Davinka memegangi kepalanya dengan kedua tangan, rasa sakit ini benar-benar menyiksanya seperti dentuman keras yang datang bertubi-tubi. Sementara semua gambar dalam benaknya seakan mengelilinginya dengan gerakan cepat. "Kepalaku sakit, ini sangat sakit!" rintihnya.Nani menahan tubuh Davinka, lalu Sanjaya datang mengambil alihnya dan membawa Davinka ke sofa terdekat. Namun, pada saat yang bersamaan suara ibunya yang melengking tinggi memenuhi ruangan, membuat siapapun yang mendengarnya merasa tidak nyaman."Jay, sejak kapan kamu sekurangajar ini pada wanita? Bagaimana bisa kamu memperlakukan Laura seperti ini, heh? Apa kamu mau mengikuti jejak ayahmu yang selalu menyakiti hati Mama dimasa lalu?" hardik Venti tanpa pandang bulu. Ibu Sanjaya ini sama sekali tidak peduli ada banyak mata pelayan yang mantap ke arahnya, seolah kata-katanya ini bukanlah tuduhan yang terdengar menjijikan pada putranya sendiri.Sanjaya tidak berkata
Laura sudah muak dengan istilah nikah siri, dan hanya wanita bodoh yang mau melakukannya. Wanita itu selama ini hidup dengan kebencian dan dendam dari ibunya yang dinikahi siri selam dua kali, yang pertama jelas karena keadaan. Ayah kandungnya adalah seorang perwira polisi yang dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya hingga mau tidak mau ibunya harus menerima hanya sebagai wanita simpanan yang dinikahi siri, bahkan tidak diketahui oleh siapapun kecuali Brata Hardian. Saat ayahnya sekarat karena gugur saat bekerja, ibunya yang begitu dicintai oleh ayahnya, dinikahkan kembali oleh ayahnya sendiri dengan sahabatnya karena takut mereka tidak dapat hidup layak, sedangkan ia sendiri saat itu masih balita dan ibunya mengandung anak kedua.Tapi, karena amukan istri sah, calon adiknya itu wafat sebelum lahir ke dunia. Sejak hari itu ibunya menaruh dendam pada Venti dengan bertekad untuk menghancurkan wanita itu, padahal tadinya ibunya sama sekali tidak berkeinginan untuk mendapatkan seorang Br
Brata menatap satu persatu orang yang sudah ada disana, ruang tengah yang luasnya hampir 100 meter persegi sudah dipenuhi oleh beberapa orang penting yang sebagian dikenalnya.Di sofa sebelah kiri dari ia berdiri ada letnan Arjun, di sebelahnya lagi ada pengacara keluarga, lalu ada ustadz dan di sisinya ada hakim dan penghulu yang tadi ia panggil di sofa yang berbeda. Di tengah-tengah ada istrinya bersama Laura yang sejak tadi sepertinya tidak pernah berhenti menangis. Istrinya tidak berhenti mengelus punggung Laura, berusaha menenangkan wanita itu, dan dibelakang mereka berdiri dua orang pria yang masih mengenakan seragam pakaian hotel IH. Lalu di sebelah kanannya ada Sanjaya, putranya hanya duduk seorang diri dan terlihat sangat santai dan segar seakan tidak ada apapun yang terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi? Ini seperti sidang dadakan!" tanya Brata masih terlihat bingung. Pria itu hanya diberi tahu ada kejadian yang begitu memalukan yang dilakukan oleh Sanjaya. Ia diminta untuk
Sanjaya menatap ibunya dan Laura bergantian dengan kedua alisnya yang turun dan matanya yang sayu, wajahnya terlihat kusut dan berkata penuh rasa bersalah, "Cek, apa yang bisa aku lakukan, Laura sudah sangat terangsang setelah minum jus yang Dia pesan sendiri. Menurut kalian apa yang harus aku lakukan?" Sanjaya menekan kata 'Dia' agar semua orang yang ada disana memahami maksud kata-katanya.Laura dan Venti saling tatap, mereka terlihat sangat terkejut. 'Kenapa Laura terangsang?' batin Venti, raut bahagia sudah lenyap dari wajahnya.'Apa semalam itu aku terangsang?' tanya Laura pada dirinya sendiri. Perempuan itu berusaha keras untuk kembali mengingat apa yang terjadi. Tapi, hanya merasa ada keanehan, pusat sensitifnya terasa gatal, gatal ini gatal yang berbeda dan jika disentuh terasa sangat nikmat, semakin disentuh membuatnya tidak ingin berhenti dan kecanduan.Laura mengenyahkan apapun yang ada di benaknya, begitupun dengan Venti, mereka memikirkan hal yang sama, 'Berarti Sanjaya
"Ya, saya butuh istri bapak sebagai saksi. Bisa saja saya meminta pegawai wanita saya disini, tapi saya tidak ingin ada yang bilang dusta atas apa yang mau saya tunjukkan," jelas Sanjaya.Pak RT mengangguk dan menghubungi istrinya yang langsung datang ketika diminta.Laura sudah duduk di dekat Venti lagi, jantungnya semakin berdebar kencang. Hari ini apa yang ia inginkan akan tercapai. Dirinya akan menjadi nyonya Sanjaya Hardian yang terhormat.Bu RT datang dan langsung diminta duduk di kursi yang sudah disediakan. Sanjaya bangun dan mulai berjalan kearah Bu RT, bersimpuh dihadapan wanita itu yang terlihat masih sangat muda.Sanjaya menarik napasnya dalam, ada rasa bersalah karena harus melibatkan wanita dihadapannya."Bu, mungkin apa yang akan saya tunjukkan akan sedikit menodai mata Anda. Tapi, saya dan mungkin yang lainnya juga tidak punya banyak waktu jika harus menunggu polis wanita datang, jadi apa ibu bersedia melihat apa yang akan saya tunjukkan dan menunjuk siapa yang telah
"Jay, aku sangat-sangat—ahh … Jay!"Wajah Laura semakin tenggelam dalam dekapan Venti. Hari ini ia begitu dipermalukan oleh Sanjaya. Tapi, kata-katanya membuktikan bahwa disana hanya ada Sanjaya, dirinya merasa lega, dan jelas Sanjaya adalah pelakunya."Jay yang melakukannya, Mah, Jay!" lirih Laura di sela isak tangisnya, suaranya tenggelam dalam dekapan Venti.Berikutnya yang mereka dengar suara Sanjaya yang penuh penekanan dan cemoohan, "Ini bukan yang pertama untukmu, hemm? Bagaimana, nikmat bukan?" Pak RT dan Sersan Arjun tahu adegan ini. Sanjaya berjalan mendekati Laura dan memunggungi kamera."Jay, aku mohon bantu aku, Jay—ahh ini sangat panas dan sakit!" Lagi-lagi rintihan Laura membuat semua orang yang mendengarnya ngilu. Dalam Video yang berikan oleh Laura tidak ada suaranya dan terhalang punggung Sanjaya. Jadi mereka sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan oleh Laura, mereka hanya dapat membayangkannya saja. Akan tetapi, tidak dengan Bu RT yang dapat melihat dengan jelas
Brata meraih kedua tangan Venti dan menghalau pukulan istrinya yang membabi-buta."Mah, cukup," bentak Brata, "Ini bukan salah putramu, kamu yang terlalu meremehkan kemampuannya untuk melindungi dirinya!" Dengan gerakan cepat dan memutar tubuh Venti, Brata mengunci pergerakan istrinya yang sudah ingin berontak kembali dan memukuli Sanjaya dengan mendekapnya, mendudukkannya disisinya.Laura yang terjengkang ke samping sofa saat tiba-tiba Venti berdiri berusaha untuk bangun dan meraih ponsel yang tergeletak di sisinya dengan tangan gemetar dan satu tangan menutup mulutnya saat melihat dirinya di layar ponsel.Wanita itu menggelengkan kepalanya berulang kali, menyangkal keras apa yang ia lihat disertai dengan air mata yang mengalir lebih deras. "Gak, ini gak mungkin! Bukan orang botak itu yang udah—Agrhhh!"Laura tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, menangis sangat kencang. Memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan di telinganya dan terus menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Pengacara itu mengangguk ke arah Sersan Arjun, saat ini panggilan telepon dengan Sanjaya sedang berlangsung dan pria di seberang sana tengah mendengarnya dan melihat ibunya dari layar ponselnya."Ini belum apa-apa, Mah. Yang aku lakukan belum sebanding dengan apa yang dirasakan oleh istriku!" Sanjaya hanya dapat menatap wajah Davinka yang tengah terlelap dari balkon kamarnya. Air matanya sudah lama jatuh dan membiarkannya membasahi kemejanya. Berkali-kali ibunya ingin memisahkannya dengan Diandra, dan sekarang dengan Davinka. Jika ingatan akan robekan di perut Davinka hadir, Sanjaya tidak bisa mengenyahkan rasa sakit yang ia rasakan, menikamnya seperti racun yang mematikan."Akan aku balas semua rasa sakit yang kamu rasakan, Ra … setiap jeritan, sayatan, jahitan dan suntikan. Aku ingin orang itu merasakannya, orang yang sudah membuatmu berada di posisi ini, orang yang sudah memisahkan anak kita dengan paksa!" Sanjaya menatap layar ponselnya lagi dan melihat ketidakberdayaannya ibuny
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.