kantor Garvin yaitu Viction untuk mengantar makan siang buatannya. Alesha sudah berada di lobi kantor. Bertemu dengan resepsionis yang good looking. By the way di mana mereka perawatan hingga wajah mereka bisa mulus sekali. “Anda sudah membuat janji?” Alesha menggeleng. “Tuan Garvin saat ini sedang sibuk. Anda bisa kembali lagi besok saat sudah membuat janji,” ucap resepsionis itu. Salah Alesha juga. Kenapa tidak memberitahu Garvin jika dirinya akan datang. Kalau begini kan menyusahkan diri sendiri. Apalagi ia mencoba menghubungi Garvin tapi tidak diangkat sama sekali. Alesha memilih duduk di bangku tunggu. Ia punya ide cemerlang. Bagaimana kalau langsung ke ruangan Garvin saja. Ia akan bertanya pada kakek Abraham di mana ruang
Alesha menggeleng. “Ter-se-rah.” Ia membawa paper bag yang berisi kotak makan. “Aku mau bilang terima kasih karena sudah merawatku tadi malam. Oh ya juga untuk dua kardus cokelatnya.” “Aku membuatkanmu makan siang.” Alesha membuka kotak bekalnya. “Ayo makan. Kau pasti belum makan.” Garvin hendak menyulut rokoknya. Alesha langsung merebutnya dan memasukkannya ke dalam kantong. “Merokok setelah makan.” Garvin mengamati penampilan Alesha. “Kenapa memakai celana sependek itu? Apa kau tidak tahu banyak pria yang melihatnya.” Jujur Garvin sangat kesal—ia tidak suka jika kaki jenjang Alesha nanti dilihat pria belang di luar sana. “Biarkan.” Alesha mengambil sendok. Menyerahkannya pada Garvin. “Ini.” Garvin berdecak pelan. Memberitahu Alesha sama saja memberitahu batu. Tidak akan berguna. Ia mendekat. Menarik tengkuk Alesha dan mencium bibir Alesha beberapa detik. “Sebagai ganti rokokku yang kau ambil.” Alesha menyipitkan mata. “Jangan menciumku sembarangan.” Pergerakan Garvin yang ti
“Kau sudah melakukannya sayang?” tanya seorang perempuan pada seorang pria yang memangkunya. “Sudah. Seperti yang kau inginkan. Dia masuk rumah sakit akibat racun yang aku berikan di makanannya.” Si pria menggerayangi tubuh wanita. “Kau sudah puas hm?” tanyanya sembari mengecup leher si wanita. “Aku tidak akan puas sebelum melihatnya mati.” “Oh tenanglah. Dia kali ini akan benar-benar mati dengan racun buatanku.” Pria itu menyentuh dagu sang wanita. Kemudian melumat bibir wanita itu dengan ganas. Bunyi permainan mereka sampai terdengar. “Jadi kau mau menikah denganku sekarang?” tanya si pria. “Hahaha.” Wanita itu tertawa. “Kau bisa menebusku dari tempat sialan ini?” “Tentu.” Pria itu tersenyum. “Aku punya banyak uang untuk membebaskanmu. Aku tidak hanya modal cinta. Aku mencintaimu. Aku tergila-gila padamu. Tapi aku juga punya banyak uang untuk hidup kita.” Wanita itu tersenyum mendengar pernyataan si pria. Ia mengusap dada pria itu dengan menggoda. Perlahan ia membuka kancing
Setelah mengetahui kabar tersebut. Alesha memutuskan untuk langsung bergegas ke Mansion. Alesha bisa bernafas sedikit lega. Jika Garvin sudah boleh pulang, pasti keadaan pria itu sudah membaik. Di sepanjang perjalanan Alesha tidak bisa tidur seperti biasanya. Ia hanya ingin melihat Garvin secepatnya. Begitu sampai di depan Mansion. Alesha turun. Seperti biasa di sana banyak bodyguard berseragam hitam dari atas hingga bawah yang stand bye di depan. Alesha bisa langsung masuk tanpa ijin. Namun sekarang beberapa bodyguard itu menghadangnya. “Kenapa kalian melarangku masuk?” heran Alesha. Mereka hanya diam. “Aku ingin bertemu dengan Garvin,” Alesha berusaha menerobos orang-orang yang menghalanginya masuk. Namun tetap saja bergeser sedikitpun saja tidak. “Tuan sedang tidak ingin diganggu siapapun.” “Beritahu dia aku datang dan ingin bertemu dengannya sebentar saja.” Alesha sampai menyatukan kedua tangannya memohon. “Aku mohon pada kalian.” Mereka saling berpandang. Berkomunikasi mel
“Marson?” Alesha menatap Marson yang tengah terikat dengan keadaan yang penuh luka. Ia beralih menatap Garvin yang dengan santainya malah duduk. “Kau bisa jelaskan padaku kenapa kau menghukum Marson?” “Kau bisa berpikir sendiri siapa orang terdekatmu yang menaruh racun di makanan yang kau buat.” Garvin mengambil gelas lalu mengisinya dengan cairan Vodka. Alesha menggeleng. Tidak mungkin Marson? Pria itu ceria dan menyenangkan. Alesha menganggap Marson sebagai temannya sendiri. Meski jarak usia mereka terlihat jauh. Alesha masih tidak percaya. “Marson kau yang meracuni Garvin?” Alesha mendekat. Ia ingin mendengar jawaban yang keluar dari mulut Marson sendiri. Marson diam. Ia menunduk—mungkin karena luka yang terlalu banyak di tubuhnya membuatnya tidak ada tenaga. “Marson jawab aku!” teriak Alesha tidak sabar. “Garvin lepaskan dia.” Alesha menoleh ke belakang. “Aku ingin mendengar jawabannya.” “Aku tidak bisa melepaskan musuhku begitu saja.” Garvin menatap remeh Alesha. “Garvin
“KAU LANCANG SIALAN!” teriak Garvin tidak terima. Alesha menghela nafas panjang. “Aku menyalahkan diriku sendiri atas kejadian itu. Aku pikir aku benar-benar membawa sial untuk orang lain. Kau menghancurkan kepercayaanku pada orang lain. Setelah kejadian ini—aku pasti tidak bisa mempercayai orang lagi.” “DASAR J@LANG SIALAN! KAU PIKIR KAU BISA HIDUP BERSAMANYA HAH!” teriak Marson menggebu-gebu. “KAU SEPERTI JALANG LAINNYA! KAU DIBAYAR BERAPA?!” “TUTUP MULUTMU!” Garvin sudah berdiri. Ia hendak memukul Marson, namun dicegah oleh Alesha. “INGAT PERKATAANKU JAL@NG! KAU AKAN DIBUANG OLEHNYA!” “Seperti janjiku. Jika kau pelakunya. Aku akan menembakmu dengan tanganku sendiri.” Alesha mengambil pistol yang berada di atas meja. Alesha mengambil jarak yang lebih jauh dari Marson. Ia mengarahkan pistolnya tepat di kepala Marson. Tinggal menarik pelatuk dan peluru akan meluncur di kepala penghianat itu. Tapi rasanya begitu berat—baru kemarin rasanya mereka bercanda riang. Berusaha membendu
“Para warga berdemo di depan pagar lahan yang akan digunakan untuk menanam obat-obatan terlarang.” Vander, Christ dan Garvin duduk melingkar. Di paling ujung ada layar yang memperlihatkan sebuah kawasan yang sudah tertutup dengan pagar. “Berapa banyak?” tanya Garvin. Vander menunjuk layar. Di sana ada beberapa warga yang berdemo dan membawa papan bertuliskan menolak adanya proyek rahasia. “Tidak banyak. Mereka adalah organisasi yang menyuarakan aspirasi rakyat. Sebenarnya rakyat yang di sana tidak peduli. Yang mereka pikirkan hanyalah lahan mereka terjual dengan harga mahal,” jelas Vander. “Jika membunuh mereka, itu terlalu berisiko. Kita bisa menyuap masing-masing mereka agar diam.” Ide dari Christ. “Aku tidak akan memberi uang pada mereka yang tidak melakukan apapun untuk Blackton. Mereka akan menjadi lintah darat yang akan menggorogoti Blackton.” Garvin tidak setuju dengan ide dari Christ. “Aku ingin mendengar ide dari orang lain.” Garvin mengetukkan jarinya di meja. Seoran
Alesha pulang. Ia tidak mengindahkan perintah Garvin karena perintah kakek lebih penting. Kata kakek, Alesha tidak boleh menginap di Mansion Garvin. Sangat berbahaya, karena Garvin bisa memakannya. Alesha menurut saja—lagipula jika nanti Garvin marah. Ada kakek yang akan membelanya. Orland membukakan pintu untuk Alesha. Pria itu nampak biasa saja. Seperti tidak terjadi apapun. Alesha keluar ia menatap Orland dan Zack bergantian. Tidak ada yang ingin ia katakan. Alesha berjalan tanpa kata. Ia masuk ke dalam rumah. Tidak ada tanda-tanda kakek ada di rumah. “Bi kakek ke mana?” “Tuan pergi keluar Nona, katanya mau bertemu dengan rekan kerja,” jawab Bibi. Alesha berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasurnya. Ada begitu banyak kejadian hari ini. Alesha masuk ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ia tidak berhenti menggosok tanda di leher dan dadanya yang tidak bisa hilang. Alesha pikir menggosoknya akan menghilangkannya. Tapi ternyata salah—t
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun