Sandy tahu, ia telah bertanya akan sesuatu yang sangat tidak pantas. Rani bukan wanita murahan, wanita itu ada di apartemennya hanya karena tidak ada pilihan lain selain pekerjaan. Tapi ia bisa apa, tubuhnya sangat panas, sedikit sentuhan wanita itu malah semakin membuatnya terbakar dan mendambakannya lagi.Rani yang masih memegang lengan Sandy agar tidak terjatuh dengan cepat mendorong pria itu dengan seluruh tenaganya."Bapak gila, ya? Apa Bapak mabok?" sarkas Rani. Ia memang tidak mencium bau alkohol, tapi pria itu juga tidak pernah sekurangajar ini. Jika bukan mabuk, lalu apa? Rani kembali meledakkan amarahnya tanpa kendali dengan suaranya yang nyaring, "saya bukan perempuan murahan yang bapak bisa ajak tidur sembarangan! Bapak jangan macam-macam!" dengus Rani lagi. Nyala api terlihat jelas di matanya, napasnya sangat kasar, bukan karena bergairah seperti Sandy, melainkan amarahnya yang sudah meledak seperti letusan gunung Merapi.Wanita itu melangkah pergi hendak ke dalam kamarn
Sandy merengkuh tengkuk Rani hingga wanita itu jatuh menimpa tubuhnya dan langsung melumat rakus bibir wanita itu dalam sekali raup. Hangat dan basah itulah yang dirasakan oleh Sandy. Kekenyalan bibir itu terasa nikmat di antara celah bibir dan giginya yang terus menyesap dan menggigit kecil bibir itu bergantian. Tangan Sandy tidak diam, menjelajahi seluruh permukaan kulit yang lembut dan meremang, meremas dada wanita itu dengan sedikit kasar hingga desahan nikmat keluar dari bibir Rani saat Sandy menyesap dan meremas dalam waktu bersamaan lebih kuat lagi.Ini pengalaman baru bagi Sandy, pria itu hanya mengikuti instingnya saja, seperti seorang pemburu yang maru melihat mangsanya, Sandy tidak akan melepaskannya begitu saja."Tuntun aku, Rani!" pekiknya disela desah tertahannya saat ia melihat Rani meringis yang ia tahu wanita itu pasti kesakitan. Sandy memindahkan bibirnya, menyusuri leher jenjang wanita itu dengan lidahnya yang panas dan basah.Rani yang kehilangan fokusnya tersenta
Venti hanya menatap gelas jus dengan nanar, jus sepenuhnya sudah habis dan berpindah pada perut asisten anaknya.Sandy terbatuk dan menatap wajah Sanjaya penuh misteri, "Uhuk! Maaf, Tuan saya keselek permen dan ini sangat sakit!"Pria itu terus mengelus tenggorokannya, pura-pura tidak berdaya. Dalam hati Sandy meringis, ia tahu beberapa saat lagi harus masuk kedalam freezer dan membekukan dirinya disana."Gak papa, sekarang sudah baikan?" tanyanya pada Sandy dan asistennya itu hanya mengangguk, "Kamu batalkan pertemuan kita, bilang aku ada urusan mendadak.""Tapi, Tuan, ini—""Lakukan apa yang aku minta Sandy, dan pulanglah," pintanya, "aku masih ada urusan dengan Mama yang harus diselesaikan sekarang juga. Urus sisa pekerjaannya!" tegasnya akhirnya. Sandy mengguk, ia paham bahwa Tuannya ini sudah mengetahui maksud dari ibunya mengajak bertemu disini. Hanya saja, ia begitu bodoh karena meremehkan Tuannya ini dan meminum jus yang dapat dipastikan sudah diberi obat kuat dosis tinggi."
Rani sempat tertegun dalam dekapan pria itu, detak jantungnya hampir pecah di gendang telinganya, untuk sesaat ia bahkan tidak berani bernapas.Namun, akhirnya ia tahu Sandy hanya mengigau saat dengkuran halus keluar dari celah bibirnya. Rani dapat menghela napas lega, ia sangat takut setelah ini Sandy akan mempermainkannya. Rani jelas tidak ingin terikat pada pria itu, pernikahannya baru saja berakhir jelas ia tidak ada keinginan untuk membina hubungan dengan siapapun termasuk pria ini."Anggap ini sebagai ucapan terima kasihku, Pak Sandy. Kamu orang biak, aku tahu itu!" Untuk sesaat Rani hanya memandangi wajah tampan Sandy dengan dagunya yang runcing, hidungnya tidak terlalu tinggi, tapi cukup mengemaskan untuk disentuh dan disusuri oleh ujung jarinya.Wajah Sandy terlihat teduh saat matanya terpejam, tapi saat matanya terbuka yang ada hanya perintah mutlak dari celah bibirnya yang tipis.Rani mengangkat tangan Sandy yang melilit pinggangnya dengan sangat hati-hati, wanita itu berge
Dengan kata lain Laura ingin mengatakan kalau ia masih perawan saat digauli oleh Sanjaya dan pria itu harus segera tanggung jawab. Sedangkan Davinka tidak dinikahi juga tidak masalah, toh wanita itu sudah bekas pria lain.Davinka menutup hidungnya, bau tubuh Laura yang bercampur dengan sperma benar-benar membuatnya mual, apalagi wanita itu begitu dekat dengannya.Dengan suara sangau, Davinka menjawab sangkalan Laura, "Ohhh … begitu, ya, kamu masih perawan? Tapi maaf, Laura—" Davinka menyingkirkan tangan wanita itu dari kakinya dan menjauh, isi perutnya sudah ingin keluar lagi, "kamu memohon dan menjelaskan pada wanita yang salah, aku bukan ibu dan istrinya, aku hanya simpanannya, tawanannya. Jadi, pergilah ke kantor polisi atau ibunya. Aku gak peduli apapun yang sudah dia lakukan asal masih aku yang jadi wanita utama di rumah dan hati pria itu, aku gak peduli!" Davinka tidak bisa bernapas, selesai bicara ia membuka hidungnya, tanpa diduga, seluruh isi perutnya menyembur keluar dan me
Davinka memegangi kepalanya dengan kedua tangan, rasa sakit ini benar-benar menyiksanya seperti dentuman keras yang datang bertubi-tubi. Sementara semua gambar dalam benaknya seakan mengelilinginya dengan gerakan cepat. "Kepalaku sakit, ini sangat sakit!" rintihnya.Nani menahan tubuh Davinka, lalu Sanjaya datang mengambil alihnya dan membawa Davinka ke sofa terdekat. Namun, pada saat yang bersamaan suara ibunya yang melengking tinggi memenuhi ruangan, membuat siapapun yang mendengarnya merasa tidak nyaman."Jay, sejak kapan kamu sekurangajar ini pada wanita? Bagaimana bisa kamu memperlakukan Laura seperti ini, heh? Apa kamu mau mengikuti jejak ayahmu yang selalu menyakiti hati Mama dimasa lalu?" hardik Venti tanpa pandang bulu. Ibu Sanjaya ini sama sekali tidak peduli ada banyak mata pelayan yang mantap ke arahnya, seolah kata-katanya ini bukanlah tuduhan yang terdengar menjijikan pada putranya sendiri.Sanjaya tidak berkata
Laura sudah muak dengan istilah nikah siri, dan hanya wanita bodoh yang mau melakukannya. Wanita itu selama ini hidup dengan kebencian dan dendam dari ibunya yang dinikahi siri selam dua kali, yang pertama jelas karena keadaan. Ayah kandungnya adalah seorang perwira polisi yang dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya hingga mau tidak mau ibunya harus menerima hanya sebagai wanita simpanan yang dinikahi siri, bahkan tidak diketahui oleh siapapun kecuali Brata Hardian. Saat ayahnya sekarat karena gugur saat bekerja, ibunya yang begitu dicintai oleh ayahnya, dinikahkan kembali oleh ayahnya sendiri dengan sahabatnya karena takut mereka tidak dapat hidup layak, sedangkan ia sendiri saat itu masih balita dan ibunya mengandung anak kedua.Tapi, karena amukan istri sah, calon adiknya itu wafat sebelum lahir ke dunia. Sejak hari itu ibunya menaruh dendam pada Venti dengan bertekad untuk menghancurkan wanita itu, padahal tadinya ibunya sama sekali tidak berkeinginan untuk mendapatkan seorang Br
Brata menatap satu persatu orang yang sudah ada disana, ruang tengah yang luasnya hampir 100 meter persegi sudah dipenuhi oleh beberapa orang penting yang sebagian dikenalnya.Di sofa sebelah kiri dari ia berdiri ada letnan Arjun, di sebelahnya lagi ada pengacara keluarga, lalu ada ustadz dan di sisinya ada hakim dan penghulu yang tadi ia panggil di sofa yang berbeda. Di tengah-tengah ada istrinya bersama Laura yang sejak tadi sepertinya tidak pernah berhenti menangis. Istrinya tidak berhenti mengelus punggung Laura, berusaha menenangkan wanita itu, dan dibelakang mereka berdiri dua orang pria yang masih mengenakan seragam pakaian hotel IH. Lalu di sebelah kanannya ada Sanjaya, putranya hanya duduk seorang diri dan terlihat sangat santai dan segar seakan tidak ada apapun yang terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi? Ini seperti sidang dadakan!" tanya Brata masih terlihat bingung. Pria itu hanya diberi tahu ada kejadian yang begitu memalukan yang dilakukan oleh Sanjaya. Ia diminta untuk
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.