“Pergi dari sini sebelum aku teriak,” Yuna memejamkan mata sebentar. “Aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi.” Garvin tertawa pelan. “Hubungan apa yang kau tahu?” “Kau mantan pacarku. Hubungan kita sudah berakhir. Jangan menggangguku.” Yuna mengepalkan kedua tangannya. “Pergi.” Garvin menambil langkah lebih dekat dengan Yuna. “Apa kau benar-benar yakin hubungan kita seperti itu?” dengan lancangnya mengusap kedua pipi Yuna pelan. “Lebih dari itu,” bisik Garvin. “Aku tidak ingin tahu.” Yuna mundur—namun malah akan terjatuh akibat tersandung tas entah milik siapa yang berada di bawah. Garvin menarik pinggang Yuna dengan cepat. “Hubungan kita sangatlah…” Jemari Garvin mengusap bibir pink milik Yuna. Ia tidak bisa menahan keinginannya untuk mencecap bibir itu lebih lama lagi. Garvin mencium Yuna dengan sangat lembut. Menghantarkan perasaannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Garvin mengusap pinggang Yuna pelan. Di dorongnya tubuh Yuna ke loker. Di himpitnya dengan badannya
Tidak cukup sampai di situ. Ia juga mengambil tongkat bisbol dan memukul meja kaca yang terletak di antara sofa. Meja itu hancur, hanya tersisa kaca serpihan yang tidak berarti apapun. “Sayang,” panggil Yeonji mendekati suaminya. Juhwan mengabaikan Yeonji ia menerima sebuah telepon. “Kita harus membuat konferensi pers. Jika tidak menjelaskan pada masyarakat, mereka akan semakin tenggelam dengan asumsi mereka sendiri,” jelas seseorang dari sana. “Lakukan.” Juhwan menutup ponselnya. “Siapkan Yuna. Kita akan melakukan koferensi pers hari ini. Keberadaan Yuna memang sudah diketahui oleh publik. Kita harus mengenalkan Yuna.” “Tapi itu terlalu berbahaya, Sayang.” Yeonji tidak ingin Yuna terekspos lebih dulu. Ia hanya butuh waktu sebentar lagi. “Selama ini aku menurutimu, Yeonji!” sentak Juhwan. “Menjadikan Yuna sebagai Ratu bukanlah pilihan tepat. Yuna tidak mengingat apapun. Yuna tidak tumbuh dalam pengawasan kita. Yuna seperti orang asing yang hanya mengandung darah kita.” “Sayang.”
“Menunjukkan Yuna pada Dunia adalah pilihan yang tepat.” Juhwan duduk di bangkunya. “Pria yang mengincar putri akan berpikir dua kali. Yuna sudah diakui. Tidak akan ada yang berani mendekat.” Perkataan seorang kepercayaan Juhwan. Sedangkan Juhwan hanya bersandar sembari memejamkan mata. “Hari ini sungguh melelahkan.” Ia membuka mata. “Jang Hyunseok, Kau sudah mendapatkan uang itu?” “Sudah. Uang tersebut berasal dari bank luar negeri.” Hyunseok mengambil seuah tablet. “Untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat kembali, proyek pembangunan kereta bawah tanah di desa harus segera terealisasikan.” “Aku tahu.” Juhwan mengambil rokoknya. “Aku tidak mungkin menggunakan uangku sendiri,” berdecak pelan. “Uang pinjaman itu akan dikembalikan dengan uang pajak. Dana itu dipinjam bukan atas namaku, tapi atas nama Negara.” Pembangunan kereta bawah tanah memang sangatlah bagus. Semua setuju dengan apa yang dilakukan Juhwan, namun dana yang digunakan juga sangatlah banyak. Tidak akan cukup hanya d
Yeonji menghela nafas. “Kau keterlaluan. Aku tidak mau membunuh bayi yang bahkan belum lahir. Kau ingin Yuna membenci kita?” “Aku tidak peduli!” Juhwan melempar vas bunga ke sembarang arah. Yeonji meremas kedua tangannya. Meskipun cucunya mengandung darah iblis, tapi tidak merubah apapun jika cucunya. Masih mengalir darah bangsawan milik Yuna. “Sayang, pertimbangkan lagi keputusanmu.” Yeonji berusaha merayu suaminya. Juhwan menatap Yeonji dengan mata gelapnya. “Aku menyuruhmu memeriksanya. Jika ada janin diperutnya. Kau harus membunuhnya. Itu tugasmu. Jika kau tidak mengerti juga, aku akan menyuruh orang lain melakukannya.” ~~ Yuna dan Yeonji memasuki sebuah rumah sakit. Di sana ada dokter yang sudah menunggu mereka. “Di mana Jungwoo?” tanya Yuna. Ia bertanya karena katanya sebelum menikah mereka harus tes kesehatan lebih dulu. Namun ia tidak melihat keberadaan pria yang akan menjadi suaminya itu. Yeonji berdehem pelan. “Jungwoo sekarang sibuk. Dia akan tes nanti sore atau bes
Garvin sedang dalam perjalanan menuju kantor seseorang. Di dalam tasnya sudah ada beberapa dokumen yang akan menjatuhkan lawannya. Hari ini ia mengambil apa yang seharusnya sudah direbutnya. Sebuah panggilan masuk. “Sir, Yubin menelepon.” Christ memang memegang ponsel Garvin selama berada di luar negeri. Karena Garvin cenderung tidak suka memainkan ponsel ketika sedang bekerja. “Yubin siapa?” “Yubin adik Nona Alesha,” jawab Christ. “Angkat. Berikan padaku.” Garvin mengangkat telepon dari Yubin. “Hallo.” Yubin memang berbicara namun sangat bertele-tele dan tersendat-sendat. Entah karena takut dengannya atau bagaimana. Setelah mendapatkan sentakan darinya—barulah Yubin bisa lancar berbicara. “Yuna Eonni dibawa ke rumah sakit oleh Eomma. Jika Yuna Eonni hamil, maka janinnya akan digugurkan.” “Sialan,” desis Garvin. “Berikan alamatnya.” Mobil yang ditumpanginya langsung berputar balik. “Suruh yang lain langsung ke rumah sakit,” perintah Garvin pada Christ. Sesampainya di rumah sa
“Aku tidak membenci Eomma—” Garvin menatap Alesha tidak percaya. “Berhenti,” geramnya. Alesha menoleh dan menggeleng. “Bagaimanapun mereka tetap orang tuaku.” Mengambil tangan Garvin dan menggenggamnya. “Eomma aku harus pergi. Aku tidak bisa bersama kalian. Maaf, Yuna harus pergi dengan suami Yuna.” Alesha tersenyum. “Yuna sudah memaafkan semua perbuatan kalian. Yuna akan pulang ke rumah Yuna yang sebenarnya.” Melirik Garvin sembari tersenyum. Alesha beranjak dari ranjang. Ia mendekati Yeonji. Membantunya berdiri. “Aku senang bisa bertemu dengan Eomma. Yuna adalah nama yang sangat indah.” Yeonji memeluk Alesha. “Sekali lagi maaf, Yuna. Eomma sangat bersalah pada kamu.” Dari ambang pintu. Alesha melihat seorang perempuan tengah berdiri. Yubin menatap mereka. Ia hanya berdiri tidak ada niatan untuk masuk. “Yubin-aa!” panggil Alesha. “Kemarilah.” Yubin akhirnya mendekat. Gadis kecil itu begitu polos. Berkat Yubin, Alesha bisa mengingat siapa dirinya yang sebenarnya. Di malam itu—
Juhwan membuka setiap lembar dokumen itu. Ada dokumen yang berisi pernyataan ibu kandung Yubin. Pernyataan untuk menyerahkan bayinya dan tidak akan mengambilnya sampai kapanpun. Ada foto perselingkuhan Juhwan dengan wanita-wanita lainnya. Kemudian di lembar-lembar berikutnya. Ada bukti-bukti penyuapan yang dilakukan Juhwan dengan para menteri. “Aku memberimu kesempatan untuk mundur dari jabatanmu.” Garvin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Jika bukti ini sampai ke polisi, kau akan diselidiki lebih lanjut.” “Apa yang kau inginkan?” “Biarkan aku membawa istriku pulang.” Juhwan menatap istrinya. Yeonji mengangguk. “Biarkan Yuna bersama suaminya. Aku yakin Garvin akan menjaganya dengan baik. Aku akan menyuruh mereka sesekali untuk berkunjung. Untuk tahtanya, aku tidak akan memaksa. Terserah siapapun yang akan menduduki tahta ratu atau raja.” Dalam bahasa korea. Alesha yang mengerti mengangguk pelan. Sedangkan Garvin hanya mengernyit. Ia sama sekali tidak mengerti dengan ap
Selesai—konferensi pers yang membuat semua orang tercengang. Juhwan tersenyum pada awak media. Garvin menekan tombol mati pada remot. Layar televisi mati. Ia mengamati Alesha yang tengah tertidur di pelukannya. Bergerak pelan. Alesha membuka mata, ia mendongak menatap suaminya. Mereka saat ini tengah berada di rumah Garvin. Entah sejak kapan pria itu membeli rumah di sini. “Kamu sudah mengingat semuanya?” Garvin bertanya. Alesha mengangguk. “Kamu sudah menanyakannya 10 kali.” Garvin memeluk Alesha. “Aku hanya memastikan.” Tangannya bergerak masuk menelusup ke perut sang istri. Mengusap perlahan perut Alseha yang mulai membuncit. “Hai—Son.” Garvin mengucapkannya dengan kaku. “Hai baby,” sahut Alesha. “Daddy ingin berbicara denganmu.” Mengusap perutnya sendiri. Menatap Garvin yang hanya diam saja. “Ayo katakan sesuatu padanya.” “Apa dia mendengar kita?” “Tentu.” Alesha menghela nafas. “Jika aku tahu lebih awal tentang kehadirannya, aku pasti sudah berbicara banyak dengannya.” Ga
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun