Venti berpikir keras bagaimana cara menggunakan Yudha. Pria itu terlalu lemah untuk diajak kerjasama.
Akhirnya Venti hanya berkata, "Kita akan memikirkannya. Cepat atau lambat wanita itu harus pergi dari sisi Sanjaya. Kamu harus menjadi menantuku, Laura!"Dalam hati Venti tahu usahanya kali ini juga sama kerasnya saat dirinya berusaha menyingkirkan Diandra, dan Venti tidak akan menyerah untuk mengusir Davinka.Dia harus memiliki keturunan dari wanita baik-baik dan berhati lembut, tidak peduli dimana wanita itu dilahirkan asal memiliki budi luhur itu sudah cukup untuknya. Tapi, wanita seperti Diandra dan Davinka tidak termasuk didalamnya. Mereka berdua sangat tidak layak untuk dijadikan menantu.Diandra lahir dari wanita penggoda dan perusak rumah tangga orang. Sedangkan Davinka walaupun anak dari keluarga terpandang dan berpendidikan, tapi wanita itu datang ke tempat tidak baik untuk mendapatkan sejumlah uang dan memilih menjadi simpen putranya. J"Saya cuma mau duduk di sini, masalah bersih dan kotor itu sama aja, yang penting kita bisa jaga diri. Saya cuma pengen liat siapa tahu ada penjual bubur yang lewat. Saya pengen sarapan bubur, Pak … bubur ayam kampung! Tapi makan dari mangkuk abangnya," ungkapnya panjang lebar.Security itu hanya terbengong, tidak percaya akan pengakuan Davinka."Tapi jangan lama-lama, ya nyonya … nanti saya dimarahi sama Tuan Sanjaya!" Minta security itu dengan tampang memelas.Davinka tersenyum manis dan mengangguk kecil. "Makasih, Pak!" Davinka menopang dagunya dengan tangan yang disangkakan pada meja. Tatapannya terus mengamati sekitar. Dari balik pintu, Nani menunggu dengan cemas. Dia takut Nyonyanya nekat melarikan diri karena tak dianggap oleh Sanjaya.Dari balik meja kebesarannya Sanjaya juga menatap wajah Davinka yang pucat. Ada rasa takut yang menyelimuti hatinya bahwa Davinka akan benar-benar lari dan meninggalkan dirinya untuk menemui Yudha.
"Tapi, Nyonya itu gak asem?" tanya security yang tadi pagi ke pasar.Davinka menggeleng. "Gak, ini enak. Bapak, coba!" Davinka memberikan dua potong mangga yang sudah dipotong oleh pelayan Nani dan security itu langsung menggigitnya dengan suapan besar.Tanpa diduga, security itu langsung meringis dengan mata tertutup ke dalam. Wajahnya sangat jelek dengan banyak kerutan di seluruhnya. "Kecut!" "Hah! Enggak!" sangkal Davinka, "ini seger. Asem, tapi gak gitu, kok!" ujarnya lagi menyakinkan.Mereka semua saling pandang, apa nyonya ini—ahh tidak. Sejak saat itu pelayan Nani tidak berani mengambil kesimpulannya sendiri.'Saya harap Nyonya segera mengandung agar mereka punya alasan untuk bersama,' doa pelayan Nani dalam hatinya. Para security hanya meringis melihat Davinka begitu rakus melahap mangga muda itu yang terlihat manis tapi asam di lidah mereka. "Kak Nani, aku mau ikan saus mangga untuk makan nanti siang, boleh?" tanyanya penuh harap. "Baik, Nyonya … saya akan siapkan. Apa ad
Davinka memasuki ruangan yang terlihat begitu temaram karena berapa tirai sudah ditutup. Tidak ada pergerakan di kuris kebesaran pria itu hingga menghasilkan banyak tanya di benaknya."Dimana Sanja?" Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir penuh Davinka.Davinka sudah tidak ingin menunggu lagi, wanita itu mempercepat langkahnya menuju kamar dan berharap ada Sanjaya didalam sana.Namun, apa yang dilihat membuat kakinya lemas dengan jantungnya yang nyaris lepas dari pusatnya bergantung."Sanja!" lirih wanita itu diiringi dengan benda jatuh dari genggaman tangannya.Rantang termos berisikan makanan untuk pria itu memantul beberapa kali di lantai dan semakin membuat kegaduhan. Akan tetapi, pria yang namanya baru saja dipanggil seolah tidak terganggu dan tetap terbaring lemah dengan matanya yang terus terpejam.Davinka melangkah selebar mungkin, gerakannya nyaris secepat angin, ia mengabaikan rasa lemas dan hancurnya. Wanita itu
"Oke, maaf … Aku sedang tidak ada di kantor, sayang … jadi mengirim kembali makanannya ke rumah," ujar Sanjaya membuat alasan. Padahal ia enggan untuk mengakui.Mau tidak mau Davinka harus percaya dengan ucapan Sanjaya. Yang penting sekarang mereka sudah rukun dan pria ini tidak mengusirnya."Mau aku suapin? Sekarang sudah ada aku dan kamu, kita makan sama-sama," usulnya, sedikit menekan kata 'aku dan kamu.'Sanjaya mengangguk. Davinka langsung bangun dan dengan cepat menyajikan makanan itu di atas piring dan membawanya ke hadapan Sanjaya. Saat memasuki kamar, pria itu sudah bersandar di dinding ranjang dan tersenyum ke arahnya. Terlihat sangat tampan walau wajahnya terlihat sangat pucat.Sanjaya melihat makanan yang dibawakan oleh Davinka yang terlihat begitu menggiurkan. Akan tetapi bau bawang putih dan sesuatu yang lainnya terasa begitu menyengat hingga membuat perutnya terasa penuh."Buka mulutnya," pinta Davinka saat sendok sudah di
Venti mengabaikan isi hatinya yang berkali-kali mengatakan untuk menerima hubungan Sanjaya dan Davinka, tapi luka hatinya sudah berubah menjadi racun yang mencegahnya untuk melakukan itu, dan di sinilah sekarang. Di sebuah restoran, dimana ia sudah membuat janji bertemu dengan Yudha."Bagaimana, apa kamu menerima tawaranku?" tanya Venti.Venti menawarkan sejumlah uang, untuk diberikan pada Sanjaya agar melepaskan Davinka, dan ia berjanji akan memberi jalan bertemu dengan putranya langsung untuk mempermudah jalannya. Tapi, Venti tidak tahu bahwa semua ini tidaklah semudah itu."Uang bukan segalanya, Nyonya!" dengus Yudha, "putra anda tidak membutuhkan uang, tapi Davinka, istriku yang diambil paksa. Uang hanya nominal yang tidak ada artinya bagi pria itu! Jadi maaf, saya tidak bisa melakukan itu," tolak Yudha. Bukannya dia menyerah, tapi Sanjaya memang tidak akan pernah melepaskan Davinka begitu saja, karena pria memuja istrinya. Pria itu menyodorkan kembali segepok uang di hadapannya
Sanjaya menautkan kedua alisnya. Davinkanya banyak berubah, manja dan begitu blak-blakan."Kalau gitu cepat!"Davinka cemberut, Sanjaya tidak membuatnya lebih mudah. "Cuci muka dan sikat gigi," ucapannya malas.Davinka mulai berjalan ke arah wastafel dan membasuh wajahnya. Melihat Davinka kesulitan, Sanjaya mengumpulkan rambut Davinka yang terurai dan berantakan, sedikit menggulung dan menahan di tengkuk Davinka. Merasakan perhatian kecil itu ada sesuatu yang membuncah di perutnya. Sanjaya sudah sangat berubah. Pria itu mengurusnya sendiri. 'Dia benar-benar menyambut cintaku!' Melalui cermin, tatapan mereka bertemu. Tatapannya tidak setajam biasanya, bibir itu tersenyum, senyum itu begitu memabukkan dan dapat menghipnotisnya, menarik rohnya hingga terlepas dari raga dan menyatu bersamanya.Entah ini mimpi atau halusinasi, bibir tipis itu terlihat bergerak dan dengan tegas mengatakan, "I love you." Tubuhnya tersentak, kelopak matanya mengerjap beberapa kali, meyakinkan diri apa ya
Menatap wanita yang akan menjadi dunianya, Sanjaya hanya terpana melihat cara wanita itu makan. Davinka terlihat begitu tenang dan tidak terburu-buru menikmati setiap makan yang ada di hadapannya. Davinka memang terlihat hidup berkecukupan sejak lahir, tidak seperti Diandra-nya yang begitu kekurangan dalam hal apapun, termasuk kasih sayang."Apa porsi makanmu selalu sebanyak ini, Davin?" "Tidak, biasanya hanya cukup satu porsi. Paling banyak empat sandwich dan satu mangkuk sup, itupun kalau mau. Kenapa memang?" Ia balik bertanya. Ia tahu dari tadi Sanjaya memperhatikannya. "Tidak apa-apa, hanya mau tau apa yang kamu sukai dan tidak kamu sukai," jawabnya acuh. Ia memang harus tahu banyak tentang Davinka, bukan? Sehingga hal sekecil apapun tidak akan menjadi duri dalam pernikahan mereka jika kelak nanti bersama."Apa mendiang nyonya tidak makan sebanyak ini?" "Dia hanya makan dua potong sandwich untuk sarapan, setengah centong
Sanjaya terkekeh, wajah Davinka sangat menggemaskan. Jelas-jelas ikan itu saingannya. "Ya, aku bukan ikan, tapi kamu pernah lari dariku hanya untuk ikan," ujarnya mengingatkan, "naiklah, nanti Nani bawa ikan itu ke kamar!" Setelah mengatakan itu Sanjaya menahan tengkuk Davinka dan mendaratkan bibirnya disana cukup lama. Saat Davinka sudah naik ke lantai dua, Sanjaya bergegas masuk ke ruang kerja dimana ia biasa menerima tamu. Disana orang kepercayaannya sudah menunggu dengan semua informasi yang ingin ia dengar."Katakan!" pinta pria itu. Sanjaya langsung duduk disofa. Berusaha sesanti mungkin. Padahal, jantungnya berdegup kencang. Untuk menarik napas saja sulit.Pria itu meletakkan dokumen dalam tasnya, mengeluarkan beberapa foto dan memperlihatkannya pada Sanjaya."Kerangka gigi dan tulang pipi ini jelas berbeda dengan Nyonya Diandra. Ketika disusun tinggi jasad juga lebih pendek dari Nyonya." Pria itu berhenti sebentar, sebelum melan
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.