Garvin menggeleng. “Untuk satu itu tidak. Aku tidak bisa memperdagangkan sesama manusia.” Ya Garvin memang tidak sepenuhnya monster. Ia tidak bisa melakukan hal tersebut karena mengingat anak dan istrinya di rumah. “Aku bisa diamuk Alesha jika melakukan itu.” Garvin tertawa pelan. Mengingat bagaimana Alesha sangat menentang bisnis gelapnya. Alesha akan marah besar jika dia berani memperdagangkan manusia.“Benar.” Vander juga mengangguk setuju. “Bisa-bisa anda tidur diluar.” Garvin juga mengangguk. “Alesha mempunyai pengaruh yang sangat besar pada diriku. Tapi anehnya aku bisa menerimanya.”“The power of love itu namanya,” balas vander.“Apa kau sudah bisa move on?” tanya Garvin yang begitu tiba-tiba.Vander menoleh. Ia menghela nafas sebentar. “Mungkin iya. Dengan kesibukanku menjadi penggantimu. Aku melupakannya.” “Bagaimana kabarnya?” pancing Garvin. “Dia sudah menjadi dokter di rumah sakit,” balas Vander. Garvin tersenyum tipis. “Kau belum sepenuhnya melupakan adik iparku. Kau
“Dari kesaksian teman-temannya. Jake memukul dan menendang Raynard. Jake bilang Raynard menganggunya lebih dulu. Tapi kata Raynard, Raynard hanya bermaksud meminjam pensil warna. Namun Jake tidak memperbolehkannya dan marah kemudian memukul dan menendang.” “Saya sudah berbicara dengan orang tua Raynard. Mereka ingin anda dan suami anda minta maaf. Mereka juga menuntut biaya perawatan Raynard di rumah sakit. Pihak sekolah juga sedang berdiskusi apakah Jake masih bisa bersekolah atau dikeluarkan.” “Anak saya memang salah karena memukul dan menendang. Tapi saya belum tahu alasannya melakukan hal tersebut. Saya percaya anak saya.” Alesha menghela nafas. “Saya hanya meminta, biarkan Jake tetap bersekolah di sini.” “Untuk biaya perawatan temannya, saya akan membayarnya. Dan untuk permintaan maaf, saya akan berdiskusi terlebih dahulu dengan suami saya.” Alesha mengambil tasnya. Ia sedikit menunduk. “Terima kasih sudah menjelaskan pada saya.” Alesha berjalan menuju mobil. Di dalam mobil—J
“Mikir apa?” sebuah kecupan hangat mendarat di leher Alesha. “Aku menyuruh kamu jangan memikirkan apapun. Tapi kamu masih saja berpikir banyak hal. Katakan ada apa?” Garvin memutar tubuh Alesha agar menghadapnya. Alesha menghela nafas. Tujuannya ke dapur hanya untuk mengambil segelas air. “Jake…” “Kenapa?” Garvin tidak sabar. Ia mengangkat tubuh Alesha ke atas meja makan. “Katakan. Apa ada yang menyakiti Jake?” Alesha menggeleng. “Jake menendang dan memukul temannya.” Garvin terdiam. “Jake sepertiku.” Alesha mengangguk pelan. Memang, ia sangat setuju dengan perkataan Garvin. “Sudah tahu alasannya?” tanya Garvin. “Temannya menghina kita. Jake tidak suka dan marah sehingga memukul temannya,” jelas Alesha. “Bagus.” Garvin membawa Alesha ke dalam pelukannya. “Bagus. Jake harus memberi pelajaran pada siapapun yang menghina keluarga kita.” Alesha melepaskan pelukan mereka. “Bukan seperti itu Garvin.” Ia menghela nafas. “Yang dilakukan Jake tidak sepenuhnya salah. Tapi dia telah men
Sebuah ruangan mendadak menjadi dingin. Garvin bersama Alesha duduk di sebuah sofa. Di depan mereka sudah ada guru dan orang tua murid yang berkelahi dengan Jake. Garvin tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang tegas. Alesha menoleh. Mengusap punggung tangan Garvin pelan. “Saya hanya ingin permintaan maaf dari kalian,” seorang ibu-ibu dengan lipstik merah. Ia melengos. “Saya bahkan tidak meminta ganti rugi.” “Bukannya kemarin anda meminta ganti rugi?” pertanyaan Garvin sontak membuat ibu-ibu itu menajamkan matanya. “Saya bukan orang miskin. Hanya membayar biaya rumah sakit biasa tidak akan membuat saya bangkrut.” Alesha merangkul lengan suaminya. Ia mengusap pelan lengan Garvin pelan. “Pelan-pelan saja. Biar aku yang berbicara,” ucapnya. “Ehem. Biar saya luruskan.” Lily, selaku wali kelas. “Pertemuan ini dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Dari awal ibu sudah meminta ganti rugi, maka Mr. Garvin dan Mrs. Alesha akan memberikan uang pengobatan Raynard.” “Sekarang kedua b
Ibu Raynard sangat tidak puas. Wajahnya memerah. Wanita itu berdiri. “Rugi saya membayar mahal-mahal sekolah ini jika membuat keputusan yang tegas saja tidak bisa.” “Kalian!” Garvin menunjuk kedua orang di depannya. “Minta maaf sekarang juga. Anak kalian juga menghina Jake, bahkan menghina keluarga saya.” “Kita minta maaf?” ayah Jake ikut berdiri. Berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Terlihat sangat angkuh. “Tidak akan. Kami bukan sembarang orang yang dengan gampang minta maaf.” Garvin menatap tajam ayah Rayanrd. Dengan ucapan pria itu—seolah menegaskan jika istrinya orang biasa yang gampang meminta maaf pada orang lain. “Minta maaf atau akan kuhancurkan hidup kalian,” geram Garvin. Meskipun pelan namun nada Garvin sangat menusuk. Ia tidak akan membiarkan siapapun menghina apalagi merendahkan keluarganya.“Anda siapa? Jabatan anda apa berani-beraninya menyuruh kita minta maaf?” Ibu Raynard berdecih lagi. Kali ini benar-benar meremehkan Garvin. “Jangan berpura
Alesha berbisik pada Garvin. Ia tersenyum menatap dua bocah yang berada di depannya. “Jake sekarang berteman dengan Raynard?” tanya Alesha. Jake mengangguk. “Raynard sudah minta maaf padaku, Mom. Kita sudah baikan.” Raynard mengangguk pelan. “Raynard minta maaf pada Uncle dan Aunty. Maaf karena berbicara sembarangan.” Alesha mengangguk. “Tidak masalah.” Berjongkok kemudian mengusap pelan puncak kepala Raynard. “Jangan lakukan lagi. Jangan menghina teman lagi.” Raynard mengangguk. Peluit berbunyi—mengharuskan kedua bocah itu kembali ke lapangan. Jake melambaikan tangan sebelum berlari ke lapangan bersama Raynard. “Kenapa Jake dengan mudahnya memaafkan orang yang menghinanya,” keluh Garvin. Ia mendengus kesal melihat Jake bermain dengan Raynard. “Bukankah bagus? Aku berharap ke depannya Jake bisa menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.” Alesha menatap Jake dengang senyum yang mengembang. Garvin berdecak kemudian berjalan kembali. “Sayang tunggu aku.” Alesha berlari kecil mengeja
21++“Aku sungguh tidak suka dengan baju ini.” Garvin menurunkan paksa resleting baju Alesha. Ia menurunkan baju berwarna pink itu hingga tubuh bagian atas Alesha terpampang. Tubuh Alesha selalu menggoda. Semenjak hamil memang tubuh Alesha menjadi berisi. Namun setelah melahirkan, Alesha menjalankan pola hidup sehat, teratur olahraga dan berlatih ballet. Sehingga tubuh Alesha kembali seperti semula. Ramping, padat dan berisi di bagian tertentu yang disukai suaminya. “Garvin tidakkh..” Alesha menggeleng. Namun suaminya lebih dulu memainkan bagian atas dirinya. Alesha merasa dirinya gila. Ia ingin menghentikan aksi gila ini—namun tubuhnya ingin lanjut. Bahkan tubuhnya membusung. Memberikan akses pada suaminya menyentuhnya dengan bebas. Sesekali ia menoleh pada sekitar. Memastikan jika tidak ada orang yang lewat. “Garvin…,” lirih Alesha. Tangannya menekan kepala suaminya. Usai mencecap habis dua buah milik istrinya. Ia kembali mencium bibir istrinya dengan kasar. Alesha tidak bisa m
21+ “Aaaahhhh!” jerit Alesha. “Pelanhh-pelaanhh.. Aahhh.” Desahan Alesha semakin terdengar saat tangan Garvin menggerakkan pinggulnya. “Garvinnhh pelaanhh-pelaaanhh.” Tubuh Alesha bergerak di atas tubuh Garvin. Dua buahnya bergerak tidak karuan. Tidak ada kata pelan-pelan. Semakin Alesha meminta pelan-pelan Garvin akan memasukinya dengan kasar. Ia membalikkan posisi sehingga Alesha berada di bawah. kemudian memasukkan miliknya kembali ke dalam milik istrinya. “Kamu sungguh nikmat.” Garvin mempercepat gerakannya. Membuat Alesha terserentak ke sana ke mari. Tangan Garvin mengusap dahi istrinya yang dibanjiri dengan keringat. “Aaaahh….,” cairan itu masuk ke dalam. Lelehannya sampai keluar saking banyaknya. Garvin ambruk di atas tubuh istri mungilnya. Ia mengecup beberapa kali leher istrinya. “I love you.” “I love you too.” “Jangan membalasku.” Garvin menyangga tubuhnya hingga bisa menatap istrinya yang berada di bawah. “Suaramu membuatku ingin memasukimu lagi.” Tanpa mencabut mili
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun