Menatap wanita yang akan menjadi dunianya, Sanjaya hanya terpana melihat cara wanita itu makan. Davinka terlihat begitu tenang dan tidak terburu-buru menikmati setiap makan yang ada di hadapannya. Davinka memang terlihat hidup berkecukupan sejak lahir, tidak seperti Diandra-nya yang begitu kekurangan dalam hal apapun, termasuk kasih sayang."Apa porsi makanmu selalu sebanyak ini, Davin?" "Tidak, biasanya hanya cukup satu porsi. Paling banyak empat sandwich dan satu mangkuk sup, itupun kalau mau. Kenapa memang?" Ia balik bertanya. Ia tahu dari tadi Sanjaya memperhatikannya. "Tidak apa-apa, hanya mau tau apa yang kamu sukai dan tidak kamu sukai," jawabnya acuh. Ia memang harus tahu banyak tentang Davinka, bukan? Sehingga hal sekecil apapun tidak akan menjadi duri dalam pernikahan mereka jika kelak nanti bersama."Apa mendiang nyonya tidak makan sebanyak ini?" "Dia hanya makan dua potong sandwich untuk sarapan, setengah centong
Sanjaya terkekeh, wajah Davinka sangat menggemaskan. Jelas-jelas ikan itu saingannya. "Ya, aku bukan ikan, tapi kamu pernah lari dariku hanya untuk ikan," ujarnya mengingatkan, "naiklah, nanti Nani bawa ikan itu ke kamar!" Setelah mengatakan itu Sanjaya menahan tengkuk Davinka dan mendaratkan bibirnya disana cukup lama. Saat Davinka sudah naik ke lantai dua, Sanjaya bergegas masuk ke ruang kerja dimana ia biasa menerima tamu. Disana orang kepercayaannya sudah menunggu dengan semua informasi yang ingin ia dengar."Katakan!" pinta pria itu. Sanjaya langsung duduk disofa. Berusaha sesanti mungkin. Padahal, jantungnya berdegup kencang. Untuk menarik napas saja sulit.Pria itu meletakkan dokumen dalam tasnya, mengeluarkan beberapa foto dan memperlihatkannya pada Sanjaya."Kerangka gigi dan tulang pipi ini jelas berbeda dengan Nyonya Diandra. Ketika disusun tinggi jasad juga lebih pendek dari Nyonya." Pria itu berhenti sebentar, sebelum melan
Semuanya terjadi begitu cepat, bagaimana tubuhnya terhempas dan tersungkur hingga wajahnya menyusuri trotoar yang digenangi air mengalir dan terasa sangat perih. "Egehh." Hanya lengkungan tertahan yang keluar dari bibirnya yang kelu. Rani berusaha bangun dan mengangkat tubuhnya dengan susah payah, mengabaikan rasa nyerinya yang mulai menggerogotinya.Baginya, Inggi adalah dunianya. Penyemangat hidupnya. Jika itu diambil, ia lebih baik menyerah dan menerima setiap skenarionya.Namun, tangan kekar mengangkat tubuhnya, menggendongnya dan membawanya masuk kedalam mobil.Rani yang merasa sangat pusing dan pandangannya yang terlihat kabut hanya mampu mendengar suara dingin itu dengan jelas."Berapa harga anak itu?" Suara itu terdengar dingin dan begitu menakutkan dan Rani tahu siapa pemilik suara itu, Sandy. Pria yang menolongnya adalah Sandy, pria dingin dan kaku itu ada disini dan menjadi pahlawannya.Mansyur yan
Davinka kembali memeluk Sanjaya dan membenamkan wajahnya di sana. "Ke rumah kak Noel-nya gak jadi?"Davinka kembali menatap Sanjaya dengan kesal. Kenapa harus mengganggunya sekarang? "Jadi, tapi Rani gak bisa di telfon dari tadi. Di kantor juga gak ada! Aku jadi takut Rani kenapa-napa, Sanja!" Suara Davinka benar-benar terdengar begitu panik. Sanjaya melirik jam di pergelangan tangannya dan melihat ini memang sudah cukup siang, tidak mungkin Rani tidak datang ke kantor."Mungkin dia ada urusan dan ambil cuti. Nanti pasti telpon, ayo!" Ajak Sanjaya. Pria itu begitu tidak sabar ingin mencari sesuatu disana.Davinka terlihat berfikir, tapi lalu mengangguk dan mengiakan apa yang diucapkan oleh Sanjaya. "Mungkin hpnya dicas, anaknya sakit jadi gak masuk kerja," ujarnya meyakinkan diri, "Sanja, boleh nanti kita mampir ketempat Rani!" pinta Davinka. Mungkin sahabatnya membutuhkan sesuatu darinya dan Davinka juga sudah lama tidak meli
Sanjaya hanya tidak ingin duduk bosan tanpa melakukan apapun. Davinka memperhatikan wajah Sanjaya yang memang terlihat sangat pucat. "Apa mau aku panggilkan dokter?"Sanjaya menggeleng, "Aku hanya butuh berbaring dan mungkin semangkuk bubur kacang hijau sangat enak, bisakan!" "Ya, tentu saja. Ayo ke kamarku!" Davinka membantu Sanjaya berjalan. Ia hanya takut Sanjaya tiba-tiba pingsan dan terjatuh."Berbaringlah, aku buka jendela dulu supaya udara segar dapat masuk," pintanya. Sanjaya menurutinya dan Davinka bergegas pergi ke balkon, membuka pintu ganda itu selebar mungkin. Davinka juga menyalakan kipas angin agar udara dapat berputar dengan baik. Davinka melihat Sanjaya sudah memejamkan matanya, ia menghampiri pria itu dan menyentuh dahinya yang terasa dingin."Aku ke dapur sebentar," ujarnya memberi tahu. "Hem, jangan lama!" pinta pria itu. Terlihat begitu lemah dan tidak berdaya. Davinka tidak mengatakan
Sanjaya terus membolak-balik berkas dalam genggamannya. Pria itu mencari sedetail mungkin sesuatu yang mungkin saja tanpa sengaja terjadi kesalahan di dalamnya. "Golongan darah disini sama dengan Diandra, tapi tanggal dan bulan lahir mereka berada." Sanjaya terus mencari. Tidak puas dengan apa yang ia dapatkan. Sanjaya kembali mencari di lemari dan beberapa tumpukan buku lainnya. Disana ia menemukan semua diary dan buku agenda. "Ini tulisan Davinka sebelum terjadi kecelakaan, dan bukan tulisan Diandra," monolognya lagi. Disana jelas tertera tanggal dan tahun. Davinka wanita yang merencanakan semuanya sesuai jadwal. Wanita itu begitu disiplin pada dirinya sendiri. Bahkan agenda kunjungan ke bidan, mall dah beberapa tempat lainnya sudah dijadwalkan jauh sebelum harinya tiba. Akan tetapi, Sanjaya tidak pernah tahu Davinka yang sekarang, Davinka yang hilang ingatan. Dalam tas Davinka yang sekarang hanya ada ponsel, beberapa make up dan isinya sangat tidak
Davinka berusaha mengendalikan dirinya. Ia takut berharap terlalu tinggi dan menyakiti dirinya sendiri. "Minta izin untuk apa? Lagipula, apa kak Noel bisa ditemui?" Degup jantungnya begitu nyaring di telinganya. Suara Davinka bahkan terdengar sedikit bergetar.Davinka sangat takut mendengar jawaban Sanjaya. Bolehkah ia berharap Sanjaya akan melamarnya di kapal pesiar dimana mereka akan makan malam nanti? Hanya memikirkan itu Davinka hampir gila.Sanjaya meraih tangan Davinka yang dingin dan memainkannya, menatapnya, menautkan jari mereka, sesekali bahkan mengecupnya penuh kelembutan. Pria itu tahu, Davinka dapat mengerti apa yang ia katakan dengan jelas. Wanita ini hanya memastikannya kembali."Apa aku boleh berkata jujur?" tanyanya ragu. Sanjaya sedikit gugup.Jika ia mengatakan yang sebenarnya apa Davinka akan merah dan merasa sakit hati? Jujur, saat ini ia sendiri dalam dilema besar. Namun, di masa depan bolehkah ia memiliki kedua wan
Sandy menghembuskan napas panjangnya dan kembali memangku laptop-nya, pria itu kembali terlihat sibuk sambil berkata, "Tidak masalah jika kamu menghabiskan sebagian uangmu untuk ongkos pulang pergi dari kontrakan ke apartemenku!" 'Sial!' Rani mengakui apa yang dikatakan oleh pria ini sangat benar. Ia bahkan tidak tahu berapa gaji jadi ART di rumah pria ini. Tapi ia juga tidak ingin tinggal di tempat Sandy, pria itu masih lajang dan Rani tidak ingin ada omongan yang tidak enak didengar dan ia juga tidak tahu setelah pulang dari sini harus pulang kemana.Rani mendesah, semua pilihan sangat sulit dimatanya. "Baiklah, saya akan tinggal di tempat Bapak dan menyerahkan surat pengunduran diri saya setelah saya pulang dari sini," ujarnya lemah.**Davinka membuka matanya setelah terlelap beberapa saat. Ia melihat Sanjaya tengah menghisap nikotinnya dalam dan menghembuskan dengan kasar."Sanja," panggil Davinka dengan suara se
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.