Cerpen KetigaJudul : Mars***Pagi tadi, entah bagaimana caranya, aku sudah sampai di tempat aneh ini. Tempat ini serba warna merah. Tempat ini terlihat gelap-gelap merah dan itu sangat menakutkan.Aku berjalan serba tiada tujuan. Sebenarnya, satu tujuan yang jelas, yaitu mencari jalan pulang. Sedari tadi, aku berjalan sendiri. Di sini, tidak ada manusia lain selain diriku. Entah tempat apa ini, aku tidak tahu. Apakah bumi atau belahan galaksi lain?Tiba-tiba aku terkagetkan oleh suara dari belakang, “Mun … tunggu aku!”Sepertinya, mengenal suara itu. Itu adalah suara kakakku. Iya, benar. Dia adalah kakakku. Aku melihat wajahnya. Dia adalah saudaraku. Aku senang mendapat teman di dalam sini.“Kamu mau ke mana? Ini, kan, tempat berbahaya?”Benar, kan, ini tempat berbahaya? Ah, aku bingung juga takut. Sebelumnya, tempat seperti ini tidak pernah terbayang dalam pikiranku. Di sini semua serba merah. Tanahnya merah, pohon-pohon merah, burung jauh di atas sana juga merah.“Memangnya ini te
Cerpen Ke-4Judul : Janji Suci Pak RT***Diposkan pada 13 Maret 2021Janji Suci Seorang RTCerita JasmikoDesaku mungkin akan menjadi idola dunia seandainya ada yang memublikasikan. Namun sayang, hanya beberapa, bahkan tidak ada, yang menyambangi tanah kelahiranku ini. Entah mengapa mereka tidak tertarik, atau mungkin karena tidak ada gejolak partai politik?Bicara tentang politik, aku ingat dengan RT desaku. Apakah RT juga jabatan politik? Aku tidak tahu. Ah, tetapi apa pentingnya jabatan jika tugas tidak dilakukan. Lebih baik tidak mempunyai jabatan, tetapi berguna untuk semua kalangan. Baiklah, kawan, aku akan menceritakan RT desaku kepada kalian.Pak RT adalah sahabat dekat Bapak. Dahulu, hampir setiap hari bapakku dan Pak RT bincang-bincang ringan di depan rumah. Namun sekarang, mungkin mereka berdua mulai mendapatkan kesibukan yang lebih sehingga mengurangi jadwal bincang-bincang ringan.Suatu malam, di teras rumahku …“Kalau semua menanam porang, apakah nanti tidak turun harga
Suluk Kebudayaan Oleh : Irfan Afifi (Langgar.co)***Warisan terbesar yang ditinggalkan para wali tanah Jawi (baca: Islam di Nusantara), yang mungkin akan susah diterima oleh para muslim hari ini, sebenarnya adalah wayang (kulit) dan bukan “peradaban teks”. Selain Para wali kita tidak meninggalkan teks—kecuali sedikit yang itupun dalam bentuk huruf Hanacara—peradaban teks hanya bisa menyingkap secara terbatas “olah kebudayaan” proses Islamisasi awal, yang sebenarnya telah memanifes dan membentuk “diri” kita, dalam tata ontologi (tauhid) sufisme-Islam yang ingin diperjuangkan.Mungkin para wali, menurut saya, sangat sadar peradaban teks seberapapun agung dan besar kontribusinya terhadap hidup ini, ia pada akhirnya tak mengantarkan kita pada “akhlak” atau “budi utama”, alias mengantarkan manusia menuju diri paripurna atau utuh-nya (baca: janma utama/insan kamil).Wayang dengan komponen unsur tembang, cerita, teater, sastra, gending, seni rupa, musik, dan suaranya, seperti dirumuskan Ka
“Penulis-penulis terdahulu mengalami penderitaan terlebih dahulu, baru kemudian dia terbentuk. Sastrawan besar itu lahir dari penderitaan, ya merasakan penderitaan diri sendiri dan menghayati penderitaan orang lain.”(Ahmad Tohari)Ketika sedang mendengarkan lagu Im Yoon-Ah (Yoona SNSD) When the Wind Blows. Tiba-tiba saya teringat pada catatan yang pernah saya tulis di kertas fotokopi KTP, yang berisi webinar antara Ahmad Tohari (Selanjutnya ditulis Tohari, tapi biasanya saya memanggil beliau Abah Tohari) dan Putu Fajar Arcana pada 14 Mei 2020 di media sosial I*******m. Ada beberapa hal yang saya tangkap dan saya catat dari obrolan online mereka waktu itu. Nah di sini saya ingin berbagi catatan saya itu kepada pembaca semua. Hitung-hitung juga meneruskan ilmu yang sudah disampaikan oleh Ahmad Tohari.Di awal obrolannya dengan Putu, Tohari sudah bilang “Jangan puas dengan tulisanmu”. Dari sini saya menangkap visi pencarian-pencarian, proses, dialektika, dan dinamisasi dari sebuah tulis
Semua ajaran, baik agama, budaya, maupun suatu pemikiran akan abadi jika diiringi oleh sejarahnya dalam penuturan atau pewarisannya. Sejarah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk rasional, sosial, maupun spiritual. Alasan inilah yang mendasari bahwa tidak ada satu pun ajaran agama, budaya, maupun pemikiran yang tidak memuat sejarah di dalamnya. Dalam hal ini, sejarah tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai ajaran, tetapi lebih dari itu, sejarah menjadi bagian tidak terpisahkan dari ajaran.Tengoro atau tanda ini tegas dijelaskan dalam ajaran Islam di Surat Al-Fatihah ayat 6-7. Jalan yang lurus atau kebenaran “shirotol mustaqim” bukan jalan Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, tapi jalan orang-orang yang dianugerahi nikmat (iman dan Islam – Shirotolladziina an’amta). Yang penulis garisbawahi dari ayat ini adalah “jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat” adalah petunjuk bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu kita harus menjalani (meneladani dengan menggali sejarahnya
Di bulan puasa yang tenang, marilah kita berdendang tembang dolanan bocah karya dalang Ki Slamet Gundono yang riang. Bagi yang pernah mendengarkan bagaimana tembang ini dilantunkan, tentu imajinasi anda akan melayang. Namun bagi yang belum, semoga bisa meresapi maknanya yang terdalam.Sebelum dimulai, bayangkan anda seperti diiringi petikan gitar mandolin Slamet Gundono. Baik, kita mulai, yaa…Atine bolongAtine kosongAtine mlompong(hatinya bolongHatinya kosongHatinya melompong)Neng langit ana lintangLintang….lintang lukuAna bocah…Ana bocah…Bocah cilik gambar jagad(di langit ada bintangBintang..bintang lukuAda anakAda anakAnak kecil melukis dunia)Reff.Cantel neng lintangSampir neng mbulanPepe neng srengenge(gantungkan di bintangSampirkan di bulanJemur di matahari)Ana bocah…..Ana bocah…Bocah cilik…Bocah cilik gambar jagad(ada anakAda anakAnak kecil melukis dunia).Tembang sederhana ini terinspirasi dari masa kecil Slamet Gundono yang sering bermain-main di
Tulisan ini merupakan pembacaan sederhana dari kisah sejarah yang tersimpan. Patut diakui, Banyumas menyimpan banyak cerita-cerita tutur yang turun temurun. Cerita tutur/folklore akan menjadi cerita yang selalu mengasyikan dan penuh imaji. Cerita tutur yang muncul di masyarakat, tidak serta merta hampa atau kosong belaka. Tentu ada kisah nyata yang melatardepani sekaligus melatarbelakangi dari cerita tutur itu sendiri. Mau tidak mau, cerita tutur tidak semata-mata menjadi cerita fiktif tanpa data.Cerita tutur bisa saja merupakan fakta sejarah, namun minim literatur. Literatur data berupa teks maupun segala yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi, cerita tutur kerap memiliki bukti nyata dengan wujud petilasan, entah berupa benda. Penulis hendak mengatakan demikian, walau agak riskan, bahwa “sebuah sejarah yang diciptakan ataupun yang dituliskan pada dasarnya mengandung unsur subjektifitas.” Artinya, sebuah sejarah tidak lepas dari kepentingan sesuai zamannya atau setidaknya akan me
Kolonialisme dan Budaya CampuranKeragaman kesenian tradisional dan budaya Indonesia tidak pernah habis saya kagumi. Mulai dari bahasa daerah, syair, tarian, musik, hingga ke seni pertunjukkannya. Mungkin tidak akan cukup seumur hidup saya untuk mengenali masing-masing kesenian dan produk budaya itu. Bahkan untuk kesenian tradisional di satu daerah saja, katakanlah di Yogyakarta, menawarkan sumber yang tidak akan pernah habis untuk digali. Rasa kagum terhadap budaya sendiri itu pun semakin terasa ketika saya jauh dari Indonesia. Perasaan kagum yang kemudian berubah menjadi rasa bangga, terutama jika kawan-kawan dari negara lain mulai bertanya macam-macam tentang Indonesia pada saya.Awal semester di musim panas lalu saya mengambil satu program seminar yang judulnya kurang lebih adalah “kolonialisme, globalisasi dan teater”. Seminar ini menjadi sebuah dialektik tersendiri, untuk pandangan pribadi, maupun dalam konteks keilmuan saya. Seminar ini fokus pada situasi neo-kolonial di negara