21++“Aku sungguh tidak suka dengan baju ini.” Garvin menurunkan paksa resleting baju Alesha. Ia menurunkan baju berwarna pink itu hingga tubuh bagian atas Alesha terpampang. Tubuh Alesha selalu menggoda. Semenjak hamil memang tubuh Alesha menjadi berisi. Namun setelah melahirkan, Alesha menjalankan pola hidup sehat, teratur olahraga dan berlatih ballet. Sehingga tubuh Alesha kembali seperti semula. Ramping, padat dan berisi di bagian tertentu yang disukai suaminya. “Garvin tidakkh..” Alesha menggeleng. Namun suaminya lebih dulu memainkan bagian atas dirinya. Alesha merasa dirinya gila. Ia ingin menghentikan aksi gila ini—namun tubuhnya ingin lanjut. Bahkan tubuhnya membusung. Memberikan akses pada suaminya menyentuhnya dengan bebas. Sesekali ia menoleh pada sekitar. Memastikan jika tidak ada orang yang lewat. “Garvin…,” lirih Alesha. Tangannya menekan kepala suaminya. Usai mencecap habis dua buah milik istrinya. Ia kembali mencium bibir istrinya dengan kasar. Alesha tidak bisa m
21+ “Aaaahhhh!” jerit Alesha. “Pelanhh-pelaanhh.. Aahhh.” Desahan Alesha semakin terdengar saat tangan Garvin menggerakkan pinggulnya. “Garvinnhh pelaanhh-pelaaanhh.” Tubuh Alesha bergerak di atas tubuh Garvin. Dua buahnya bergerak tidak karuan. Tidak ada kata pelan-pelan. Semakin Alesha meminta pelan-pelan Garvin akan memasukinya dengan kasar. Ia membalikkan posisi sehingga Alesha berada di bawah. kemudian memasukkan miliknya kembali ke dalam milik istrinya. “Kamu sungguh nikmat.” Garvin mempercepat gerakannya. Membuat Alesha terserentak ke sana ke mari. Tangan Garvin mengusap dahi istrinya yang dibanjiri dengan keringat. “Aaaahh….,” cairan itu masuk ke dalam. Lelehannya sampai keluar saking banyaknya. Garvin ambruk di atas tubuh istri mungilnya. Ia mengecup beberapa kali leher istrinya. “I love you.” “I love you too.” “Jangan membalasku.” Garvin menyangga tubuhnya hingga bisa menatap istrinya yang berada di bawah. “Suaramu membuatku ingin memasukimu lagi.” Tanpa mencabut mili
“Sekarang, Sir. Waktu makan malam. Saya juga sudah menentukan restoran tempat pertemuan.” “Bagus.” Garvin mengangguk. “Kerja bagus.” Tidak berselang lama. Mobil sudah berhenti di sebuah restoran. Restoran yang menyediakan ruang khusus. Langkah Garvin sampai di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas namun bisa menampung sampai 5 orang. “Selamat malam,” sapa seseorang. Garvin mengangguk. Ia mengambil duduk di depan orang itu. “Saya Harry. Saya detektif swasta yang direkomendasikan pemimpin untuk menemui anda.” Seorang pria muda memperkenalkan diri. Garvin menilai—pria di depannya cukup muda. Namun ia tahu—usia tidak ada hubungannya dengan kemampuan seseorang. “Aku ingin kau menyelidiki seseorang.” Garvin mengentukkan jarinya ke atas meja. “Selidiki Dario, Menteri kelautan. Aku ingin kau mencari tahu kinerjanya selama menjadi menteri. Temukan kesalahan yang ada pada dirinya.” Harry mengangguk paham. “Dalam 3 hari saya akan memberikan apa yang anda inginkan.” Garvin tersenyum pua
Beberapa jam yang lalu. Alesha melangkahkan kaki ke dapur. Ia hendak mengambil minum untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Ia berhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk. Ia lantas membukanya. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal. “Foto?” gumam Alesha. Sebuah foto muncul saat ia membuka pesan itu. Alesha mengepalkan tangannya. Foto Garvin dan Daisy yang berciuman di dalam mobil. Tidak hanya itu—ada foto Garvin tengah memangku Daisy di dalam ruang kerja suaminya itu. Lantas apakah Alesha masih percaya pada suaminya? Alesha menggeleng pelan. Ia bergegas masuk ke dalam kamar. Menutup pintu dengan rapat.“Kenapa Garvin melakukannya.” Alesha mengusap wajahnya kasar. Menunduk—mengusap air matanya yang mengalir. “Aku sudah berusaha percaya,” gumamnya sambil sesenggukan. Ia mendongak. Menatap jam yang sudah sore. Ia butuh waktu sendiri. Ia akan pergi. Setelah mengambil dompetnya. Alesha keluar. Berhenti tepat di depan pintu. “Aku pergi. Jangan temui aku dulu. Jake di rum
“Aku bahkan tidak tahu kesalahanku apa. Aku tidak bisa pergi sebelum tahu alasan Alesha tiba-tiba kabur dari rumah.” Garvin mengarahkan pistolnya ke arah salah satu anak buah Abraham. “Garvin.” Abraham mengarahkan tongkatnya ke arah cucunya. “Jangan main-main dengan kakek. Tenangkan pikiranmu dulu. Datang kembali besok. Kakek tidak akan menghalangi kalian.” DOORDOORTembakan yang Garvin lepaskan mengenai kaki salah satu anak buah Abraham. Sedangkan tongkat yang diarahkan Abraham ternyata juga bisa menembak. Pelurunya bahkan sampai mengenai pinggiran pipi Garvin. “Kek,” lirih Garvin dengan raut garangnya. Ia mengusap pipinya yang mengeluarkan darah. “Aku akan membawa pulang istriku bagaimanapun caranya.” “Maka bunuh dulu kakekmu ini.” Abraham melempar tongkatnya. Ia menepuk dadanya beberapa kali. “Ayo bunuh kakek.” “AAAAAARGHH!” Teriak Garvin tidak tertahankan. Ia beberapa kali menendang pagar seperti orang gila. Abraham hanya melihat saja, sama sekali tidak berniat menuruti kein
“Jake suka?” tanya Valencia. Mereka baru saja turun dari mobil. Di belakang kediaman orang tua Garvin ada sebuah sirkuit balapan. Di sanalah Valencia menyalurkan hobinya. Sirkuit itu baru selesai diperluas. “Jake suka sekali.” Jake melompat dengan senang. Sean melihat mereka hanya bisa menggeleng. Sebenarnya ia tidak suka Valencia bermain balapan mobil. Baginya terlalu berbahaya. Namun Valencia terus membujuknya hingga ia tidak bisa menolak. Valencia menatap Jake yang berlari ke dalam rumah. “Kenapa orang tuanya tidak mencarinya? Garvin maupun Alesha sengaja ingin berduaan tanpa Jake?” tanya Valencia heran. Ia menjemput cucunya untuk memperlihatkan sirkuit baru. Sekalian mengajak Jake bermain. Tapi—sampai saat ini Alesha maupun Garvin tidak ada yang menanyakan kabar Jake. Biasanya Alesha akan menghubunginya, apakah Jake merepotkan. “Mungkin ingin berduaan,” balas Sean. Ia merangkul pinggang Valencia dari samping. “Benarkah?” Valencia tidak yakin. Ia malah mempunyai firasat yang
Alesha terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling. Setelah bercermin—menatap wajahnya yang begitu sembab. Kantung matanya terlihat sangat jelas. Belum lagi bibirnya yang begitu pucat. Setelah membersihkan diri. Alesha memutuskan keluar. Ia menghampiri kakek yang tengah duduk di depan Tv. “Presdir Viction, Garvin Carver Blackton telah melakukan penganiayaan pada sepupunya. Status Garvin sudah menjadi seorang suami sekaligus ayah. Diketahui jika wanita tersebut adalah sepupu yang juga mantan pacarnya. Diduga Garvin melakukan penganiayaan karena cintanya ditolak.” Reporter di layar kaca tersebut sangat lues membacakan berita. Ia menatap ke arah kamera yang lain. “Ternyata Garvin, yang tak lain adalah putra tunggal dari Sean pendiri Viction ini telah merencanakan kejahatan. Dari rekaman CCTV yang beredar ia berencana menghancurkan keluarga Dario.” Foto Garvin yang nampak menyeret—kemudian mencekik Daisy di dalam mobil beredar. Kemudian ada juga rekaman suara. Alesha menggeleng. “G
“Aku akan mengikuti kemauanmu. Aku ingin bertemu denganmu.” Suara Garvin. Bagi Garvin tidak ada yang lebih penting selain perusahaan. “Anda akan menuruti keinginan Daisy, Sir?” tanya Vander. Garvin mengangguk. “Tidak ada cara lain. Perusahaan adalah hal yang penting. Aku tidak bisa membiarkan perusahaan hancur begitu saja.” “Tapi Sir, bagaimana dengan keluarga anda?” tanya Vander lagi. Ia memang tidak setuju dengan keputusan Garvin kali ini. “Bisa saja Daisy mempunyai cara lain untuk benar-benar menjebak anda,” imbu Aland.“Urusan kalian hanya membantuku memecahkan masalah ini.” Garvin berdecih pelan. “Kalian tidak berhak mencampuri keputusan yang sudah kubuat. Jika meninggalkan satu orang wanita saja bisa menyelamatkan keluargaku. Aku akan melakukannya.” Kemudian keluar dari ruangan. Garvin dengan langkah panjangnya menuruni tangga. Ia berhenti ketika seorang wanita tengah berdiri di depannya. Alesha datang untuk menemui suaminya. Ia sangat kawatir dengan keadaan Garvin. kemarah
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun