Darah mengalir deras dari permukaan perut Yudha, menggenang seperti pulau yang membasahi kaosnya yang berwarna kuning kunyit. Tapi, bukan dari tubuh pria itu, melainkan dari telapak tangan seorang wanita yang berusaha menghalau hujaman kaca yang diarahkan olehnya ke perutnya sendiri.
"Nur!" Yudha berusaha bangun dan terduduk. Yudha meraih tangan Nurmala dan melihat lukanya.
"Yudha! Darah, darah … kamu berdarah Yudha," gumam Wulan. Wanita itu hanya menatap perut Yudha yang bersimbah darah dengan ngeri.
Wulan yakin, luka itu kembali robek karena tusukan kaca. Bayangan akan kematian putranya kembali terlintas dalam benaknya.
"Apa kamu sudah gila!" bentak Yudha.
Tapi, wanita yang bernama Nurmala sama sekali tidak tersi
Gemericik hujan sore itu membangunkan Davinka dari tidur lelapnya. Perutnya sedikit meronta karena seharian ini tidak diisi apapun selain sarapan yang dimakan tadi pagi di dalam mobil bersama Rani.Davinka berusaha membuka matanya perlahan di tengah rasa ngantuk yang masih menderanya. Wanita itu sedikit menggeliat, tapi pergerakannya tertahan karena sedikit beban yang menimpa perut dan pahanya. Ternyata Sanjaya tengah mendekapnya erat.Davinka memalingkan wajahnya ke sisi kiri di mana pria itu tengah tertidur dengan napasnya yang teratur. Davinka terus memandangi wajah Sanjaya yang terlihat lembut dan teduh saat matanya terpejam, dan hatinya kembali berdetak kencang."Apa bener apa yang gue rasain, Tuan Sanjaya? Jika dibandingkan, jelas Mas Yudha jauh lebih baik dari kamu, lebih penyayang, lembut dan bertutur kata m
Dalam diam Sanjaya berharap Davinka dan Diandra memiliki golongan darah yang sama dan menyatakan mereka memang satu. Walaupun tidak, Sanjaya mungkin akan berusaha mengikhlaskan kepergiannya dan menerima Davinka seutuhnya. Toh ia pun tidak rela jika Davinka dimiliki oleh pria lain. Baginya, wanita itu adalah miliknya."Kabari aku apapun yang kamu dapatkan!" pintanya lirih.Sanjaya menutup panggilan telepon dan membersihkan diri dengan air dingin. Berharap setiap tetes air yang menerpa tubuhnya dapat meredakan semua emosinya, amarahnya dan kekecewaannya.Dibawah sana para pelayan Sanjaya dibuat ketar-ketir karena Davinka mendadak menginjakkan kakinya ke dapur."Nyonya … saya mohon biarkan saya yang masak. Nanti tangan Nyonya kena pisau!" mohon pelayan Nani yan
Aroma masakan yang keluar dari dalam panci begitu menggugah seleranya. Perpaduan kaldu kepiting dan susu yang creamy membuatnya menelan ludah dengan susah payah."Kepiting asparagus," jawab Davinka cepat. Wanita itu terlihat sangat senang karena Sanjaya merespon niat baiknya. Kemudian Davinka bertanya lagi, "Aku harap kamu tidak alergi daging kepiting Tuan—" Sanjaya dengan cepat menghentikan ucapan Davinka dengan telunjuknya yang hendak memanggilnya Tuan Sanjaya. Panggilan itu benar-benar terdengar sangat tidak nyaman di telinganya. Devinka hanya boleh memanggil dirinya dengan sebutan itu hanya jika wanita itu sedang jengkel atau marah kepadanya. Akan tetapi, di suasana menyenangkan dan romantis seperti ini Sanjaya tidak ingin Davinka memanggilnya Tuan. Sanjaya mematikan kompor, sedikit menggeser tubuh Davinka dan memutarnya, menghadap dirinya. Kini Sanjaya sudah mengungkung Davinka dengan kedua tangannya yang di sanggakan pada meja kitchen set.
Davinka mendengus dengan bibir moncongnya yang begitu menggemaskan di mata Sanjaya. Tangannya terus mengacung kearah Sanjaya dengan mata yang dibuat se sipit mungkin. Davinka menunjukkan nada ketidaksukaannya akan ancaman pria itu. "Lakukan saja, perempuan itu bakal aku cincang-cincang sebelum menyentuh kulitmu!" tantangnya kesal.Davinka menarik mangkok sopnya dan mulai melahapnya tanpa bicara sedikit pun. sesekali wanita itu masih memberikan tatapan jengkel terhadap Sanjaya yang berusaha mengintimidasi dan mengancamnya berulang kali. Tapi Davinka tidak peduli, ia yang akan menjadi istri pria itu apapun yang harus dihadapi. Di tempat lain, Rani pun merasakan kejengkelan yang sama. Bahkan lebih parah dari Davinka.Ini sudah hampir jam 6.30 malam, tapi pria kaku di sampingnya ini masih mengajaknya berputar-putar mengunjungi satu nasabah ke nasabah lainnya."Aduh, Pak, ini saya gak niat lembur, loh! Ini udah malam, jam pulang saya udah ke
Kabut pagi itu belum sepenuhnya pergi dari kota hujan. Tapi, Davinka Rusnadi berusaha keras untuk membuka matanya agar terbuka lebar di tengah rasa kantuknya yang tidak bisa ia enyahkan begitu saja.Tubuhnya sendiri benar-benar terasa remuk redam karena ulah Sanjaya yang terus saja menggaulinya sepanjang malam ini. Bahkan, pria itu sama sekali tidak membiarkan dirinya untuk beranjak dari ranjang walau hanya untuk pergi ke toilet.Davinka mengangkat tangan Sanjaya yang melingkari pinggangnya, lalu sedikit menoleh mantap pria itu. Pria yang kini akan mengisi sisa hidupnya yang dia sendiri tidak tahu kedepannya akan seperti apa."Selamat pagi calon ayah anak-anakku …." Senyum lebar yang diakhir dengan gigitan kecil di sudut bibirnya terlukis indah di wajah Davinka. Tangannya yang lentik mengelus wajah pria itu yang tertidur lelap. "Aku ingin menjadi ibu anak-anakmu, Sanja!" pintanya lirih.Davinka meraba perutnya. Bayangan perutnya membuncit membuat
Tapi dia harus melakukan ini, membuat mental wanita itu semakin kuat untuk melawan ibunya di kemudian hari. Sanjaya hanya tidak ingin ada sosok Diandra sedikitpun dari diri Davinka. Diandra begitu lemah lembut dan selalu mengabaikan apa yang dilakukan oleh ibunya. Untuk kali ini ia ingin Davinka melawan semua kekasaran ibunya dan membela diri sendiri dimasa depan.Davinka tertegun, bukankah ia selama ini memang budak nafsu pria itu yang dipungut di rumah bordil madam Gaysa? Lantas kenapa ia harus marah? Dia memang budaknya, bukan?'Aku memang budakmu, Tuan Sanjaya … dan budak ini sekarang terjebak oleh gairah dan nafsumu hingga berani bermimpi menjadi Nyonya!' Ingin rasanya Davinka menangis dan menampar wajahnya sendiri.Akan tetapi, demi misinya ia harus bertahan, bukan? Demi cinta pria itu ia rela melakukan apapun, termasuk memungut kotoran dengan tangannya sendiri! Hidup memang harus punya ambisi agar memiliki tujuan, dan tujuannya sekarang adalah Sanjaya. Tidak peduli benar atau
Ia masih harus mencari tahu, kan, ada kaitannya atau tidak Davinka dan Diandra. Mungkin, wanita ini bisa sedikit memberikan petunjuk.Sanjaya melihat tubuh Davinka kembali meremang dengan matanya yang terpejam. Wajah wanita itu bahkan terlihat sedikit pucat seperti habis melihat hantu dan malai bicara dengan suaranya yang sedikit serak. Terlihat jelas Davinka mengendalikan dirinya."Sangat mengerikan, aku bahkan tidak berani menatap wajahku di cermin …."Sanjaya tercengang, entah seburuk apa wajah Davinka dulu?Sanjaya berusaha setenang mungkin agar dapat mengorek informasi yang ingin dia dengar. Padahal, tubuhnya sudah gemetar karena takut. Jika wanita ini adalah istrinya, sebesar apa rasa sakit yang dirasakannya? Jelas ia tidak bisa mengganti masa itu dengan seluruh sisa hidupnya.Pria itu kembali bertanya, nada suaranya terdengar begitu datar dan sangat tenang."Pasti kakakmu sangat hebat sampai bisa mengembalikan wajahmu sepe
Rani meneguk air itu hingga tandas. Rasa haus begitu menguasai dirinya di bawah alam sadar. Sejak ia masuk ke apartemen Sandy tadi, Rani memang belum minum setetes air pun. Wanita itu lebih memilih berdiam diri di kamar setelah membersihkan diri dan beristirahat sebentar.Wanita itu kembali melangkah mendekatkan tubuhnya ke arah Sandy dan menyerahkan botol air mineral ke tangan pria itu dengan kasar."Makasih, airnya enak!" ujarnya layaknya seperti orang teler. Rani mengelap bibirnya dengan punggung tangannya dengan kasar dan semakin membuat Sandy kebakaran jenggot.Gerakan itu membuatnya terkesima. Dimana bibir tipis itu sedikit terbuka dan terangkat dengan kasar, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang gingsul dan sedikit berantakan. Sungguh Sandy ingin menggantikan punggung tangan itu dengan bibirnya. Menekan bibir tipis Rani dengan bibirnya sendiri.Akan tetapi wanita dihadapannya ini seolah masih tidak sadar ditatap penuh nafsu oleh Sandy
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.