Ia masih harus mencari tahu, kan, ada kaitannya atau tidak Davinka dan Diandra. Mungkin, wanita ini bisa sedikit memberikan petunjuk.Sanjaya melihat tubuh Davinka kembali meremang dengan matanya yang terpejam. Wajah wanita itu bahkan terlihat sedikit pucat seperti habis melihat hantu dan malai bicara dengan suaranya yang sedikit serak. Terlihat jelas Davinka mengendalikan dirinya."Sangat mengerikan, aku bahkan tidak berani menatap wajahku di cermin …."Sanjaya tercengang, entah seburuk apa wajah Davinka dulu?Sanjaya berusaha setenang mungkin agar dapat mengorek informasi yang ingin dia dengar. Padahal, tubuhnya sudah gemetar karena takut. Jika wanita ini adalah istrinya, sebesar apa rasa sakit yang dirasakannya? Jelas ia tidak bisa mengganti masa itu dengan seluruh sisa hidupnya.Pria itu kembali bertanya, nada suaranya terdengar begitu datar dan sangat tenang."Pasti kakakmu sangat hebat sampai bisa mengembalikan wajahmu sepe
Rani meneguk air itu hingga tandas. Rasa haus begitu menguasai dirinya di bawah alam sadar. Sejak ia masuk ke apartemen Sandy tadi, Rani memang belum minum setetes air pun. Wanita itu lebih memilih berdiam diri di kamar setelah membersihkan diri dan beristirahat sebentar.Wanita itu kembali melangkah mendekatkan tubuhnya ke arah Sandy dan menyerahkan botol air mineral ke tangan pria itu dengan kasar."Makasih, airnya enak!" ujarnya layaknya seperti orang teler. Rani mengelap bibirnya dengan punggung tangannya dengan kasar dan semakin membuat Sandy kebakaran jenggot.Gerakan itu membuatnya terkesima. Dimana bibir tipis itu sedikit terbuka dan terangkat dengan kasar, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang gingsul dan sedikit berantakan. Sungguh Sandy ingin menggantikan punggung tangan itu dengan bibirnya. Menekan bibir tipis Rani dengan bibirnya sendiri.Akan tetapi wanita dihadapannya ini seolah masih tidak sadar ditatap penuh nafsu oleh Sandy
Sandy menunggu dengan tidak sabar di dalam mobil. Pria itu sudah beberapa kali menghubungi Rani, tapi selalu diabaikan oleh wanita itu. Hingga akhirnya ia hanya mengirim pesan singkat, akan tetapi Rani belum muncul juga.Sandy yang tidak sabar akhirnya memutuskan untuk kembali naik keatas dan menarik wanita itu. Namun, baru saja ia membuka pintu mobilnya Rani sudah keluar dari lift dengan terus menunduk menatap lantai penuh minat."Cek! Malu kan dia! Kita liat, apa masih galak?" gumam Sandy. Pria itu pura-pura sibuk dengan tabletnya.Sebenarnya Sandy sudah bisa menebak situasi ini. Mereka akan merasa canggung dan entah apa bisa melewati hari ini dengan baik. Sementara ada banyak pekerjaan yang harus mereka lakukan bersama. Ditambah Tuannya sudah dengan tegas mengatakan bahwa Rani harus menggantikan Mondy beberapa hari ini. Bagaimana bisa sekretarisnya ini minta cuti mendadak disaat ada banyak pekerjaan.Sandy membuka jendela mobil penumpang saat tangan mungil Rani menyentuh pintu bel
Mereka seolah tidak menyadarinya. Sanjaya dan wanita itu terlihat begitu mesra. Pria itu memeluk tubuh wanita itu dari belakang dan mengusap perutnya beberapa kali.Davinka menegakkan tubuhnya. Berusaha mengenali wanita itu. "Dia si-siapa, Sanja!" Davinka berteriak keras. Tapi, kedua orang itu terlihat begitu tuli. Mereka tidak mendengarkan kata-katanya.Angin yang meniup gaun merah muda wanita itu mengalihkan perhatian Davinka. Dia mengamati dengan seksama dan kembali tertegun."Itu baju—" Davinka seperti mengenali pakaian yang dipakai oleh wanita itu. Dia seperti pernah memakainya walau sekarang tidak ada di susunan lemarinya.Rasa penasaran dan tidak terima mulai menguasai. Davinka bangun dan melangkah ke arah mereka. Davinka yakin itu adalah pakaiannya dan wanita yang sedang dipeluk oleh Sanjaya dengan lancang memakai pakaiannya tanpa izin."Sanja, apa-apaan ini? Kamu—" Davinka berlari kencang, berusaha menerjang wanita itu dan Sanjaya. Bagaimana bisa Sanjaya membawa wanita lain
Darah mulai menetes dari lehernya. Bagian yang tajam menggores kulitnya yang putih mulus. Tapi Davinka mengabaikan, menahan posisi tangan agar tidak menekan semakin dalam. Bagaimanapun, ini hanya pura-pura, kan? Jelas ia tidak ingin semakin melukai dirinya sendiri. Davinka tidak sebodoh itu.Davinka mulai menggertak dan menekan para penjaga agar mengabulkan keinginannya."Beri aku jalan atau aku mati sekarang!" ancam Davinka, "kalian tau, kan, aku tidak pernah main-main," ujarnya mengingatkan drama yang ia lakukan dulu saat pertama kali datang kerumah ini. Terjun dari lantai dua, ia bahkan masih dapat merasakannya saat nyawanya seakan melayang dan terlepas dari raganya.Mereka saling pandang. Ini jelas keputusan yang tidak mudah. Tuan mereka pasti marah besar jika tahu wanita di hadapannya menemui seseorang yang paling dilarang masuk dalam rumah ini.Akan tetapi, mereka juga tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan calon nyonya mereka yang
Di tempat lain.Sanjaya yang baru saja keluar dari tempat meeting dan mendengar segalanya. Pria itu terlihat marah dengan matanya yang menyipit tajam."Apa yang dia miliki sampai berani datang ke sarangku?" tanya pria itu. Pikiran jahat dan mematikan sudah terlintas di benaknya. Dia ingin kehancuran Yudha hingga tidak dapat diselamatkan lagi. Tapi, terlepas dari itu yang membuatnya lebih marah adalah apa yang dilakukan oleh Davinka untuk bertemu dengan pria lemah ini. Dan lagi-lagi ini membuat hatinya meragu. Jika tidak ada perasaan mengapa sampai harus mengorbankan nyawa demi bertemu dengan Yudha?Apa Davinka benar-benar mencintainya? Atau hanya berpura-pura saja untuk membuatnya senang. Bukankah perempuan ini pandai berakting?Tapi, apapun itu ia tetap tidak akan melepaskan Davinka dan Yudha lah yang harus musnah."Hancurkan apapun milik pria itu hingga dia malu untuk menemui Davinka!" titah Sanjaya akhirnya."Baik, Tuan."Sandy langsung melakukan apa yang diminta oleh Sanjaya. Pri
Dia tidak melihat putranya sejak kemarin malam. Yudha selalu menghindarinya, bahkan menatapnya saja tidak.Kabar ini datang secara bersamaan. Wulan tidak tahu harus menangani yang mana dulu. Semuanya meminta perhatian lebih, dan yang membuatnya hampir mati, tak ada satupun barang tersisa. Dimana Yudha sekarang, Wulan sama sekali tidak tahu.Padahal, putranya sedang terbaring lebih tak jauh dari taman komplek dimana Wulan tinggal. Yudha pingsan dengan semua luka di tubuhnya, menanti seseorang datang dan menyelamatkannya. Membawanya dari jurang kematian yang mulai menggerogoti.Teriakan dan ketukan di pintu mengalihkan kecemasan Wulan dari orang-orang yang terus menelponnya, meminta pertanggungjawaban akan dana yang sudah di investasikan."Bu Wulan! Bu Wulan! Buka pintunya, Yudha ada di taman Kencana dekat blok N, Bu!" ujar salah satu tetangga Wulan. Wanita itu tidak sengaja melihat kerumunan orang yang sedang melihat keadaan seseorang tan
Davinka ingin meminta pengampunan demi mantan suaminya itu dan meminta Sanjaya mengembalikan semua miliknya.Tapi, kata-kata Rani membuat nyalinya semakin ciut. "Gue bisa nemuin Mas Yudha, tapi apa Lo yakin mau ngomongin ini semua sama Pak Sanjaya? Yakin bisa ngubah keadaan seperti semula?"Davinka menggeleng lemah, menghempaskan tangannya pasrah dengan tangis yang semakin meraung keras."Tapi mas Yudha gak salah apa-apa, Ran … Dia salah sangka, dia pasti pikir gue masih ada perasaan sama Mas Yudha. Gue anggap Mas Yudha gek lebih dari kakak gue sekarang. Atau mungkin dari dulu, dan gue tetep gak bisa benci sama Tuan Sanjaya atas semua yang udah dia lakuin. Ini gila! Tapi, nyatanya dia buat gue buta akan segala hal, kan? Gue cinta sama pria brengsek itu yang udah buat hidup gue kaya di neraka sebelumnya, yang udah nyiksa gue bertubi-tubi. Tapi apa? Gue tetep cinta, kan, sama dia!" Davinka mengungkap semua yang bersarang di hatinya. Kekec
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.