Pengacara itu mengangguk ke arah Sersan Arjun, saat ini panggilan telepon dengan Sanjaya sedang berlangsung dan pria di seberang sana tengah mendengarnya dan melihat ibunya dari layar ponselnya."Ini belum apa-apa, Mah. Yang aku lakukan belum sebanding dengan apa yang dirasakan oleh istriku!" Sanjaya hanya dapat menatap wajah Davinka yang tengah terlelap dari balkon kamarnya. Air matanya sudah lama jatuh dan membiarkannya membasahi kemejanya. Berkali-kali ibunya ingin memisahkannya dengan Diandra, dan sekarang dengan Davinka. Jika ingatan akan robekan di perut Davinka hadir, Sanjaya tidak bisa mengenyahkan rasa sakit yang ia rasakan, menikamnya seperti racun yang mematikan."Akan aku balas semua rasa sakit yang kamu rasakan, Ra … setiap jeritan, sayatan, jahitan dan suntikan. Aku ingin orang itu merasakannya, orang yang sudah membuatmu berada di posisi ini, orang yang sudah memisahkan anak kita dengan paksa!" Sanjaya menatap layar ponselnya lagi dan melihat ketidakberdayaannya ibuny
Sanjaya sangat bersyukur Davinka masih tidak mengikat dirinya, paling tidak untuk saat ini. Sekarang ia semakin takut ingatan Davinka kembali dan menghancurkan segalanya, ibunya tidak boleh tahu jika Davinka adalah Diandra.Davinka menggeleng dengan lemah, bibirnya mengerucut dengan tajam, "Kenapa aku gak inget, apa kamu pernah jadi pacar aku?"Sanjaya menarik tubuh Davinka, semakin mengikis jarak diantara mereka dan menempelkan wajah wanita itu di dadanya. "Siapapun kamu dulu, sekarang aku adalah suamimu untuk selamanya, Davin. Semua ingatan masa lalumu itu memang penting, tapi itu semua sudah berakhir." Davinka dapat merasakan dada Sanjaya bergemuruh hebat dengan napasnya yang cepat. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang dirasakan oleh Sanjaya saat ini. Yang ia tahu Sanjaya tengah bersedih atas apa yang dilakukan oleh ibunya."Ya, siapapun aku dulu, aku istrimu sekarang, Sanja, kak Noel sudah memberikan izinnya. Kita hanya tinggal menunggunya pulang dan menikahkan kita berdua," sah
Pria itu memutar tubuhnya dan kembali menghampiri Davinka, bersimpuh dihadapan wanita itu dan menatap perut Davinka lekat. Dengan tangan gemetar, Sanjaya mengarahkan telapak tangannya dan mengelus perut itu dengan sangat hati-hati."Apa kamu benar ada didalam sana, Nak? Kamu mau ketoprak?" Mata Sanjaya sudah sangat panas dan perih. Kristal bening hampir jatuh dan gugur. Tapi sebisa mungkin ia menahannya.Pria itu berharap benihnya benar-benar tumbuh di dalam sana. Bukankah, ia sudah tidak membuang spermanya diluar? Selama satu bulan ini ia selalu menyemburkannya didalam bersama-sama dengan Davinka yang mencapai klimaksnya.'Kamu harus sehat, Nak. Kami menunggumu tubuh dengan baik dan memelukmu disini, mencium pipi tembemmu, telapak kakimu, membersihkan popokmu. Kami janji tidak akan pernah mengeluh walaupun kamu terus menangis dan merepotkan kami. Tumbuhlah sehat dan kuat, Papa menunggumu, Nak!' Sanjaya berusaha menahan gemuruh dadanya, giginya menggigit kuat bibir bawahnya walau sese
Pria itu mengunci bibirnya rapat agar tidak tertawa terbahak-bahak. Benarkah Yudha tidak pernah menyentuh Davinka seujung kukupun? Ahh … lega rasanya. Ia harus berterima kasih pada pria itu rupanya. Senyum kemenangan terlihat di wajahnya, tapi itu tidak berangsur lama. Saat ia melirik ke arah Davinka, istrinya itu masih cemberut dan mengacuhkannya. Dan sial, apa yang dikatakan Davinka memang benar, disini dirinyalah yang jahat dan brengsek untuk mendapatkannya.Sanjaya mengutuk dirinya, awal bertemu dirinya sangat keterlaluan, begitu kasar dan arogan, menganggap Davinka seperti barang mainan dan pemuas nafsunya."Maaf!" ucapannya tulus. Sanjaya meraih tangan Davinka dan menggenggamnya erat, "aku janji akan minta maaf pada pria itu dan sangat berterima kasih."Davinka memalingkan wajahnya dengan cepat, ia sama sekali tidak percaya pada pria ini, "Benarkah?!""Yaps, aku akan menemuinya setelah pulang dari Singapore," janji pria itu dengan alis terangkat, "mungkin
Pak ketoprak hanya mengikuti dari belakang dengan gelengan kepala kencang, hatinya sudah sangat wawas. Jujur ia takut dimarahi warga karena pelanggannya ini yang tak tahu jam untuk membeli makanan, dan benar saja semua pintu yang dilewatinya sudah terbuka semua dengan wajah yang siap membunuh siapapun, termasuk dirinya."Woy, berisik!" sarkas pria dengan perut buncit dan sarungnya yang digulung asal di bawah perutnya. Wajahnya terlihat sangat garang dengan kumis baplangnya. Pria itu hanya memakai kaos dalam oblong yang sangat kekecilan memperlihatkan sebagian perut buncitnya."Ngapain tuh orang teriak-teriak disini, gak punya jam, kali! Nyari mati!" dengus pria cungkring dengan jenggotnya yang panjang. Walau marah, tangannya terus mengusap jenggot panjangnya."Itu siapa, Pak Mali? Gak tahu apa ini gang kecil!" timpal ibu gempal dengan daster biru tua yang usang,"ngapain coba teriak-teriak disini, kayak gak tahu adat aja!" dengusnya lagi."Maaf-maa
Davinka benar-benar tertidur selama dalam perjalanan pulang, sementara Sanjaya tidak bisa menyetir dengan tenang. Pria itu terus menoleh dan menatap Davinka ketika ada kesempatan. Sanjaya berada dalam dilema, apa harus memberi tahu Davinka bahwa dirinya adalah Diandra yang diselamatkan oleh Noel dan melakukan operasi."Tapi, aku masih belum bisa memberitahunya. Paling tidak—sampai aku tau apa alasan Mama begitu membenci Diandra," monolognya.Sanjaya benar-benar takut ibunya akan tahu kebenaran ini dan kembali membahayakannya. Biar bagaimanapun, Sanjaya tidak bisa benar-benar membenci ibunya, wanita itu yang melahirkannya dan ia tahu apa yang dilakukannya hanya untuk kebahagiaannya walau caranya sangat salah.Sesampainya di rumah, Sanjaya tidak membangunkan Davinka, pria itu langsung membawanya ke kamar dan ikut terlelap bersamanya, mengabaikan semua kegundahannya.Davinka menggeliat saat suara berisik dari jam weker terus berbunyi nyaring. Wanita itu mengedarkan pandangannya, memacari
Venti hanya mampu menatap punggung pria jangkung itu yang bernama Anan, yang membantunya di hotel mekarin, dan ya, jika bukan karena anak itu Anan tidak akan pernah mau membantunya."Tapi kamu harus melakukan satu tugas lagi, An. Anak itu punya nilai tinggi bagi kelangsungan hidup putrimu, jika tidak aku akan mengatakan bahwa anak itu dipungut tiga tahun lalu di panti asuhan Pelita Kasih," monolognya penuh penekanan.Malam itu, di tengah hujan lebat Venti mendatangi panti asuhan Pelita Kasih dengan bayi merah dalam pelukannya. Bayi laki-laki yang baru lahir beberapa jam yang lalu terpaksa ia bawa kesana demi kebaikannya sendiri. "Aku titip bayi ini. Besok pagi akan ada orang mengambilnya, urus surat-suratnya dengan resmi dan berikan hak asuh penuh pada pria itu," ujar Venti tanpa melepaskan tatapannya pada bayi dengan hidung mancungnya yang terlihat sangat kokoh walau baru saja dilahirkan.Penjaga panti hanya mengguk, wanita dihadapannya ini adalah donatur tetap di panti itu. Ia ber
Davinka dan Rasty seharusnya tidak bertemu untuk saat ini. Apa kalian percaya akan adanya mitos yang mengatakan dua saudara kandung yang tengah hamil tidak bisa tinggal dalam satu atap atau hamil dalam waktu bersamaan?Awalnya Sanjaya tidak percaya, pria itu hanya menganggap tahayul dan omong kosong. Akan tetapi, saat tahu putra dan istrinya wafat, ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak mengindahkan hal ini. Rasty bahkan sangat lemah saat hamil Reno, ia seperti melihat mayat dalam diri adiknya."Carilah dokter terbaik. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan seperti kemarin," ujarnya memastikan, 'Jika kamu izinkan, aku akan membawa Reno pergi sementara waktu, tinggal bertiga jauh dari kalian,' sambungnya dalam hati."Ya, kak. Karena itu aku membutuhkan kalian. Reno sangat suka pada kakak dan kak Davinka. Jadi aku mohon bantu aku menjaganya," pinta Rasty. Air matanya sudah jatuh menetes. Saat mengandung Reno, ia banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit dengan tangan selalu terpasang s
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.