Noel tengah konsentrasi di ruang laboratorium. Pria itu memutuskan untuk menguji sendiri tiga jumput rambut yang berbeda. Rambut itu milik; Reno, Renhart dan Sanjaya. Sedangkan Davinka, ia masih memiliki sampel darahnya.Sanjaya terlihat enggan untuk melakukan tes DNA. Ada apa? Apa ada yang disembunyikan pria itu? Noel sedang mencari tahunya.Baginya Davinka segalanya saat ini. Hanya Davinka yang ia miliki di dunia. Mereka sama-sama sebatang kara, soal siapa identitas Davinka, Noel belum bisa memberitahunya pada siapapun, termasuk Davinka sendiri."Aku tau pria itu sangat mencintai Diandra, tapi Dia belum boleh tahu bahwa Davinka adalah istrinya," monolognya sambil terus mengamati cairan berwarna dihadapannya.Hari itu, saat ia mendapati Davinka bukanlah adik kandungnya, Noel sempat kecewa. Selama merawat Davinka ia sudah mengetahui identitas aslinya dan apa yang terjadi hingga Davinka berada di dekat mobil adiknya. Setelah tahu itu adalah sepupunya yang dibuang oleh ibu mertuanya, No
Ditempat lain, Esti selalu menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana ia begitu ceroboh, menakuti putranya sendiri. Sekarang Renhart pasti tidak ingin bertemu dengannya lagi. "Pih, aku harus bagaimana. Kita gak bisa pulang tanpa Renhart? Bagaimana kalau kita culik dia?" Hanya gagasan ini yang bisa ia dapatkan."Bodoh! Kamu tidak tahu seperti apa Sanjaya itu. Dia bahkan bisa menjebloskan ayahmu ke penjara dengan kasus yang sudah bertahun-tahun lamanya tenggelam dan tidak mungkin timbul ke permukaan. Tapi dengan mudah pria itu bisa mengoreknya dan menjebloskan ayahmu dengan berbagai tuduhan. Bisa Aku pastikan Sanjaya ini juga pasti sudah mengetahui semua soal keburukan dan kelemahan kita." Pria itu menatap istrinya dengan sedih, "Esti, kehidupan sekarang tidakku dapatkan dengan mudah. Aku harus menukar dengan keringat darah, jika semuanya sia-sia leluhurku pasti marah dan akan mengambilnya lagi dari tanganku. Apalagi jika soal kebenaran Renhart terkuak, kita benar-benar akan menjadi geland
Dengus dan lirikan tajam diberikan oleh Sanjaya pada ibunya. Jelas karena wanita inilah dirinya dan Davinka berada di posisi saat ini. Membiarkan putranya pergi dan diasuh oleh orang lain hanya demi menjaga psikologisnya agar tetap terkendali."Jika Mama ingin tahu, tanyakan saja padanya!" Apa itu berlalu pergi dengan langkah lebar dan tekanan setiap langkahnya hingga meninggalkan getaran yang terasa di pada hati Venti.Wanita itu sudah hendak melangkah, tapi dering ponselnya berbunyi beberapa kali dan mengalihkan pikirannya untuk segera menemui calon menantunya dan bertanya mengenai keputusan yang sepihak akan pemulangan cucunya."Katakan!" Venti mendengarkan dengan baik setiap kata yang diucapkan oleh seseorang di seberang sana. Lalu kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman yang sangat indah dengan wajah yang mulai berseri."Apa kalian punya bukti untuk membenarkan setiap kata yang kalian katakan?" 'Ya, kami akan segera kirim semua salinan berkas mengenai Nona Davinka
Sanjaya yang kembali masuk melihat ibunya tengah mengusap air matanya. Tatapannya selalu melihat ke arah Renhart dan Reno bergantian.'Apa yang sedang dipikirkan oleh Mama? Kenapa Mama terlihat begitu sedih?' ada banyak pertanyaan dalam benak Sanjaya, tapi pria itu berusaha mengacuhkan dan menyimpannya untuk nanti. Sekarang ia ingin menggoda wanita itu dan melihat apa reaksinya."Apa Mama mulai merindukan cucu Mama?" tanya pria itu sedikit ketus dan langsung dapat delikan tajam dari ibunya. Sanjaya duduk disofa sebrang Venti dan mengambil sebuah majalah. Sebelum membacanya, pria itu kembali mendengus tajam, "Jika rindu, Mama bisa datang ke kuburan palsu yang Mama buat sendiri dan menyapa dia di alam baka!"Venty tidak mengatakan apapun Ia hanya mengunci mulutnya rapat. Dia memang berhak mendapatkan perlakuan seperti ini dari putranya dan berharap lambat laun Sanjaya dapat membuka kembali pintu hati dan memaafkan dirinya dengan tulus. Walau sebenarnya, Venti tahu itu sangat tidak mungki
Venti dalam dilema. Apalagi sekarang Davinka dan Renhart sudah menghampiri Sanjaya dan ikut membujuk anak itu. 'Apa yang harus aku tunggu, mereka bisa hidup bahagia? Tapi, apa Jay benar-benar bisa melupakan Diandra?'Berbagai pemikiran dan pertanyaan terus berkecamuk di dalam benak wanita paruh baya itu. Di sisi lain ingin melihat putranya bahagia, namun di lain pihak ia tidak ingin ada kenangan Diandra berada di sekitar putranya. Apa lagi sekarang Reno sudah dapat dibujuk dan berhenti menangis.Mereka seperti keluarga harmonis, dengan dua orang anak.Malam harinya saat Sanjaya dan semua orang sudah pulang meninggalkan kediamannya. Noel mengetuk pintu kamar adiknya dan saat ini telah terbuka, ia dapat melihat dua orang anak tengah terlelap di kedua ujung sisi ranjang."Vie, bisa Kakak bicara?" "Apa ada masalah, Kak? Semuanya baik-baik saja, kan?"Davinka takut masalah kasus yang tengah dialami oleh kakaknya ini kembali memanas karena sesungguhnya kasus itu belum sepenuhnya berakhir
Tapi, besok saat matahari sudah benar-benar bersinar terang dia akan memeluk kedua putranya bersama dan merengkuhnya tanpa ingin melepaskannya lagi.Siapa Esti? Kenapa dia harus menyerahkan putranya kepada wanita itu? Selama ini kedua putranya sudah sangat tersiksa karena berada jauh dari dirinya dan Sanjaya? Devinka menoleh kepada Reno, anak itu tidak pernah mendapat sentuhan kedua orang tuanya saat masih bayi, tidak seberuntung Rain yang ia hujani dengan ciuman bertubi-tubi dari bibirnya. Reno bahkan sudah mengerti arti cemburu sejak anak itu masih merah. Anak itu tidak ingin disentuh oleh siapapun selain dirinya, dan menolak siapapun yang berusaha mendekatinya kecuali bibi dan suaminya. Ah … bagaimana ia bisa sebodoh ini!'Sanja, mereka putra kita, Sanja … putra kita!' Raung wanita itu di dalam sanubarinya. Dapatkah ia memberitahukan hal ini pada suaminya sekarang? Ahh ia sudah sangat tidak sabar.Davinka ingin menangis dan berteriak dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana bisa i
Panji menggeleng dengan tegas. "Kalau kita ketemu sama Renhart dan peluk dia. Itu cuma akan buat kita semakin sulit buat ninggalin anak itu."Tidakkah Esti tahu hal ini juga berat untuk dirinya. Setiap ia lelah setelah berkutik seharian dengan pekerjaan, ketika melihat putranya semua beban dan rasa lelah itu semua seakan menguap. Sekarang kekuatannya dan pondasinya selama ini sudah tidak bisa ia rengkuh dan peluk lagi.Bagaimana bisa ia menjalankan sisa hidupnya?"Kamu tahu kan apa yang harus kita lakukan nanti? Ingat jangan pernah buat pria itu marah dan kecewa, karena dia sudah benar-benar tahu kelemahan kita dan menekan kita untuk itu!"Panji menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan. Mereka harus sama-sama saling menguatkan. Beberapa tahun ke depan pasti akan terasa berat, tapi mereka yakin tidak lama dari itu semuanya akan kembali normal seperti sedia kala dan berharap Pelita kembali menyala di rumah tangga mereka.Di lain harinya. Venti mengajak Davinka untuk melihat gedung dimana
Davinka hanya menggeleng. Ia sama sekali tidak tahu siapa anak itu. Sebelumnya ia sudah bicara dengan Esti bahwa mereka akan mengunjungi wanita itu dan mempertemukannya dengan Renhart. Tapi apa ini?"Aku tidak tau," sahutnya dengan terus menatap mereka yang tengah berjalan menuruni tangga. Wajah Davinka terlihat sangat serius.Pemandangan ini sama persis seperti saat ia pertama kali datang ke rumah itu untuk bertemu dengan Renhart. Hanya saja wajah Esti yang terlihat tenang dan anggun kini sangat panik dengan bola matanya yang terus bergerak kesana kemari.Apa ini? Davinda sedikit memiringkan kepalanya berbisik kepada suaminya tentang apa yang ia lihat."Apa ini Sanja? Kenapa ada anak kecil di sini?" Pria itu hanya diam membisu, bahan tidak mengeluarkan sedikit pun desis suaranya.Tidak juga mendapatkan jawaban akhirnya Davinka berbisik di telinga Renhart, "Itu Mommy-mu, kan?" Anak itu mengangguk, "cepat lari dan peluk dia dan katakan maaf!"Davinka tidak ingin Renhart menahan perasaa
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.